Frank Lampard: Pemberi Harapan Palsu

Sebagai penggemar Chelsea yang lahir ditahun 1990-an, saya tentu tidak asing dengan sosok Frank Lampard. Ia merupakan legenda klub yang jadi idola fans bersama Didier Drogba dan John Terry karena sukses menghadiahkan belasan titel semasa aktif bermain.

Lampard pertama kali datang ke Stadion Stamford Bridge pada tahun 2001 usai direkrut dengan mahar 11 juta Poundsterling dari West Ham United. Saat itu, namanya memang tengah naik daun sebagai gelandang muda berkualitas sebab kemampuannya komplet.

Sebagai pemain, Lampard dikenal sebagai salah satu figur agung di Inggris karena punya rekam jejak brilian. Di luar prestasi yang telah saya sebutkan di paragraf awal, sosok kelahiran Romford ini juga mengukir banyak rekor individu bareng The Blues. Misalnya saja koleksi 211 gol (bikin namanya sah jadi pencetak gol terbanyak kedua sepanjang sejarah klub hingga saat ini) dari total 648 penampilan.

Selain itu, dirinya pernah beraksi di atas lapangan dalam 164 partai berturut-turut di Liga Primer Inggris. Peristiwa itu sendiri terjadi pada 13 Oktober 2001 sampai 26 Desember 2005.

Sebuah bukti jika Lampard paham cara menjaga kondisinya agar tidak mudah cedera serta menghindari tindakan-tindakan kasar yang berpotensi mendapat hukuman kartu dari wasit saat bertanding.

Catatan itulah yang bikin dirinya selalu dihormati oleh seluruh elemen di tubuh Chelsea. Tatkala Lampard pensiun dan akhirnya menekuni dunia kepelatihan, muncul berbagai rumor jika suatu hari, ia adalah sosok yang pantas untuk dijadikan arsitek tim.

Musim 2018/2019 jadi momen perdananya melatih. Kesebelasan Championship, Derby County, jadi pihak yang mau mengenakan jasanya. Secara tak terduga, Lampard berhasil mengubah The Rams dari kesebelasan papan tengah menjadi langganan papan atas guna berebut tiket promosi.

Pada pengujung musim, Derby finis di peringkat enam klasemen sekaligus mengunci satu tiket ke babak playoff promosi. Leeds United jadi lawan mereka pada fase semifinal. Dalam dua leg, kubu asuhan Lampard berhasil unggul agregat 4-3 sehingga berhak melaju ke final.

Aston Villa menjadi lawan mereka pada laga puncak yang menentukan. Sialnya, di momen inilah The Rams gagal memetik kemenangan buat kembali ke Liga Primer Inggris yang sudah ditinggalkan selama kurang lebih satu dasawarsa. Derby keok dengan skor tipis 1-2.

BACA JUGA:  Jose Mourinho dan Kestabilan Psike

Walau gagal membawa timnya promosi, ketertarikan Chelsea untuk meminang Lampard sudah terendus khalayak. Benar saja, per musim 2019/2020 ia mengisi pos pelatih yang lowong usai ditinggalkan Maurizio Sarri. Nama terakhir memilih mudik ke Italia buat menangani Juventus.

Seiring dengan kedatangannya, fans The Blues di seluruh dunia mulai berekspektasi. Romantisme yang terjalin lama di antara Chelsea dan Lampard diharapkan bisa mengantarkan klub ke arah yang lebih baik serta rajin memanen gelar.

Akan tetapi, musim perdana Lampard tidak berjalan mulus. Bintang andalan, Eden Hazard, memilih pergi dari London guna bergabung dengan raksasa Spanyol, Real Madrid. Sementara Gary Cahill dan David Luiz menyeberang ke tetangga The Blues di ibu kota, Crystal Palace dan Arsenal.

Pada saat yang bersamaan, Chelsea sedang terkena embargo transfer dari induk organisasi sepakbola dunia (FIFA) akibat kebijakannya merekrut pemain-pemain belia di bawah umur 18 tahun. Alhasil, mereka tak dapat aktif di bursa transfer.

Keadaan tersebut bikin Lampard memutar otak dan menyiasatinya dengan mempromosikan sejumlah pemain lulusan akademi.

Figur seperti Tammy Abraham, Billy Gilmour, Callum Hudson-Odoi, Reece James, dan Mason Mount pun mendapat tempat dan kesempatan bermain bersama Cesar Azpilicueta, Olivier Giroud, Jorginho maupun N’Golo Kante.

Musim kompetisi yang diwarnai jeda gara-gara pandemi Covid-19 tak menghalangi Lampard untuk menuntun Chelsea finis di posisi empat klasemen akhir Liga Primer Inggris serta jadi finalis Piala FA. Rapor itu bikin publik semakin yakin bahwa lelaki berusia 42 tahun tersebut merupakan sosok yang tepat buat menangani The Blues.

Media-media Inggris pun mulai berani melambungkan nama Lampard sebagai aktor yang dapat membawa Chelsea menuju era keemasannya yang baru. Terlebih sepanjang musim panas kemarin mereka jor-joran di bursa transfer usai hukumannya dicabut.

Tidak kurang dari 200 juta Poundsterling dikeluarkan klub untuk memboyong nama-nama seperti Ben Chilwell, Kai Havertz, Eduoard Mendy, Thiago Silva, Timo Werner, dan Hakim Ziyech. Asanya jelas, Lampard dapat mengombinasikan mereka dengan penghuni lawas Stadion Stamford Bridge buat memetik trofi demi trofi.

BACA JUGA:  Garuda Select: Solusi atau Tautologi Primavera dan SAD?

Namun harapan tinggal harapan, performa Chelsea pada musim ini justru kurang memuaskan. Mereka memang melaju mulus di fase grup Liga Champions, tetapi rontok cepat di Piala Liga serta inkonsisten saat berkiprah di Liga Primer Inggris. Pada ajang yang disebut terakhir, Lampard malah cuma sanggup membawa timnya menang sekali dari enam partai pamungkas.

Hingga tulisan ini dibuat, Kante dan kawan-kawan sedang terperosok di posisi sembilan klasemen sementara berbekal 26 angka dari 17 pertandingan. Dengan materi skuad yang begitu mentereng, banyak yang menganggap Chelsea berada di tempat yang tak seharusnya.

Menurut laporan The Sun, Lampard hanya mencatatkan rerata 1,70 poin per pertandingan. Angka tersebut merupakan yang terburuk di antara pelatih yang pernah membesut The Blues. Lampard sudah menyamai catatan Andre Villas-Boas yang tak sampai semusim menangani Chelsea lantaran dipecat.

Segenap rekor jeblok yang diukir Lampard selama melatih ini bertolak belakang dengan apa yang sukses dibuatnya semasa bermain. Chelsea asuhannya tak terlihat sebagai tim “berharga mahal”. Wajar bila kemudian ia dihujani kritik dan cemoohan oleh penggemar.

Narasi seperti pelatih miskin taktik, tak tahu cara memaksimalkan kemampuan Havertz dan Werner serta tanda pagar #LampardOut kian membahana. Kemampuannya melatih pun mulai dipertanyakan.

Sebagai fans Chelsea, saya tidak begitu peduli dengan status legenda yang dipegang Lampard. Sebagai pemain, ia memang legenda. Namun sebagai pelatih, ia cuma anak bawang. Dua hal inilah realita yang mesti dipahami juga oleh banyak suporter The Blues sehingga tidak menerapkan standar ganda dalam menilai Lampard.

Melihat aksi-aksi Chelsea belakangan ini rasanya menjemukan sekali. Gestur pemain pun memperlihatkan sesuatu yang aneh. Apakah Lampard sudah kehilangan karisma di ruang ganti? Entahlah. Namun satu yang pasti, jika performa tim terus merosot, mengevaluasi Lampard adalah keharusan.

Bila tak ada hal lain yang dapat ia tawarkan, pantas rasanya kalau surat pemecatan diterimanya dalam waktu dekat. Di lapangan, Lampard adalah legenda dan panutan. Namun di tepi lapangan, sejauh ini ia masih setia mengenakan topeng pemberi harapan palsu nan menyebalkan.

Komentar
Penggemar Chelsea dan Persib. Mahasiswa tingkat akhir yang berharap cepat meraih gelar sarjana. Hobi membaca, mendaki, dan menonton sepakbola, dan juga mempunyai harapan bisa melihat Timnas Indonesia menjuarai Piala Dunia. Dapat disapa di akun twitter @f_wijayaa