Teka-teki apakah Pep Guardiola tetap melatih Bayern Munchen musim depan sudah terjawab. Pekan lalu (20/12) Munchen melalui CEO Karl-Heinz Rummenigge mengumumkan bahwa pelatih asal Spanyol itu akan hengkang di akhir musim. Pep memutuskan untuk tidak memperpanjang kontraknya yang akan berakhir Juni 2016.
Pada kesempatan yang sama Rummenigge pun menyampaikan bahwa pelatih asal Italia, Carlo Ancelotti akan menangani tim Hollywood mulai musim depan, dengan kontrak berdurasi tiga tahun. Don Carletto memang sempat dikabarkan bakal menangani klub Bavaria ini, meski Oktober lalu ia sempat mengutarakan keengganannya.
Sekilas penunjukan Ancelotti merupakan pilihan sederhana. Sepeninggal Guardiola, sudah seharusnya pelatih baru adalah pelatih kelas dunia yang berpengalaman menjuarai Liga Champions.
Ancelotti pun sedang tak terikat kontrak klub mana pun usai hengkang dari raksasa Spanyol Real Madrid. Namun melihat tradisi Muenchen sebagai mercusuar sepak bola Jerman dan kebijakan klub dalam beberapa musim terakhir, penunjukan Ancelotti menyiratkan hal menarik.
Sejak lama Munchen adalah simbol keperkasaan sepak bola Jerman di level klub. Mayoritas pemain terbaik Jerman menghabiskan masa keemasan kariernya di klub yang bermarkas di Säbener Straβe itu. Begitu juga dengan pemilihan pelatih, Munchen selalu memilih pelatih terbaik Jerman.
Pelatih juara Liga Champions 2001 Ottmar Hitzfeld, peraih treble 2013 Jupp Heynckess hingga pelatih senior Otto Rehagel, semua dianggap sebagai yang terbaik.
Tradisi ini mulai bergeser saat Munchen menunjuk pelatih asal Belanda Louis van Gaal.
Sempat diselingi Heynckess namun Munchen kembali merekrut pelatih asing dalam diri Guardiola dan musim depan Ancelotti. Hal ini serupa terlihat dengan kebijakan transfer pemain mereka. Munchen yang biasanya gemar mencomot pemain klub rival mulai memilih mengimpor pemain asing.
Awal musim ini menjadi contoh nyata. Lihat saja bagaimana Munchen justru mendatangkan gelandang Brasil, Douglas Costa dan pemain Prancis, Kingsley Coman. Alih-alih merekrut pemain Belgia Kevin de Bruyne dari Wolfsburg atau pemain Dortmund Marco Reus yang kontraknya memiliki klausul pembelian.
Perekrutan Ancelotti seolah menyiratkan bahwa Munchen ingin meneruskan kebijakan impor mereka.
Selain Ancelotti sebetulnya Munchen punya dua pilihan lain. Pertama adalah mantan pelatih Borussia Moenchengladbach Lucien Favre yang mundur September lalu. Favre dikenal sebagai pelatih yang mampu mengeluarkan potensi terbaik pemainnya.
Gladbach yang hampir degradasi disulapnya menjadi pemburu empat besar dalam kurang dari dua musim. Pelatih asal Swiss ini juga berpengalaman di Bundesliga. Namun Favre tak berpengalaman di Liga Champions. Ia barangkali cocok untuk Munchen sepuluh tahun lalu yang belum melebarkan sayapnya sebagai brand internasional.
Pilihan lainnya ada Jose Mourinho yang baru dipecat Chelsea. Pelatih Portugal ini jelas punya daya tarik untuk mendatangkan pemain bintang. Ia juga berpengalaman meramu kesebelasan untuk bersaing di Liga Champions. Namun memercayakan hasil kerja Pep yang idealis kepada Mourinho yang pragmatis jelas bukan pilihan bijak.
Muncullah Ancelotti sebagai pilihan terbaik. Reputasinya sebagai penakluk Liga Champions sudah berbicara. Kemampuannya berkomunikasi dengan pemain maupun manajemen klub, serta kecerdasan taktikal menjadi modal utamanya.
Secara taktik Ancelotti memang tak seperti Pep atau pelatih Liverpool Juergen Klopp yang identik dengan dengan filosofi bermain tertentu. Kecerdasan taktikal Ancelotti ditunjukkan dengan menyatukan sejumlah pemain bintang dan tetap mempertahankan keseimbangan.
Saat menangani AC Milan misalnya, tak ada yang menduga anggota skuat Italia di Piala Dunia 1990 ini mampu memainkan tiga gelandang kreatif Andrea Pirlo, Clarence Seedorf serta Rui Costa dalam satu skema.
Hal ini tentu menjadi kabar gembira bagi calon anak asuhnya di Munchen, terutama gelandang serang Mario Götz€ (maaf saya masih ndak rela dia hijrah ke Mue\nchen). Eks pemain Borussia Dortmund ini meski berbakat namun terpinggirkan oleh skema Pep. Bisa jadi kedatangan Ancelotti membuatnya masuk daftar pemain inti.
Kemampuan manajemen pemain juga menjadi nilai lebih pemenang tiga trofi Liga Champions ini. Hampir tak ada mantan pemain yang kecewa di bawah asuhannya. Satu pemain yang pernah mengungkapkan ketidakcocokannya dengan Ancelotti, ironisnya adalah pemain Jerman, Mesut Ozil. Juara dunia 2014 ini merasa tak mendapat kepercayaan dari Ancelotti hingga memutuskan pindah ke Arsenal.
Keterampilan interpersonal Ancelotti tak hanya ditunjukkan dengan hubungan baiknya kepada pemain. Dengan manajemen klub pun Ancelotti tak pernah terlibat perseteruan.
Pelatih juara Liga Champions 2014 ini seolah menjadi koreksi atas sikap Pep yang sering menyalahkan dokter tim atas kondisi fisik pemain. Terlebih melihat reputasi Munchen sebagai FC Hollywood yang perseteruan antarpersonelnya jadi santapan empuk media massa. Sosok dengan skill interpersonal seperti Ancelotti tentu diharapkan bisa meredam potensi konflik internal.
Kekurangan pada CV mantan pelatih AC Milan ini barangkali adalah gelar domestiknya yang tak seberapa. Selama menjadi pelatih sosok kelahiran Reggiolo ini hanya meraih tiga juara liga domestik.
Padahal materi pemain yang dimilikinya tak kalah mentereng, terbukti dengan tiga gelar Liga Champions. Tapi di Munchen hal ini tentunya bukan masalah, toh Ancelotti sendiri pernah berujar bahwa Muenchen sanggup menjuarai Bundesliga dengan “memasukkan tangan di saku”.
Jika ada nilai merah pada perjalanan karier Ancelotti, barangkali adalah minimnya pemain muda yang diorbitkannya. Mantan pelatih Chelsea ini lebih suka memainkan pemain yang berpengalaman dan cenderung lupa melakukan regenerasi. Lihatlah bagaimana AC Milan dan Chelsea sepeninggal Ancelotti, yang banyak diisi pemain kawakan.
Catatan ini tentu menjadi pertimbangan para pemain muda Munchen. Bukan tak mungkin gelandang muda Pierre-Emile Hojbjerg dan Gianluca Gaudino akan mengikuti jejak pemain Liverpool, Emre Can untuk hijrah dari Allianz Arena.
Dengan segala reputasinya, Munchen sungguh beruntung mendapatkan Ancelotti. Terlebih manajemen menyodorkan kontrak jauh hari sebelum kompetisi baru dimulai.
Setidaknya Muenchen sudah selangkah lebih maju dibanding klub besar lain yang tengah berburu pelatih untuk musim depan. Perencanaan skuat musim depan pun menjadi lebih mudah dengan waktu yang tersedia. Yang tak kalah penting, Rummenigge bisa menikmati libur pergantian tahun dengan satu PR terselesaikan.