Belajar dari Final Piala Presiden 2015

Piala Presiden akan mencampai titik akhir pada Minggu, 18 Oktober 2015. Final mempertemukan Persib Bandung melawan wakil Sumatera Selatan, Sriwijaya FC. Pertemuan keduanya akan dilakukan di Jakarta. Final Piala Presiden 2015 disinyalir akan menjadi salah satu final terpanas sepanjang sejarah sepak bola Indonesia. Salah satu sebabnya berkaitan dengan lokasi final.

Penunjukkan Jakarta menjadi tuan rumah laga akhir Piala Presiden 2015 mendapat protes dari The Jakmania. Suporter Persija Jakarta menolak final di Jakarta karena laga ini berpotensi menimbulkan permasalahan. Itu terjadi karena yang bermain adalah Persib Bandung. Bobotoh atau kelompok-kelompok suporter Maung Bandung memiliki riwayat buruk dengan The Jakmania. Plus karena selama ini The Jakmania dilarang datang ke Bandung untuk mendukung Persija.

Sebenarnya alasan penolakan kalau dilihat dari sisi keamanan adalah hal yang logis. Bisa jadi Jakarta akan menjadi tempat bertemunya dua kelompok suporter besar yang saling bertabrakan. Karena hampir dipastikan ribuan bobotoh datang ke Jakarta. Pemandangan yang langka. Tapi kali ini, Viking “diwajibkan” datang ke Jakarta dan Jakmania “diwajibkan” menyambut.

Kembali bahwa kalau ditinjau dari sisi keamanan, penolakan itu adalah hal wajar. Tapi, yang menjadi lucu adalah penolakan itu didasari rivalitas dan menolak Viking memasuki Gelora Bung Karno (GBK). Padahal Gelora Bung Karno adalah stadion nasional. Bukanlah stadion yang dimiliki oleh klub tertentu. Meski kita tahu di stadion inilah Macan Kemayoran memainkan laga kandangnya setelah dirugikan oleh kebijakan pemerintah yang menggusur stadion Menteng dan diikuti kebijakan serupa terhadap stadion Lebak Bulus.

Tapi, kembali lagi bahwa GBK bagaimanapun adalah stadion nasional. Kegunaannya bisa untuk berbagai hal. Selain pertandingan sepak bola, stadion yang dibangun era Presiden Soekarno ini bisa untuk menggelar konser musik, seperti saat One Direction menggelar pertunjukan yang sempat jadi kontroversi terkait kegunaan GBK. Saat era Perserikatan, GBK adalah tempat untuk menggelar laga final. Tak hanya partai puncak tapi juga jadi arena babak delapan besar yang diikuti klub-klub terbaik Indonesia.

Indonesia sudah sepatutnya memiliki stadion layaknya Wembley di Inggris yang hanya digunakan untuk laga-laga tertentu. Wembley tidak menjadi homebase oleh klub manapun. Sedangkan GBK telah menjadi homebase klub tertentu. Jadi, tidak sepenuhnya salah jika Persija dan Jakmania mempunyai rasa memiliki terhadap GBK.

Untuk menyiasati hal itu tentunya pemerintah DKI Jakarta sudah sepantasnya segera mewujudkan janji membangun stadion baru untuk Persija, untuk warga Jakarta. Kalau tidak, maka masalah seperti ini bisa muncul setiap waktu. Meski Ridwan Kamil dan Umuh Muchtar silaturahmi ke markas Persija juga Jakmania, belum tentu seluruh masalah selesai atau tidak menutup kemungkinan akan timbul masalah serupa kembali.

Tapi, mengharap realisasi janji pemerintah adalah pekerjaan sia-sia di negeri ini. Negara yang dipenuhi oleh penipu.

Pengalaman Italia dan Inggris

Lalu, bagaimana nasib final Piala Presiden? Ada beberapa cerita dari negeri nun jauh di sana yang kiranya bisa menjadi materi belajar untuk kita.

Di Italia ada permasalahan serupa dengan yang terjadi di tanah air. Italia biasa menggunakan stadion Olimpico untuk laga final Coppa Italia dan “menggilir” laga-laga timnas Italia. Italia tidak punya stadion khusus untuk timnas. Tapi, untuk final Piala Italia, Olimpico adalah arena yang paling sering digunakan.

Namun, sejauh pengetahuan penulis, tak pernah tersiar kabar kalau suporter AS Roma (Romanisti) dan Lazio (Laziale) memboikot laga final ketika klub kebanggaan mereka tidak bermain. Kalau pun terjadi kerusuhan, polisi sudah siap mengamankan. Mereka menerima kedatangan suporter tamu dan mempersilahkan stadion Olimpico digunakan oleh siapa pun. Toh, Olimpico bukan milik mereka.

Bukan perkara mudah untuk berjiwa besar demikian. Penulis pun memahami perasaan pihak yang menolak final diadakan di Jakarta. Penulis pun akan merasa kesal ketika menerima kedatangan suporter lawan yang main di Gresik, apalagi itu rival dan tim Gresik tak ada yang bertanding. Tapi, itu tak berarti kita harus selalu bersikap egois dan mendahulukan emosi.

Kalau secara pribadi, ini bagaikan ujian kedewasaan. Tuan rumah harus bisa menjadi tuan rumah yang baik meskipun tim mereka tidak bermain. Sang tamu harus punya unggah ungguh atau sopan santun dan tidak aneh-aneh selama di Jakarta. Saya yakin laga final ini akan dilihat oleh suporter se-Indonesia. Jadi, kalau laga di Jakarta besok berakhir damai, ini akan jadi percontohan. Contoh yang amat baik bagi hubungan antarsuporter di Indonesia ke depannya.

Bagaimanapun potensi konflik masih ada dan amat besar. Tapi, itu tugas kepolisian. Polisi tugas utamanya adalah memberikan rasa aman bagi siapa pun, suporter yang katanya menjadi biang rusuh pun tetap jadi tanggung jawab korps berbaju coklat itu. Polisi sudah memberikan izin, itu berarti mereka siap untuk bekerja keras mengamankan laga, mulai dari potensi konflik sebelum, saat, dan setelah final berlangsung.

Penulis yakin laga besok minggu akan menjadi ujian bagi polisi. Terlebih karena Menkopolhukam dan berbagai pejabat teras juga memberikan perhatian khusus untuk laga final Piala Presiden. Kalau konflik pecah dan berakhir banyak korban, artinya kepolisian belum siap menerima laga besar seperti ini. Dan jelas ini tidak baik untuk nama baik institusi.

Oleh karena itu, polisi perlu kerja ekstra keras. Polisi Indonesia setidaknya bisa melihat suksesnya pemerintah Inggris yang mampu menekan angka kerusuhan suporter. Polisi Indonesia perlu meniru cara polisi di Inggris yang dikenal dengan bubble match.

Bubble match merupakan laga yang berpotensi pecah konflik. Laga yang berlabel bubble match ini menarik perhatian lebih dari kepolisian. Agar tidak terjadi bentrokan yang tak diinginkan polisi pun mengamankan suporter tamu sejak keberangkatan. Suporter tamu diminta untuk berkumpul di titik kumpul yang telah ditentukan dan diangkut dengan bus kepolisian. Suporter ini akan diawasi selama pertandingan dan ketika selesai akan diantar pulang di titik yang sama dengan ketika berangkat. Artinya, polisi hadir dari pemberangkatan sampai kepulangan suporter.

Ilustrasinya begini. Misalnya saja laga Persebaya melawan Arema ditetapkan sebagai laga yang menyimpan dendam dan berpotensi menciptakan kerusuhan. Sedangkan Bonekmania ingin datang ke Malang. Semua Bonekmania yang mau ke Malang harus berkumpul di Bundaran Waru. Mereka diwajibkan naik bus yang telah disediakan dan tiket akan dibagi di stadion. Tidak diizinkan ada satu pun suporter yang berangkat sendiri dari Surabaya ke Malang. Mereka berangkat naik bus ke Malang dengan pengawalan ketat oleh polisi. Penjagaan dilakukan sampai stadion Kanjuruhan, Malang. Pulangnya pun sama. Suporter kembali menaiki bus yang sama dan dikawal oleh polisi dari stadion Kanjuruhan hingga Bundaran Waru, titik awal berkumpul.

Suporter Inggris yang dikenal sebagai biang kerusuhan pun bisa diatur oleh pihak berwajib. Masak suporter Indonesia yang kabarnya penuh dengan sopan santun tidak bisa. Apalagi tidak semua laga di Indonesia punya potensi menimbulkan konflik besar-besaran.

Jadi, mari belajar dari Piala Presiden. Polisi belajar mengawal suporter dan mencegah konflik, pemerintah belajar mengelola stadion dan menepati janjinya, sementara suporter belajar menjadi lebih dewasa.

 

Komentar

This website uses cookies.