Chelsea, Koran Lokal, dan Jumpa Pertama

Seperti kebiasaan pada setiap tahun ajaran baru, murid sekolah dasar bakal memamerkan benda anyar apa yang ada di dalam tas. Terutama para murid lelaki – apalagi penggemar sepak bola – sampul buku tulis baru wajiblah bergambar pemain sepakbola terkenal dari Eropa.

Pada masa itu, sekitar tahun 2004, Liga Italia masih bisa dikatakan primadona. Tampilan muka buku tulis yang terpampang pun didominasi wajah Francesco Totti, Alessandro Del Piero, ataupun pemain ikonik Serie A lainnya.

Namun, ada yang berbeda dengan sampul buku saya kala itu. Dari sebelas orang berseragam biru dengan garis putih yang terpampang, hanya dua yang saya tahu sekilas tentangnya.

Satunya berkepala plontos, bekas ikon Lazio, Juan Sebastian Veron. Satunya lagi adalah Hernan Crespo, yang menurut kawan saya, pernah main bareng Veron di Parma.

Sayangnya, kedua pemain itu tak lagi merumput di Serie A, melainkan berseragam klub lain. Kurang lebih seperti itu jelas kawan saya. Ia mengarahkan jari telunjuknya ke tulisan nama klub di bagian pinggir sampul buku.

“London FC,” begitu tulisannya.

Tak lupa ia menambahkan, kalau klub tersebut berasal dari Inggris. Dengan nada ragu, ia menyebut beberapa nama klub Inggirs yang perlahan mulai banyak dijagokan oleh orang dewasa di kampung. Pertanda Serie A mulai punya rival sepadan di jagat dukung-mendukung klub luar negeri.

Tidak banyak yang saya tahu perihal klub bernama London FC itu saat “bertemu” Veron dan Crespo di bangku kelas 6 SD tersebut. Sampai pada tahun 2005, saya melanjutkan jenjang SMP di kota kabupaten. Tinggal bersama keluarga paman dan jauh dari orang tua.

Seperti lazimnya sebuah kota, infrastruktur telekomunikasi sedikit lebih maju. Ada televisi kabel misalnya, yang mampu menghadirkan banyak frekuensi stasiun swasta. Alhasil, informasi menjadi lebih kaya, terutama lagi perihal sepakbola.

Kebetulan pula, paman saya berlangganan koran lokal. Sehabis baca koran di pagi hari, beliau tak lupa mengepak dalam satu kardus besar. Di dalamnya terdapat juga beberapa majalah. Salah satunya adalah Tabloid BOLA. Kebanyakan edisi lama dan lagi-lagi didominasi seputar Serie A.

BACA JUGA:  Sesal yang Abadi Bagi Frank Lampard

Sepulang sekolah, saya biasanya membongkar isi kardus, mencari bahan bacaan sepakbola dari koran. Sekadar info, sulit menemukan koran untuk dibaca saat saya masih di kampung. Kalaupun ada, hanyalah sebagai pembungkus kacang atau pengalas sajadah pas lebaran.

Dari koranlah, bujuk rayu untuk mencintai Chelsea bermula. Sebuah headline koran lawas menceritakan pertemuan The Blues versus The Reds di ajang Liga Champions musim 2004/2005.

Chelsea kalah agregat 0-1. Sementara itu, Liverpool melenggang ke final dan merengkuh trofi juara usai menjungkalkan AC Milan dalam drama enam gol ditambah adu penalti. Sejarah kemudian menyebutnya dengan miracle of Istanbul.

Meski Chelsea memperkenalkan dirinya lewat narasi kekalahan, saya masih penasaran akan klub satu ini. Sebab rasa-rasanya, banyak miripnya dengan tim bernama London FC di sampul buku saat SD dahulu.

Saya kemudian membongkar tumpukan koran di dalam kardus besar tersebut. Mencari keping demi keping info seputar Chelsea. Tak dinyana, memang seperti sudah takdirnya saya berjodoh dengan klub asal London ini.

Saya memperoleh potongan koran yang kira-kira isinya menjelaskan bagaimana kisah The Blues menggamit trofi Liga Inggris musim 2004/2005, setelah menanti beribu purnama.

Di lembar koran lain, saya menemukan edisi terbaru, bersamaan dengan berjalannya Liga Inggris musim 2005/2006 berlangsung. Nama Hernan Crespo terpampang di daftar pemain bangku cadangan. Barangkali benar klub ini yang punya nama alias London FC seperti di buku tulis.

Namun, tidak ada Juan Veron di sana. Bertahun berikutnya, barulah saya paham kalau Veron kurang beruntung selama berkarir di Chelsea. Ia dihantam badai cedera dan lebih sering dipinjamkan ke klub lain.

Perjumpaan saya dengan Chelsea sepertinya di waktu yang tepat. Mereka rajin muncul di halaman utama koran lokal. The Blues sedang menjelma jadi kekuatan besar di Inggris dan Eropa.

BACA JUGA:  Malam Tak Terlupakan di Old Trafford

Tim asal London itu berada di bawah tangan dingin Jose Mourinho. Frank Lampard, Didier Drogba, John Terry, dan Petr Cech juga sedang moncer. Chelsea sedang memulai era baru bersama taipan asal Rusia, Roman Abramovich.

Harus saya akui, menggemari Chelsea di saat klub ini menjadi pemenang, seperti kisah sebagian dari mereka yang mengagumi Manchester City ketika menjadi jawara di bawah kepemilikan Syekh Mansour. Jelas, kemiripannya adalah pernah sama-sama jadi fans karbitan.

Memang Tuhan berkuasa untuk membolak balikkan hati hambanya. Saya yang jatuh hati pada sepakbola karena Totti dan AS Roma, malah bercumbu mesra dengan Chelsea sampai era kiwari.

Selama perjalanan satu setengah dekade bersama Chelsea, ada banyak momen yang menggugah emosi. Tiga peristiwa di antaranya hadir di perhelatan Liga Champions.

Dua pertama berbuah kekecewaan mendalam: laga final Moscow tahun 2008 menghadapi Manchester United dan pertandingan semifinal leg kedua melawan Barcelona tahun 2009. Satu terakhir adalah yang kebahagiaannya tak terdefinisikan: juara Liga Champions di Munich 2012.

Satu kesyukuran lain selama menggemari klub ini muncul padamusim 2019/2020 yang tertunda sementara gegara Corona. Harapan lama tentang Chelsea yang membangun tim dari potensi akademi dan memakai jasa pelatih dari deretan legenda sedikit banyak mulai terwujud.

Usai kegemilangan singkat nan luar biasa bersama Roberto Di Matteo, kini tugas berat ada di pundak Lampard. Setelah bisnis buruk dengan pemain muda di era sebelumnya, kini potensi akademi jadi andalan The Blues.

Komentar
Andi Ilham Badawi, penikmat sepak bola dari pinggiran. Sering berkicau di akun twitter @bedeweib