Hari Sabtu tanggal 11 Juli 2015, harian Tribun Jogja memuat berita yang menyesakkan. Setidaknya untuk saya, yang sedikit melankolis ini. Begini judul beritanya, “Toleransi Masih Memprihatinkan: Tribun Jogja-Satunama Bahas Intoleransi di DIY”. Ada dua unsur kalimat judul di atas yang membuat saya bergidik, yaitu “intoleransi” dan “DIY”. Sebuah kondisi yang memprihatinkan, di tengah sebuah kota berbudaya yang konon ramah.
Arti intoleransi mungkin tidak perlu dijelaskan lagi. Kata tersebut memuat makna yang sudah beken beberapa tahun terakhir, terutama di konstelasi sosial dunia. Namun, ketika disampirkan sebagai sandingan unsur “DIY” dari judul di atas, maka jelas bagi saya, ada sebuah keprihatinan dan ancaman besar. Sebuah ancaman yang sudah harus kita pikirkan bersama, para manusia yang bernafas bersama di bumi Mataram ini.
Toleransi masih memprihatinkan
Berita yang diangkat oleh Tribun Jogja tersebut tampil di halaman depan. Lead berita ditulis dengan sangat menarik. Begini kutipannya:
“Kebebasan beragama dalam beberapa kasus masih menjadi hal yang mahal di Indonesia, termasuk di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang selama ini terkenal dengan masyarakatnya yang toleran.”
Lalu, paragraf pertama berita tersebut menyajikan sebuah informasi yang sangat mengagetkan. Berdasarkan data Wahid Institute pada tahun 2014, tercatat 21 peristiwa pelanggaran Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (KBB) di Jogja. Sebuah “prestasi” tersebut menempatkan Jogja (yang katanya) Istimewa ini sebagai daerah dengan kasus KBB terbanyak kedua di Indonesia, sayangnya masih di bawah Jawa Barat. Satu hal lagi yang perlu dicatat dari dari data Wahid Institute adalah sebagian besar kontributor “prestasi” hebat tersebut adalah non-negara, artinya ya seperti kita-kita ini yang sudah memberikan sumbangsih mencoreng wajah molek kota Jogja.
Masih dari berita tersebut dituliskan komentar Afifudin Toha, aktivis isu toleransi dan kebebasan beragama. Toha berkomentar bahwa saat ini, cara pandang sosial-politik monolit masih digunakan sebagai bingkai untuk memandang keberagaman. Cara pandang monolit artinya realitas keberagama masih dipaksakan untuk menjadi satu, tanpa ruang untuk tafsir alternatif, yang pada akhirnya hanya melahirkan dua pilihan kepada pihak minoritas, antara menyeragamkan diri atau dikeluarkan dari kelompok.
Gambaran yang muncul di benak saya begitu menyeramkan. Berdasarkan data Wahid Institute dan pernyataan Toha di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa di balik gemerlapnya hotel, apartemen, dan kondotel tersimpan sebuah kenyataan pahit. Di balik kemolekan kota Jogja, sebuah kegetiran bagai bom waktu.
Mari kita renungkan sejenak…
Moleknya kota Jogja
Jogja, sebuah kota dengan sejarah panjang. Sebuah kota dengan bangunan sosial yang disusun oleh sejarah dan budaya yang kental. Ciri manusia Jogja sangat melekat di sanubari para pelancong, dan terutama bagi orang lokal sendiri. Manusia Jogja dikenal dengan manusia yang ramah, murah senyum, heterogen, toleran, dan manusiawi, setidaknya itu yang saya rasakan beberapa tahun yang lalu.
Bahkan, Jogja, seperti daerah-daerah lainnya, memiliki falsafah hidup yang begitu sedap. Manusia Jogja lekat dengan nuansa mangasah mingising budi, artinya sikap diri untuk selalu berusaha mengasah kecerdasan spiritual maupun emosional. Lalu ada pandangan memasuh malaning bumi, atau menyelaraskan dalam keteraturan sehingga menghilangkan kekacauan. Kemudian, manusia Jogja juga akrab dengan rukun agawe santoso atau kerukunan yang membuat semuanya menjadi harmonis. Telinga para pelancong juga nyaman dengan makna tepo seliro, atau tenggang rasa sesama manusia. Terakhir, satu kalimat indah sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti atau kemarahan dihapus dengan kesabaran dan kebijaksanaan merupakan level katarsis yang sudah seharusnya manusia Jogja capai.
Sayang sekali, semua pesona kebijakan manusia Mataram tersebut lesap jika kita melihat lagi data Wahid Institute dan paparan Toha sebelumnya. Di tengah pembangunan gerah berkalung resistensi yang tengah terjadi, sisi humanisme manusia Jogja tidak terbangun dalam arti yang hakiki. Padahal, untuk soal perenungan, manusia Jogja punya patron digelar, digulung yang berarti memikirkan segala sesuatu masak-masak dengan pertimbangan kebaikan rohani dan kombinasi falsafah hidup di atas.
Di balik gincu modernisme, di balik romantisme iklan larisnya kondotel, tersimpan kebobrokan sosial di punggung kota Jogja. Apa yang menjadi penyebab? Apa yang menjadi latar belakang? Pertanyaan tersebut mungkin sulit dijawab karena harus memetakan pola pikir individu dan masyarakat. Namun, ada satu sisi yang bisa kita sama-sama dalami untuk menemukan titik terang. Sisi tersebut adalah pemahaman akan keberagaman, sebagai sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan apalagi dipertentangkan, dengan bingkai sebuah klub di London Utara, Arsenal.
Arsenal berhati nyaman
Arsenal adalah salah satu klub yang bermukim di London Utara, Inggris. Seperti kebanyakan tim Inggris lainnya, skuat Arsenal adalah tim multietnis. Para pemain yang diasuh Arsene Wenger tersebut mempunyai latar belakang yang sangat beragam, mulai dari budaya, agama, dan suku bangsa. Namun, meskipun para pemainnya mempunyai perbedaan yang cukup mencolok, kehidupan Arsenal jauh dari nuansa intoleransi.
Salah satu pemain yang mengakui dan menikmati indahnya keberagaman di Arsenal adalah Mesut Ozil. Bulan Juni yang lalu, Ozil dipilih para fans untuk menjadi German Football Ambassador. Salah satu alasan para fans memilih Ozil sebagai football ambassador adalah berkat rekam jejaknya yang begitu baik di kegiatan amal, terutama untuk membantu anak-anak di Afrika.
Saat diwawancarai Deutsche Welle setelah menerima tugas mulai tersebut, Ozil mengungkapkan bahwa dirinya dan tim sudah merencanakan akan menggunakan honor sebagai ambassador untuk membantu anak-anak korban kebakaran di Afrika. Di salah satu bagian wawancaranya, Ozil juga memuji atmosfer positif di skuat Arsenal yang Bhineka Tunggal Ika.
“Perbedaan di Arsenal adalah sesuatu yang luar biasa, ketika terdapat keragaman budaya di satu klub. Hal yang paling hebat adalah kami saling menghormati dan menghargai. Kami semua menikmati pengalaman bersama,” ungkap Ozil kepada Deutsche Welle.
Dari penggalan wawancara tersebut, kita tentu bisa membayangkan Ozil yang beragama Islam mampu membaur dan berteman dengan Alexis Sanchez yang Kristiani. Seorang Ozil, yang orang Jerman, bisa berkawan akrab dengan Mathieu Flamini, si orang Prancis. Kondisi ideal ini tentu seperti hidayah yang luar biasa Tuhan, bahwa manusia tidak menjadi Homo Homini Lupus bagi sesamanya.
Jika sudah begini, justru Arsenal, yang terpisah ribuan kilometer dengan Indonesia yang justru menerapkan konsep falsafah manusia Jogja. Justru Arsenal yang lekat dengan mangasah mingisih budi, dengan menghargai perbedaan. Justru Arsenal yang memasuh malaning bumi, dengan tidak mempermasalahkan perbedaan agama dan ras untuk kebaikan suatu klub. Justru Arsenal yang rukun agawe santoso, dengan mempertahankan atmosfer cinta damai dan mencapai “kemenangan dari keharmonisan”. Justru Arsenal yang tepo seliro, yang para pemainnya saling memahami perbedaan budaya dan justru merayakannya, bukan memaksa diseragamkan. Justru Arsenal yang sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, dengan menikmati perbedaan dan memahami bahwa sesama manusia mempunyai hak yang sama untuk berkarya dan bahagia.
Jika sudah begini, mana yang lebih nyaman, Jogja yang begitu dekat atau Arsenal yang jauh di London sana? Mana yang lebih istimewa, Jogja yang kehilangan cap “humanis” (mungkin juga sisi humoris), atau Arsenal yang merayakan perbedaan dan menghargai keberadaan sesama?
#COYG #COYJ #ComeOnYouJogja