“Banyak orang dalam sistem yang mungkin sudah tidak tertarik lagi pada permainan bernama sepakbola yang indah ini. Mereka punya agenda lain yang kita semua tidak pernah tahu.”
Kalimat tersebut ditulis Antony Sutton pada bab terakhir dalam buku, “Sepakbola The Indonesian Way of Life”.
Bab yang dibuka dengan kisah singkat sang penulis ketika menonton sepakbola pertama kali, sampai akhirnya membahas intrik FIFA, PSSI, dan Pemerintah.
Sepakbola milik semua, memang. Namun sepakbola harus tetap punya batas dan mengutamakan hegemoni jersei daripada dasi.
Begitu seharusnya esensi sepakbola Indonesia yang harus dijaga, tak terkecuali oleh Kabupaten Banjarnegara.
Persibara
Kabupaten Banjarnegara adalah kabupaten dengan Upah Minimum Regional (UMR) terendah se-Jawa Tengah yang memelihara klub sepakbola bernama Persibara.
Sayangnya, kondisi klub saat ini tak kalah keruh dari predikat tempat tinggalnya.
Berdiri sejak tahun 1989, Persibara belum juga sanggup berbicara banyak. Jangankan untuk level nasional, dalam lingkup Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen) saja suaranya terdengar lirih.
Pencapaian yang dibanggakan klub berjuluk Laskar Dipayuda adalah runner up Liga 3 Jateng dan play off Liga 3 Nasional di tahun 2018.
‘Prestasi’ yang cukup mengharukan untuk dicantumkan pada akun media sosial Instagram resminya, @persibara_official.
Sebagian pencinta sepakbola Indonesia mungkin ada yang ingat dengan Persibara. Dugaan saya tentu bukan tentang prestasinya, melainkan problemnya.
Klimaksnya pada 19 Desember 2018 silam ketika manajer Persibara, Lasmi Indaryani menghadiri program Mata Najwa.
Kala itu, Lasmi juga didampingi Ketua Asosiasi Kabupaten (Askab) PSSI Banjarnegara sekaligus Bupati Banjarnegara, Budhi Sarwono, yang tak lain adalah ayahnya.
Tajuk yang dibahas Najwa Shihab pada malam itu adalah, “PSSI Bisa Apa Jilid 2: Klub Liga Tiga Setor Rp 1,3 Miliar untuk Naik Kasta”.
Akan tetapi, saya tak akan bernostalgia dengan kronologi kasus tersebut. Alasannya, persoalan itu terlampau menjemukan dan kelam, juga bagi saya.
Pada masa itu, saya sebenarnya telah menyusun skripsi dengan bahasan citra positif Persibara, yang bahkan telah sampai pada bab tiga, tetapi saya kandaskan secara sengaja.
Awalnya saya kagum dengan performa Persibara, setidaknya setelah sekian lama dengan yang nyaris naik kasta ke Liga 2.
Saya tertarik dengan laju Persibara yang mengejutkan. Sampai akhirnya publik mengetahui bahwa Laskar Dipayuda terlibat dalam kebobrokan mafia bola di Indonesia.
Jujur, saya ragu jika harus menuliskan Persibara sebagai korban. Pun dengan mendeklarasikan manajemen Persibara sebagai pahlawan.
Sebab, andai Persibara terus melaju ketika itu, apakah manajemen tetap mengungkap persekongkolan itu? Hanya mereka yang bisa menjawab.
Ketika itu, tak sedikit warga Banjarnegara yang larut dalam euforia dan mengagung-agungkan keberanian beberapa pihak.
Sampai-sampai masa bodoh akan makna-makna yang tersurat maupun yang tersirat. Atau mungkin sungkan untuk sekadar menyatakan realita.
Saya akan mencoba sedikit mengurai fakta lain Persibara dan manajemennya. Sebagai peneguhan, juga renungan, bahwa argumen saya penuh alasan dan keprihatinan.
Manajemen Persibara
Sebelumnya saya telah menyebut nama Lasmi Indaryani dan Budhi Sarwono sebagai garda terdepan Persibara.
Lasmi yang kala itu menjabat sebagai manajer Persibara, mengantongi amanat lain sebagai kader Partai Demokrat.
Fakta tersebut setidaknya menjelaskan makna ornamen “LIY” di bagian depan jersei Persibara kala itu. Belum ngeh? LIY-AHY.
Sedangkan Budhi Sarwono memangku jabatan Ketua Askab PSSI Banjarnegara sekaligus menduduki singgasana Bupati Banjarnegara periode 2017-2022.
Saya tekankan lagi, hubungan keduanya adalah bapak dan anak. Sebelum keduanya mundur dari jagat sepakbola Banjarnegara pada akhir 2018.
Saat ini, Lasmi Indaryani telah terdaftar sebagai anggota DPR Daerah Pemilihan VII Jawa Tengah periode 2019-2024.
Sementara Budhi Sarwono bertahan sebagai Bupati Banjarnegara hingga beliau ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa pada tahun 2021 ini.
Saya jadi penasaran siapa suksesor mereka. Nahasnya, saya tak mendapati nama pasti manajer Laskar Dipayuda pengganti Lasmi.
Kemudian, melalui salah satu unggahan di Instagram resmi Persibara pada tanggal 2 Februari 2020, saya menemukan nama I Putu Dodi Mangkikit sebagai ketua umum Askab PSSI Banjarnegara periode 2020-2024.
Beliau terpilih secara aklamasi yang berarti disetujui dan disepakati secara lisan tanpa melalui pemungutan suara.
Saya semakin bertanya-tanya siapa sebenarnya sosok ini? Sampai akhirnya saya menyadari bahwa I Putu Dodi Mangkikit adalah suami Lasmi Indaryani, dan tentu saja menantu Budhi Sarwono.
Tak hanya itu, I Putu Dodi Mangkikit ternyata juga memiliki jabatan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Dewan Perwakilan Cabang (DPC) Partai Demokrat Purbalingga.
Mengejutkan karena awalnya saya mengira beliau adalah sosok independen tanpa embel-embel bendera partai.
Persibara Saat Ini
Saat ini, Askab PSSI bersama Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Banjarnegara terlihat begitu romantis untuk memayungi Persibara.
Saya berharap, pihak-pihak tersebut tulus mengatasnamakan kepentingan sepakbola daerah, bukan kelompok, apalagi lainnya.
Selanjutnya, Persibara memilih untuk tidak berpartisipasi di Liga 3. Klub yang bermarkas di Stadion Sumitro Kolopaking itu terlihat lebih fokus pada pengembangan pemain muda, baik pria maupun wanita.
Menurut saya keputusan tersebut memang paling etis. Lagipula, untuk apa tergesa-gesa mengarungi liga dengan awak dan nakhoda yang alakadarnya?
Menggali potensi para pemain muda secara berkelanjutan adalah pondasi utama sepakbola.
Hiraukan siasat instan karena untuk aspek apapun, pondasi yang gigih adalah awal bagi akhir yang megah.
Semoga lekas bersuara, Persibara! Tentang sepakbola tentunya, bukan mafia atau intrik politik lainnya.