Apabila kamu mulai jadi fans Real Madrid di era 2000-an, nama Jose Maria Gutierez Hernandez alias Guti tentu tidak asing. Sebagai didikan asli akademi Los Galacticos, Guti berhasil mengikuti jejak alumnus lain seperti Emiliano Butragueno, Michel, Raul Gonzalez, dan Manuel Sanchis dengan tampil bagi tim utama serta menahbiskan dirinya sebagai legenda.
Berdiri di tengah barisan para bintang adalah sebuah mimpi sekaligus bencana bagi para pemain sepakbola. Disebut mimpi karena bermain dengan pesepakbola kelas wahid dan populer adalah kenikmatan tiada tara. Namun di sisi lain, hal itu juga mengebiri kesempatan seorang pemain untuk beroleh tempat utama karena umumnya, pelatih cenderung memainkan sosok-sosok bintang lantaran dianggap punya kualitas lebih ciamik.
Kampanye Los Galacticos yang diusung oleh presiden Florentino Perez membuat banyak pemain asli binaan La Fabrica sulit beroleh tempat di tim utama. Publik pasti masih ingat sebuah peristiwa yang diinisiasi Perez pada periode pertamanya memegang jabatan presiden klub.
Ia mengeluarkan kebijakan yang oleh media disebut, “Zidanes y Pavones”, merujuk pada kebiasaan sang presiden buat mendatangkan pemain bintang sekelas Zinedine Zidane dan mengombinasikannya dengan pemain akademi semisal Fransisco Pavon.
Strategi ini sempat menuai cibiran publik karena realitanya, bintang yang diboyong Perez ke Stadion Santiago Bernabeu jauh lebih banyak ketimbang mereka yang sukses mendapat promosi dari tim Real Madrid Castilla.
Walau demikian, itu semua cocok dengan visi Perez yang ingin Madrid tidak cuma menjual dari segi prestasi, tapi juga sisi bisnis. Meski risikonya besar, merekrut para bintang jadi opsi yang ditempuh sang presiden, antara lain membajak David Beckham, Luis Figo, Claude Makelele, Michael Owen, Ronaldo, Walter Samuel, dan Zidane.
Namun layaknya oase di tengah padang pasir nan tandus, dalam kepungan para pemain bintang di segala posisi, Guti melesat dengan kontribusi apiknya kendati di awal karier profesionalnya dengan baju serba putih khas Madrid, figur kelahiran 31 Oktober 1976 tersebut mendapat kepercayaan yang minim.
Pemain yang namanya acap diplesetkan dengan panggilan Haji Guti (akibat namanya yang ditulis H. Guti di sejumlah gim konsol), adalah pesepakbola genius.
Berposisi sebagai gelandang, Guti punya visi tajam dan akurasi umpan yang ajaib. Walau tak setenar Beckham, Figo maupun Zidane, nyatanya memang sulit untuk tidak memuji kemampuan Guti. Jika menyaksikan potongan video berisi umpan-umpan ajaib Guti selama berkostum Los Galacticos, pasti kita akan terkagum-kagum.
GUTI assists are my happy place pic.twitter.com/4ftrLYZhaf
— My Greatest 11 (@MyGreatest11) March 27, 2020
Masuk akademi Madrid sejak usia 10 tahun pada 1986, mimpi Guti mengenakan baju Madrid di level profesional terwujud saat ia berumur 19 tahun pada 1995 silam. Kala itu, Guti turun sebagai pemain pengganti Madrid menang 4-1 atas Sevilla di kandang sendiri.
Sejatinya, Guti sudah digadang-gadang sebagai penggawa penting Los Galacticos setelah mengukir 14 gol di musim 2000/2001 sekaligus membawa timnya jadi raja di Spanyol dengan memenangi La Liga.
Apalagi sebelum itu, Guti juga berkontribusi atas sejumlah gelar yang didapat Madrid. Namun proyek yang dijalankan Perez membuat Guti harus menerima kenyataan bahwa statusnya di skuad saat itu tak lebih dari ban serep meski sering dimainkan para pelatih.
Nasib Guti mulai berubah kala Figo hengkang ke Inter Milan dan Zidane memutuskan pensiun selepas musim 2005/2006. Benar saja, sosok yang kini tercatat sebagai pelatih Almeria tersebut akhirnya diplot sebagai jenderal baru di sektor tengah Madrid. Tak hanya itu karena Guti juga didapuk sebagai wakil kapten. Sebuah jabatan yang menunjukkan esensi seorang pemain di dalam tim.
Kali ini, meski Perez tetap melanjutkan proyek Los Galacticos-nya, Guti masuk sebagai salah satu persona sentral di dalamnya. Presensinya krusial untuk raihan dua gelar La Liga (2006/2007 dan 2007/2008) serta sebiji Piala Super Spanyol (2008).
Ironis, cara serupa Perez juga dipilih Ramon Calderon saat mengomandoi Madrid dari kursi presiden. Rutinitas membeli pemain bintang di bursa transfer dilanjutkan.
Alhasil, klub asal ibu kota ini sering menimbun pemain-pemain bagus di skuadnya. Apes, mereka justru kerap mendapat menit bermain yang sedikit karena tidak cocok dengan skema pelatih atau bersitegang dengan rekan setim lantaran perangainya.
Antonio Cassano, Kaka, Arjen Robben, Wesley Sneijer, dan Rafael van der Vaart adalah sebagian megabintang yang direkrut Madrid pada rezim Calderon. Uang yang digelontorkan Madrid pun tak main-main karena nama-nama tersebut bukan pesepakbola sembarangan.
Walau tak pernah jadi aktor utama dalam seluruh film Madrid, tapi Guti selalu menampilkan kemampuan terbaiknya manakala beraksi di atas lapangan. Bagi saya sendiri, Guti adalah simbol pesepakbola yang menyayangi sebuah klub secara utuh, tidak peduli bagaimana klub atau suporter memperlakukannya.
“Semua kesempatan datang mendekati saya. Saya merasa sangat senang bermain sebagai gelandang, namun Zidane akhirnya tiba dan merebut posisi itu. Kemudian saya bermain sebagai penyerang, dan saya menikmatinya, tapi akhirnya Ronaldo pun tiba. Tatkala saya mulai dipercaya mengenakan kostum tim nasional Spanyol, Beckham datang,” katanya pada tahun 2003 lalu, seperti dikutip dari These Football Times.
Seperti fans klub besar pada umumnya, Madridistas adalah kelompok suporter yang sangat penuntut dan memilih-milih momen untuk sekadar melontarkan pujian. Guti merupakan satu dari sekian pemain yang mengerti akan hal itu. Kala isu transeksual menyerangnya pada 2008 lalu, banyak Madridistas yang melupakan jasa-jasanya begitu saja. Mereka seolah menganggap Guti tak pernah ada.
Ketika pergi dari Stadion Santiago Bernabeu guna pindah ke Turki untuk memperkuat Besiktas per musim 2010/2011, tak ada pesta perpisahan buat sang pemain. Padahal ia telah memperkuat Madrid selama seperempat abad.
Meski begitu, cintanya ke Los Galacticos tidak pernah putus. Sesaat setelah pensiun, ia kembali ke ibu kota untuk menjadi pelatih tim akademi Madrid, tempat ia menimba ilmu dhaulu. Di momen Zidane memutuskan mundur selepas musim 2017/2018 kemarin, nama Guti sempat mencuat jadi pengganti. Namun ia akhirnya kalah dari Julen Lopetegui. Guti lantas balik kucing ke Besiktas guna menduduki jabatan asisten pelatih dari Senol Gunes.
Hal serupa kembali terjadi ketika Lopetegui dipecat Madrid akibat serentetan hasil buruk. Namanya sempat mengapung ke permukaan sebagai suksesor, tapi manajemen Los Galacticos lebih memilih Santiago Solari. Pada saat nama terakhir dipecat Madrid pada Maret 2019, Guti kembali masuk bursa. Namun harus menelan kecewa sebab pilihan manajemen jatuh kepada Zidane lagi.
Pengalaman bareng akademi Madrid dan menjadi asisten di Besiktas pula yang kemudian memantik atensi Almeria. Klub divisi Segunda itu mendapuk Guti sebagai kepala pelatih per November 2019 lalu.
Di bawah arahan Guti, Los Rojiblancos sanggup nangkring di peringkat dua klasemen sementara divisi Segunda dan berpeluang mendapat tiket promosi otomatis ke La Liga. Sayangnya, ambisi besar Almeria dan Guti kudu ditahan karena liga terpaksa disetop gara-gara pandemi Corona yang melanda dunia.
Tak cuma saat berstatus pemain aktif, bahkan di kala menjadi pelatih pun, Guti selalu kalah pamor dari mereka yang mempunyai nama besar. Padahal Guti senantiasa memperlihatkan sentuhan magisnya, baik saat menggiring bola atau memberi instruksi dari pinggir lapangan.
Meski begitu, ia tetap rendah hati dan menerima kondisi tersebut. Bahkan selalu mencintai Madrid seperti apapun keadaannya. Guti seolah mengajari klub dan Madridistas tentang cara menghargai orang atau entitas.
Gracias, Guti.