Sudah menjadi rahasia umum bahwa Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) tidak pernah lepas dari isu yang tidak mengenakkan. Ada begitu banyak kasus yang mencoreng nama baik PSSI sendiri, mulai dari buruknya tata kelola sepakbola nasional sampai pengaturan skor yang ironisnya, didalangi oleh orang-orang dari federasi.
Kasus–kasus semacam ini, yang seolah tidak ada hentinya, membuat masyarakat, khususnya para penikmat sepakbola, semakin geram melihat kinerja dari organisasi bentukan Soeratin tersebut.
Kinerja PSSI sampai hari ini rasa–rasanya masih sangat jauh dari apa yang diharapkan masyarakat. Alih–alih menjadi instrumen penting dalam proses membenahi persepakbolaan dalam negeri, PSSI justru menjadi instansi seksi bagi mereka yang hendak meraup keuntungan dari lembaga yang satu ini.
Hal ini juga dapat dilihat dari birokrasi PSSI yang belum bisa dikatakan efektif dan efisien. Lantas, sejauh apa sebenarnya birokrasi PSSI ini bisa mempengaruhi prestasi Tim Nasional (Timnas) Indonesia? Apakah birokrasi yang amburadul di tubuh PSSI memang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap prestasi Timnas?
Menurut saya, jawabannya adalah, “Ya”.
PSSI sejatinya didirikan untuk menjadi garda terdepan dalam menyokong persepakbolaan nasional di segala aspek. Sokongan dalam bentuk materiel tentu dapat dilihat dari jumlah anggaran yang digelontorkan pada PSSI. Sekarang, yang menjadi pertanyaan publik adalah: “Sudah tepat sasarankah anggaran tersebut digunakan?”
Mungkin publik bisa menilai dengan melihat realita yang ada saat ini dan kemudian membandingkannya dengan besaran anggaran yang diterima PSSI setiap tahunnya, baik dari pemerintah maupun induk organisasi sepakbola dunia (FIFA).
Anggaran yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan kemampuan pemain, membangun fasilitas yang berguna untuk pengembangan sepakbola Indonesia, kursus kepelatihan, meningkatkan kualitas wasit, pencarian bibit–bibit muda, dan sebagainya, apakah sudah benar–benar dilakukan?
Pada 2013 silam, seperti dikutip oleh Tempo, salah seorang anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, Erwin Dwi Budiawan, menyebut bahwa PSSI ingin membangun 8 stadion yang dapat digunakan sebagai lokasi latihan nasional.
“Terserah di mana saja, yang penting semua sarana dan prasarananya menunjang,” tutur Erwin.
Namun sampai hari ini, saya dan tentunya para penggemar sepakbola Indonesia belum melihat ucapan ambisius itu jadi kenyataan.
Sementara sokongan moral artinya PSSI juga menjadi garda terdepan dalam menumbuhkan semangat, kepercayaan diri serta mengembangkan kemampuan para pemain. Dengan begitu, para pemain memiliki mentalitas yang sehat dan kapasitas yang apik dalam berkompetisi.
Akan tetapi, realita berkata lain. Proses pengembangan pemain yang wajib (dan seharusnya sistematis) dilakukan PSSI belum kelihatan maksimal. Pun begitu dengan penindakan sejumlah kasus, seperti penunggakan gaji dari klub, yang acap berlarut-larut dan tak terselesaikan sehingga mengganggu mentalitas para pemain.
Dukungan moral yang tidak optimal dari PSSI pada akhirnya membuat para pemain yang merumput gusar karena pikirannya terbelah. Akibatnya kualitas mereka pun tak keluar seluruhnya.
Selama beberapa hari terakhir, media sosial diramaikan oleh nama-nama yang bakal masuk kepengurusan PSSI, mulai dari Ketua Umum sampai anggota Exco periode 2019-2023.
Bagi saya, siapapun yang terpilih nanti, punya kewajiban membenahi birokrasi di dalam tubuh PSSI agar lebih efektif dan efisien. Selain itu, keseriusan dan komitmen PSSI untuk memajukan sepakbola Indonesia juga harus ditingkatkan sebab merekalah yang memegang peran penting dalam hal tersebut.
Jika mereka tidak memiliki semangat, keinginan yang utuh, dan kesungguhan buat memajukan sepakbola Indonesia, utamanya membenahi PSSI, maka tak perlu menipu publik dengan melambungkan target muluk seperti lolos ke Piala Dunia, tampil bagus di Piala Asia, juara Piala AFF dan sebagainya. Semuanya, tanpa pembenahan serius di tubuh PSSI yang berkorelasi dengan pembenahan di sepakbola Indonesia, sampai kapanpun, bakal jadi mimpi yang semu.