Sebelum produser film bernama Aurelio de Laurentiis datang mengakuisisi Napoli pada tahun 2004 silam, tim yang bermarkas di Stadion San Paolo itu dikenal sebagai tempat dewa sepakbola asal Argentina, Diego Maradona, menemukan puncak ketenarannya.
Direkrut dari Barcelona di pertengahan era 1980-an, Maradona mengubah peruntungan I Partenopei. Dari sebuah klub yang biasa-biasa saja menjadi salah satu kesebelasan dengan penampilan impresif, berdaya saing dan mampu menorehkan prestasi ciamik.
Dua titel Scudetto dan masing-masing sebiji gelar Piala Italia, Piala Super Italia serta Piala UEFA (kini Liga Europa) jadi bukti kehebatan Napoli saat diperkuat oleh Maradona. Si Boncel betul-betul sukses mengatrol harkat I Partenopei yang sebelumnya kerap jadi bahan olokan.
Tak heran jika masyarakat Napoli amat mendewakan Maradona. Bahkan, ketika tim nasional Argentina yang dihuni Maradona berjumpa dengan tim nasional Italia di semifinal Piala Dunia 1990 yang di Stadion San Paolo, dukungan lebih besar justru diterima oleh Si Boncel dan kawan-kawan. Sebuah anomali yang akan diingat publik sampai hari ini. Maradona adalah Napoli, Napoli adalah Maradona.
Ironisnya, seusai ditinggal Maradona, klub dengan seragam biru ini limbung. Mereka tak lagi mampu bersaing di level teratas sepakbola Italia dan juga Eropa. I Partenopei seperti tumbuhan yang kurang air tanpa keberadaan Maradona.
Penuruna prestasi terjadi. Napoli jadi kesebelasan yang rajin turun naik kasta tertinggi sepakbola Italia. Lebih apesnya lagi, mereka dilanda masalah finansial akut dan dinyatakan bangkrut pada tahun 2004. Beruntung De Laurentiis datang dan menyelamatkan kapal Napoli yang nyaris tenggelam.
Uang senilai 29,4 juta Euro digelontorkan De Laurentiis untuk membentuk Napoli Soccer (kesebelasan pengganti Napoli) yang berlaga di Serie C1. Pelan tapi pasti, seiring keberhasilan mereka naik kasta ke Serie B, hak penggunaan nama Societa Sportiva Calcio Napoli akhirnya didapat dan terus digunakan sampai sekarang.
Bersama De Laurentiis, napas I Partenopei terlihat lebih baik dan sehat. Sang presiden yang sudah lama berkecimpung di dunia hiburan seakan mengerti bagaimana cara menambil perhatian publik. Hal itu juga yang memudahkannya untuk merakit ulang kejayaan Napoli di Negeri Spaghetti.
Secara konseptual, kemampuannya itu ia olah menjadi kombinasi antara paradigma pengelolaan di industri hiburan dan visi manajemen sepakbola. Implementasinya adalah dengan merekrut pemain yang punya potensi kualitas permainan di atas rata-rata tapi berhargafa murah.
Berbekal visi tersebut, citra baru I Partenopei sebagai salah satu habitat bagi pemain-pemain terbaik di Italia perlahan terbentuk. Raihan pelbagai prestasi pun mengiringi renaisans mereka. Efeknya, status Napoli sebagai klub papan atas Serie A mulai mendapat pengakuan dari publik sepakbola di luar Italia.
Bersamaan dengan itu, mereka tak lagi susah mendatangkan pemain-pemain berkualitas ke Stadion San Paolo guna dijadikan pilar tim. Siapa pun pasti mengangguk setuju bila menyebut Jose Callejon, Edinson Cavani, Marek Hamsik, Gonzalo Higuain, Lorenzo Insigne, Jorginho, dan Dries Mertens, menampakkan sinar kebintangannya selama mengenakan kostum Napoli.
Selain dari itu, De Laurentiis juga memahami bahwa syarat agar para pemain berbakat dapat mengeluarkan permainan terbaiknya adalah dengan mendatangkan juru taktik yang punya filosofi kendati masih minim prestasi. Alhasil, di era kepemimpinan De Laurentiis, kita bisa melihat pelatih-pelatih Napoli yang memiliki ciri khas permainan tertentu.
Sebagai contoh, ketika Walter Mazzarri didapuk sebagai allenatore, ia menitikberatkan serangan tim lewat permainan sayap. Ditambah dengan power dari lini tengah, ketajaman duo berbeda peran di sektor depan serta wilayah pertahanan yang solid. Dalam skema ini, para gelandang selalu dituntut untuk tampil elok sebagai jembatan lini belakang dan lini depan sekaligus mengeksekusi peluang. Pada sistem ini, Hamsik menjadi poros permainannya.
Usai era Mazzarri, Napoli dibesut oleh Rafael Benitez yang berhasil meraih prestasi gemilang di Liverpool. Benitez sendiri sebelum fenomenal bersama The Reds, sudah mengemuka berkat ciri khasnya yang selama di Valencia menggunakan sistem zonal marking dalam balutan formasi 4-2-3-1.
Sesaat setelah rezim Benitez selesai, Napoli diasuh oleh Maurizio Sarri yang punya ciri khas berupa pola permainan agresif disertai dominasi penguasaan bola. Keistimewaan permainan Sarri ini oleh penggemar sepakbola diberi label Sarrismo atau Sarriball.
Selepas kepergian Sarri, De Laurentiis memanggil Carlo Ancelotti. Sebagai pelatih, keampuhan taktik Don Carlo tak perlu disangsikan lagi. Ia berhasil merengkuh tiga trofi Liga Champions dan merupakan salah satu murid terbaik dari maestro sepakbola ofensif Italia, Arrigo Sacchi.
Sayangnya, performa apik Napoli pada musim pertama ditangani Ancelotti tak berlanjut di musim kedua. Serentetan hasil buruk bikin Don Carlo didepak sembari disubstitusi oleh Gennaro Gattuso. Awalnya, penunjukan Gattuso memunculkan kontroversi karena dianggap tak selevel dengan orang yang digantikannya. Namun De Laurentiis sepertinya punya pandangan berbeda.
Gattuso ia anggap sosok yang tepat untuk menguasai ruang ganti I Partenopei yang diisi cukup banyak pesepakbola dengan nama besar. Strateginya di lapangan juga dinilai punya kualitas untuk membantu Napoli meraih prestasi. Tak peduli bahwa rapor Gattuso di AC Milan merah.
Gattuso berasal dari Italia Selatan yang identik dengan gaya sepakbola penuh determinasi. Karakter permainannya selama merumput tak jauh dari identitas itu. Bahkan, ketika ia banting setir menjadi pelatih, identitas tersebut tetap melekat.
Ketika Napoli menjuarai Piala Italia musim 2019/2020, banyak yang mengatakan bahwa Insigne dan kawan-kawan hanya beruntung sebab menang via adu penalti atas Juventus. Namun semua itu bisa disanggah karena dalam situasi apapun, pelatih memiliki pengaruh kepada timnya. Keberhasilan I Partenopei tentu buah dari persiapan matang yang dilakukan Gattuso.
Satu hal yang jelas, penunjukan Gattuso memperlihatkan pergeseran orientasi De Laurentiis. Proyek renaisans Napoli sudah masuk ke tahap baru. Sukses atau tidak, hanya waktu yang bisa menjawab. Namun raihan trofi beberapa waktu lalu memberi secercah harapan.
Di bawah komando De Laurentiis, Napoli dirancang untuk menembus zaman dengan kolektivitas elegan para pemainnya. Ambisi itu membuat ia rela mendatangkan pelatih-pelatih bernama besar. Secara keseluruhan, I Partenopei sanggup merengkuh tiga Piala Italia dan satu Piala Super Italia di bawah rezim De Laurentiis. Dipandang dari sudut mana pun, capaian itu tergolong apik. Namun sang presiden ogah berhenti sampai di situ. Ia pasti ingin meningkatkan lagi prestasi klub dengan proyek renaisans jilid terbarunya.