Menghindari Zona Nyaman ala Harry Redknapp

Dibandingkan dengan liga top Eropa lain, Liga Inggris sama sekali tidak kekurangan pelatih andal. Kedigdayaan finansial klub Inggris terbukti mampu menarik pelatih kaliber tinggi macam Jose Mourinho, Pep Guardiola, Jurgen Klopp, hingga Antonio Conte.

Akan tetapi, di balik gemerlap varian taktik yang dibawa para ekspatriat, ternyata timbul marjinalisasi terhadap pelatih lokal. Kita bisa menengok situasi di Hull City sesaat setelah pemecatan Mike Phelan pada tahun baru 2017.

Kalangan media mengajukan nama Gary Rowett sebagai manajer pengganti. Rowett saat itu baru dipecat Birmingham meski mampu membawa The Blues bercokol di zona play-off.

Alih-alih mengikuti saran media, atau setidaknya menunjuk pelatih pribumi, manajemen The Tigers malah memperkenalkan Marcos Silva, pelatih hijau berkebangsaan Portugal.

Saya sendiri lebih suka menyoroti pilihan hidup para pemain ketimbang menyalahkan manajemen yang suka mengimpor pelatih asing. Akhir-akhir ini, dibandingkan berpeluh di lapangan bersama pemain muda, para bintang yang baru gantung sepatu lebih memilih duduk di kursi empuk dengan disorot kamera.

Ya, pemain semodel Jamie Carragher, Gary Neville, dan sejawat telah menjadi narasumber di berbagai acara televisi. Bahkan Paul Scholes yang semasa aktif irit bicara pun ikut “terjerumus” ke layar datar.

Pekerjaan sebagai pandit nampaknya sangat menggiurkan bagi pensiunan milenial. Tinggal duduk, menanggapi pertanyaan presenter, mengomentari keputusan pelatih, mengkritik performa pemain, lalu dibayar. Tidak menantang sama sekali.

Pandit Gary Neville punya catatan tersendiri di mata publik. Ia dikenal sebagai pengamat cerdas dengan analisis tajam, tak jarang mengkritik pedas para pelakon lapangan hijau.

Sungguh sayang, empat bulan nan mengerikan bersama Valencia membalikkan semua predikat yang disandangnya.  Didatangkan untuk menyelamatkan kapal karam Mestalla pada Desember 2015, ia justru dilengserkan setelah rentetan hasil memalukan.

Ia cuma ahli mengkritik dan beropini tanpa kemampuan kepelatihan yang nyata. Terakhir, ia menyatakan sulit kembali ke dunia kepelatihan.

“Aku tidak pernah mengatakan tidak ingin kembali ke sana (sebagai pelatih) karena cintaku pada sepakbola terlalu besar. Tapi aku sungguh percaya, sangat sulit bagiku kembali melatih mengingat komitmenku sudah terbelah ke banyak hal. Aku ingin membawa Salford City ke Football League, aku juga ingin mengelola Hotel Football agar lebih mendunia.”

BACA JUGA:  Match Of The Day: Program Acara Sepak Bola Terlama Di Dunia

Kita tidak akan menemukan karakter “lebih suka berada di zona nyaman” khas anak muda dalam diri Harry Redknapp. Kakek kelahiran 2 Maret 1947 itu baru saja menyetujui lamaran Birmingham City.

Ketika seseorang sudah dua tahun tidak pernah berdiri di tepi lapangan dan ia sudah berusia 70 tahun, maka orang tersebut pastilah punya pribadi luar biasa. Pribadi yang tidak menyukai zona nyaman.

Jika dihitung sejak 1983, tidak pernah mengambil istirahat sampai satu musim kompetisi.

Dua situasi paling diingat ialah saat ia mengambil pekerjaan di Southampton meski baru beberapa minggu meninggalkan Portsmouth—dua klub ini ialah musuh bebuyutan- pada 2004/05, serta ketika ia melompat ke Tottenham yang sedang terpuruk pada 2009/10.

Bandingkan dengan masa sabatikal Pep Guardiola pasca-Barcelona. Belakangan Luis Enrique juga berniat menyepi.

Karier panjang Redknapp memang tidak sepenuhnya gemilang. Ia gagal menyelamatkan Southampton dari relegasi setelah kalah pada laga terakhir musim 2004/05. Ia kehilangan keunggulan tiga belas poin dari Arsenal yang berakibat lepasnya tiket Liga Champions pada musim 2011/12.

Bagaimanapun, Birmingham City masih amat menghargai kompetensi Redknapp dengan memberinya kepercayaan memimpin tiga petandingan terakhir Championship Division musim ini.

Seperti telah disinggung sebelumnya, Birmingham memcat Gary Rowett saat mereka berada di zona play-off—peringkat tujuh. Gianfranco Zola sang pelatih pengganti sungguh membawa “keajaiban”.

Zola meninggalkan tim saat mereka berada di peringkat 20, hanya unggul tiga poin dari zona degradasi dengan catatan hanya dua kali menang dari 24 laga!

Banyak orang bertanya kenapa ia mau menerima tantangan di usia senja. Istrinya berpikir ia sudah gila.

“Aku mencintai sepakbola, aku tak ingin berhenti,” ujarnya.

“Aku tidak membicarakan kontrak. Aku hanya berjabat tangan (dengan pihak Birmingham). Istriku berkata aku gila karena sudah pukul dua pagi ketika aku pulang. Aku berkata padanya aku adalah manajer baru Birmingham City. Dia tetap mengataiku gila tapi aku sudah memikirkan Second City Derby hari Minggu nanti. Aku tahu aku tidak akan bertambah muda tapi aku senang terlibat lagi (dalam dunia sepakbola). Selama aku sehat aku akan muncul dimanapun aku dibutuhkan.”

BACA JUGA:  Catatan Hitam Rasisme dalam Sepakbola

Fenomena seorang veteran memegang kendali klub memang tidak sering ditemui belakangan ini. Di Inggris, terdapat Neil Warnock yang menuju usia 69 tahun di Cardiff City, atau Arsene Wenger di Arsenal yang menantikan ulang tahun ke-68.

Sir Alex Ferguson dan Sir Bobby Robson sama-sama melewati usia 70 ketika mengakhiri kariernya di Premier League. Menyeberang ke Italia, seorang Zdenek Zeman akan berusia 70 pada pekan terakhir Serie A bersama Pescara.

Kesediaan para manajer gaek di atas memang punya alasan tersendiri. Konon, Sir Alex mau pensiun lebih awal seandainya timnya tidak dikangkangi tetangga berisik pada detik terakhir musim 2011/12.

Penjelasan untuk Redknapp coba dikemukakan oleh Clive Allen, mantan asistennya di Tottenham.

“Ia hanya mencintai permainan (sepakbola),” ungkapnya pada ESPN FC.

“Dia menyukai keterlibatannya dan ia merindukannya. Dia senang berada di kantor membicarakan sepakbola dan pergi ke lapangan latihan. Sepakbola adalah candu. Kadang kau harus berpisah dengan candu sebelum kau menyadari betapa pentingnya candumu, betapa kau mencintainya, betapa kau membutuhkannya. Seperti itulah Harry—aku tidak berpikir dia bisa berpisah dari sepakbola.”

Di saat rekan sejawat semisal Roy Hodgson, Alan Curbishley, atau Glenn Hoddle memilih menikmati hari tua dalam kedamaian, Redknapp memilih turun gunung. Gary Neville dan kawan seangkatannya seharusnya bercermin pada etos kerja Redknapp.

Masa depan tim nasional Inggris tidak bergantung pada seorang kakek, melainkan sekumpulan anak muda dengan ide-ide segar yang diaplikasikan secara nyata di lapangan. Inggris tidak boleh berharap menjadi juara dunia jika pensiunan mudanya lebih suka mengkritik performa pemain dan taktik pelatih di media.

Komentar
Dua hal paling menggairahkan di dunia ini ialah, sepakbola dan ilmu politik. Seorang mahasiswa Ilmu Politik, bisa dihubungi lewat @najmul_ula.