PSSI dan Kemunduran Sepakbola Indonesia

“PSSI harus eksis dan berkontribusi positif bagi kemajuan negara.”

Itulah cita-cita Ir. Soeratin Soesrosoegondo, saat mendirikan federasi sepakbola Indonesia (PSSI), di masa penjajahan Belanda dahulu.

PSSI diharapkannya bisa menjadi salah satu alat untuk melepaskan diri dari penjajahan dan memajukan Indonesia (dahulu Hindia Belanda) sebagai sebuah negara.

“Gaya menggiring bola pemain depan tim Hindia Belanda sungguh brilian”. Begitu kutipan dari media Prancis L’Equipe edisi 6 Juni 1938 yang menggambarkan jalannya laga putaran final Piala Dunia 1938 antara Hindia Belanda (sekarang Indonesia) melawan salah satu raksasa Eropa pada masa itu, Hungaria.

Pertandingan yang digelar di Stadion Reims, pada 5 Juni 1938 tersebut berakhir 6-0 untuk kemenangan Hungaria.

Menyedihkan memang, tetapi sejarah tetap tercipta. Hindia Belanda jadi negara Asia pertama yang turun di kejuaraan sepakbola antarnegara termegah, Piala Dunia.

Sepakbola Indonesia kembali mencuri perhatian pada Olimpiade Melbourne 1956. Tim asuhan Toni Pogacnik di luar ekspektasi mampu bermain apik dan menahan imbang salah satu gacoan sepakbola saat itu, Uni Soviet, dengan skor kacamata.

Berkat penampilan itu, Presiden FIFA keenam, Sir Stanley Rous, menyampaikan pujiannya.

“Baru kali ini aku melihat permainan bertahan yang sempurna sekali,” ucapnya seperti dilansri Bola.com.

Dua tahun berselang, tepatnya pada Asian Games Tokyo 1958. Indonesia berhasil meraih medali perunggu. Kiprah anak asuh Pogacnik ketika itu sungguh mentereng.

Maulwi Saelan dan kolega lolos dari fase grup sebagai kampiun usai mengangkangi India dan Myanmar. Kemudian di babak perempatfinal, mereka meluluhlantakkan Filipina.

Pada babak semifinal, Indonesia bertemu Taiwan. Duel berjalan alot dan di sinilah tim Garuda merasakan kekalahan perdananya usai keok 0-1.

Kekalahan itu pula yang bikin Maulwi dan kawan-kawan mesti puas berhadapan dengan India pada laga perebutan medali perunggu.

Selayaknya laga di fase grup, Indonesia kembali mempecundangi India. Skor 4-1 menjadi penjamin skuad Garuda membawa pulang medali perunggu.

Performa gemilang anak asuh Pogacnik pada dua momen itulah yang bikin sepakbola Indonesia dilirik dunia. Label Macan Asia pun disematkan.

BACA JUGA:  Menunggu Hasil Investasi Masif Everton

Ironisnya, pencapaian itu bikin kita jemawa. PSSI justru kepayahan membuat persepakbolaan nasional menjadi kompetitif, sehat dan profesional.

Alih-alih memburu kesuksesan, pengurus PSSI malah lebih piawai bikin skandal. Kasus korupsi, pengaturan skor, dualisme, ketua umum yang bermasalah, cuek pada sistem pembinaan, ketidakmampuan menyelenggarakan kompetisi secara ideal, dan masih banyak kendala lainnya jadi wajah organisasi yang berdiri pada 19 April 1930 tersebut.

Buntutnya, prestasi Indonesia kian merosot. Tak perlu muluk bicara level dunia atau Asia, di tingkat regional Asia Tenggara saja kita megap-megap mengejar Malaysia, Singapura dan Thailand.

Terasa makin parah, Indonesia saat ini juga inferior di hadapan Filipina, Myanmar serta Vietnam.

Terjun Bebas di Peringkat FIFA

Dilansir dari situs resmi FIFA, per tanggal 16 September 1998, terdapat empat negara Asia Tenggara yang masuk ke dalam 100 besar peringkat FIFA. Mereka adalah Thailand (43), Indonesia (76), Vietnam (84), dan Myanmar (99).

Empat negara ini dinilai punya tradisi sepakbola kuat, jadi wakil langganan Asia Tenggara di level yang lebih tinggi dan punya masa depan cerah.

Namun apa lacur, dalam kurun dua dekade setelahnya, cuma Vietnam yang mampu bertahan di 100 besar.

Berdasarkan peringkat terbaru per 18 Februari 2021, Vietnam ada di posisi 93. Sedangkan Thailand, Myanmar, dan Indonesia berturut-turut mengisi tempat ke-110, 137, dan 173.

Posisi Indonesia kini bahkan selevel dengan negara gurem Asia Tenggara, Kamboja. Jujur saja, melihat peringkat Indonesia yang seburuk itu, harusnya PSSI merasa sangat malu.

Apa yang sudah mereka perbuat selama enam dekade pamungkas sehingga sepakbola Indonesia malah berjalan mundur?

Di luar periode kepemimpinan Kardono (1983-1991), tak ada satu prestasi manis pun yang dituai tim senior.

Terjun bebas dari peringkat 76 menjadi 173 dalam kurun waktu dua dasawarsa menjadi gambaran nyata kondisi sepakbola Indonesia.

Bersaing di level Asia Tenggara saja tertatih-tatih, maka berbicara banyak di kancah Asia maupun dunia laksana mimpi di siang bolong.

BACA JUGA:  Bung Hatta Sebagai Pencinta Sepak Bola

Hal ini dibarengi dengan ketidakmampuan PSSI menyelenggarakan kompetisi sepakbola yang teratur, sehat, dan profesional. Masalah pembinaan usia muda di seantero negeri juga tak kunjung selesai.

Berdasarkan Statuta PSSI 2018 pasal 4 ayat 1, tugas PSSI adalah mengembangkan sepak bola Indonesia. Namun pada kenyataannya, mereka justru tak mampu melakukannya.

Terpilihnya Mochamad Iriawan alias Iwan Bule sebagai Ketua Umum PSSI periode 2019-2023 belum menunjukkan titik terang bagi persepakbolaan nasional.

Padahal, lelaki kelahiran 31 Maret 1962 tersebut punya sejumlah target yang diusung.

Mulai dari modernisasi program pembinaan, menjuarai kompetisi level Asia Tenggara, sampai jadi kampiun Asia, dan lolos ke Piala Dunia 2026.

Entah itu muluk atau tidak. Namun realita di lapangan menunjukkan bahwa kiprahnya sejauh ini masih jauh dari kata memuaskan.

Kelangsungan kompetisi masih jadi masalah yang terus mengganggu, khususnya sejak merebaknya pandemi Covid-19.

Buat menentukan apakah kompetisi Liga 1 musim 2020 akan dilanjutkan atau malah dihentikan saja, PSSI butuh waktu nyaris setahun untuk memutuskannya.

Problem finansial yang acap mendera klub dan akhirnya berimbas pada pembayaran gaji pemain yang telat masih sering terjadi.

Belum lagi soal perselisihan antarsuporter yang masih kerap muncul, baik di dunia maya maupun dunia nyata.

Ada banyak target yang dicanangkan PSSI, khususnya kepada pelatih timnas, Shin Tae-yong. Namun ironis, hal itu tak dibarengi dengan adanya perbaikan menyeluruh pada aspek pendukungnya.

Indikator perbaikan sepakbola Indonesia bisa dilihat dari banyak hal. Mulai dari program pembinaan yang berjalan lancar sehingga melahirkan bakat-bakat muda yang akan jadi tulang punggung Indonesia pada masa depan, sampai keberlangsungan kompetisi yang sehat dan profesional.

Jika hal-hal di atas tak memperlihatkan perubahan ke arah yang lebih baik, rasanya mustahil bagi para penggemar sepakbola Indonesia untuk melihat kiprah timnasnya membaik pada masa yang akan datang.

Bukannya berjalan maju dan mengejar ketertinggalan, PSSI akan menuntun langkah Indonesia jadi semakin mengundur mengundur mundur.

Komentar
Penggemar Barcelona yang paling sabar. Alumni perikanan tapi bercita-cita jadi wartawan. Bisa disapa di akun twitter @Alishaqiakbar.