Euforia Liverpool dan Harapan untuk Timnas Indonesia

Sekilas tidak ada yang spesial dengan kemenangan Chelsea melawan Manchester City pada lanjutan Liga Primer Inggris pekan ke-31. Namun, kenyataannya ada ribuan bahkan jutaan pasang mata yang mengharapkan sesuatu terjadi pada pertandingan ini.

Mereka adalah para fans Liverpool. Apapun hasil yang diraih oleh Manchester City, selama bukan kemenangan, maka akan memastikan gelar juara Liga Primer Inggris diraih oleh Anfield Gank itu.

Selama ini yang kita tahu, Liverpool adalah tim yang belum pernah meraih gelar juara ajang tersebut. Terakhir kali mereka menjuarai Liga Inggris adalah pada musim 1989/1990 saat kompetisi kasta tertinggi di Inggris masih berupa Divisi Satu.

Selama 30 tahun itu pula setiap elemen yang terkait dengan The Reds selalu berharap dan berjuang untuk kembali merasakan nikmatnya gelar juara kompetisi kasta tertinggi. Namun, hanya kegagalan demi kegagalan yang mereka temui.

Kekeringan gelar Liga Inggris atau Premier League yang dialami oleh Liverpool semakin terasa berat ketika para pesaing utama seperti, Manchester United, Arsenal, Chelsea dan yang terbaru Manchester City terus menguasai perlombaan setiap musimnya.

Bahkan tim-tim seperti Blackburn Rovers dan Leicester City lebih dulu menikmati gelar Premier League dibandingkan Liverpool yang seperti sedang berperan sebagai raksasa yang tertidur.

Berbagai momen kesedihan dan kepedihan yang mereka rasakan. Bukan hal yang aneh ketika banyak fans dari tim-tim rival mengejek para fans Liverpool akan hal tersebut. Terlebih lagi ketika terjadi momen-momen pahit.

Mulai dari kehabisan bensin pada musim 2008/2009, terpelesetnya sang kapten fantastik, Steven Gerrard, hingga yang terbaru berhasil meraih 97 poin pada musim lalu, tetapi tetap saja gagal menjadi kampiun.

Sampai pada akhirnya pada 26 Juni 2020, Jum’at pagi waktu Indonesia ataupun malam hari waktu Inggris semua dahaga gelar itu terbayarkan. Pemain, pelatih, manajemen, fans hingga mantan pemain Liverpool pun ikut bersorak sorai merayakan hal ini.

Pesta akhirnya datang, walaupun tidak bisa dihadiri penonton dan tidak bisa langsung diadakan konvoi bukan berarti kemenangan itu tidak bisa dirayakan oleh para Liverpudlian. Tangisan kebahagiaan pecah seakan membayar semua duka, emosi dan ejekan dari fans rival. Dunia terasa begitu indah saat itu.

BACA JUGA:  Pep Guardiola: Dikagumi Sekaligus Dibenci

Kisah serupa sebenarnya ada juga di tanah air tercinta ini. Ada sebuah tim dengan warna kebanggan merah, memiliki banyak sekali suporter dibelakangnya, dan sudah puluhan tahun tidak memiliki gelar juara bergengsi. Saya rasa, kita semua tahu itu adalah timnas Indonesia.

Kisah Liverpool dengan Liga Primer Inggris dan timnas dengan Piala AFF terasa mirip bagi saya. Lahir dan besar sebagai pecinta sepakbola, membuat saya seperti mustahil untuk tidak mengikuti perkembangan sepakbola nasional.

Seluk beluk, drama, konflik, dan kejadian-kejadian aneh nan tak penting lainnya membuat saya harus lebih teliti dalam mencerna sepakbola tanah air. Namun, justru karena mengikutinya dengan tekun itu yang membuat saya jatuh cinta terhadap Timnas.

Idealnya jatuh cinta adalah perasaan saling berbagi kasih sayang dan kebahagiaan. Tetapi pada cerita ini sepertinya ada hal yang sedikit berbeda.

Saya mengorbankan waktu untuk mengikuti perkembangan timnas, juga memberi dukungan terhadap laga yang mereka mainkan. Namun, hingga saat ini belum ada kebahagiaan sebagai timbal balik rasa cinta dalam bentuk gelar juara.

Yang ada malah pengalaman menyedihkan. Sangat membekas di hati saya bagaimana timnas pmengarungi ajang Piala AFF 2010. Menjalani fase grup hingga semifinal dengan superior membuat rasa percaya diri pendukung timnas mebumbung tinggi. Semua percaya tahun itu adalah tahun itu milik kita.

Akan tetapi, hal itu berubah 360 derajat. langsung terlihat loyo pada leg pertama saat dihantam Malaysia 3-0. Nyatanya mimpi hanya mimpi. Indonesia memang berhasil menang 2-1 pada leg kedua, tetapi hasil itu tidak cukup untuk menghalangi Malaysia meraih juara di rumah kita sendiri.

Kita terus percaya pada setiap ajang sepakbola setelah final mengerikan itu bahwa suatu saat, kompetisi tersebut akan ditaklukkan. Namun, kenyataan yang terjadi adalah kegagalan-kegagalan lain yang terus menerus menerpa.

Label spesialis runner-up melekat. Bahkan beberapa kali terjungkal di fase grup. Ditambah lagi konflik federas di dalam negeri, terutama dualisme kompetisi yang rentetannya berujung pada hukuman dari FIFA.

BACA JUGA:  Ismael Bennacer: Mesin di Lini Tengah AC Milan

Sekian macam kejadian menyedihkan nan mengecewakan itu tidak begitu saja menghilangkan rasa cinta dan dukungan kepada timnas. Saya masih mencoba untuk terus berpikir bahwa mungkin saja hanya belum waktunya.

Mungkin fans sepakbola nasional hanya harus lebih bersabar. Liverpool saja butuh waktu 30 tahun untuk menjadi juara. Sementara itu, terakhir kali timnas senior meraih gelar juara bergengsi adalah pada tahun 1991 pada ajang SEA Games. Berarti sudah berjarak 29 tahun dari gelar terakhirnya.

Artinya, timnas setidaknya masih memiliki satu tahun lagi untuk melunasi mimpi menjadi juara seperti yang dilakukan The Reds tersebut. Itupun kalau memang terwujud.

Tumbuh dan besar sebagai fans setia Liverpool dan timnas bukan lah sesuatu yang mudah bagi pecinta bola manapun.  Sama-sama menahan dahaga gelar bergengsi, sering dikecawakan, dan juga kerap menguras emosi.

Akan tetapi, Liverpool memberikan asa bahwa suatu saat momen yang indah akan datang. Eits, tapi jangan lupa. Liverpool tidak semerta-merta juara Liga Primer Inggris hanya karena sudah waktunya.

Ada pihak-pihak dan komponen penting yang saling bersinergi, mulai dari Fenway Sport Group sebagai pemilik dan juga manajemen. Ditambah kejeniusan orang-orang seperti Michael Edwards dibelakang tim pelatih yang berfungsi mengurusi masalah perekrutan pemain.

Kemudian, puncaknya adalah Jurgen Klopp dan anak asuhnya yang telah mengusahakan selama di lapangan latihan dan mengeksekusinya dengan ciamik di stadion. Sebuah perpaduan yang sempurnya untuk meraih sebuah gelar juara.

Poin itulah yang dapat ditiru. Andai PSSI dan manajemen timnas bisa berkontribusi bak FSG dan Michael Edwards, lalu Shin Tae-yong bisa menjalankan peran seperti Klopp, dan para pemain juga dapat mengimplementasikannya di lapangan, trofi itu pasti akan datang.

Untuk mewujudkan itu, masih ada waktu satu tahun lagi untuk mengikuti apa yang Liverpool raih setelah penantian selama 30 tahun. Dengan kabar diundurnya gelaran Piala AFF menjadi tahun depan, bisa jadi tepat tiga dekade juga pecinta sepakbola Indonesia mengakhiri puasanya.

Andai timnas menjadi juara tentunya.

Komentar
Penggemar sepakbola yang dapat disapa melalui akun Twitter @__alvin7