Darko Pancev: Ular Kobra yang Gagal Meracuni Italia

Lahir pada tahun 1965 di Skopje, Yugoslavia (kini jadi ibu kota Masedonia Utara), hanya sedikit orang yang menduga bahwa Darko Pancev bakal menjadi pesepakbola. Namun ketertarikan Pancev terhadap olahraga yang satu ini memang luar biasa. Tak heran bila ia kemudian dimasukkan keluarganya ke akademi sepakbola FK Vardar Skopje di usia 11 tahun.

Debut profesional Pancev juga didapat di Vardar. Tak sekadar itu saja karena Pancev juga menahbiskan dirinya sebagai salah satu penyerang muda paling potensial milik Yugoslavia bareng kesebelasan yang berdiri tahun 1947 tersebut.

Aksi-aksi memukau Pancev di Vardar lantas menarik perhatian raksasa sepakbola Yugoslavia (sekarang Serbia), Red Star Belgrade. Keputusan untuk pindah ke Red Star medio 1988 rupanya tidak salah. Ia berhasil mematri namanya sebagai bagian dari generasi emas klub yang sukses memanen banyak gelar. Mulai dari gelar Liga Yugoslavia, Piala Yugoslavia, Piala/Liga Champions, dan Piala Interkontinental.

Tahun 1991 sendiri akan selamanya dikenang oleh publik Yugoslavia, khususnya warga Belgrade dan suporter Red Star sebagai titik kejayaan sepakbola mereka di era modern. Di momen itulah, titel sebagai klub terbaik di Benua Biru sukses didaratkan di ruang trofi Stadion Red Star (kini bernama Stadion Rajko Mitic). Hebatnya lagi, kejayaan Red Star ketika itu ditopang oleh penggawa muda yang usianya sekitar 21-23 tahun. Sebuah langkah berani sekaligus berisiko dari sang pelatih, Ljupko Petrovic.

Gara-gara capaian heroik itu juga, nama-nama penggawa Red Star mulai diminati kesebelasan yang lebih mapan di Eropa. Spanyol jadi salah satu destinasi favorit. Miodrag Belodedici, dan Ilija Najdoski hijrah ke Valencia serta Real Valladolid. Vladan Lukic bergabung dengan Atletico Madrid. Sementara Robert Prosinecki dan Vlada Stosic masing-masing merapat ke Real Madrid serta Real Mallorca.

Sementara nama-nama lain memilih Italia sebagai tempat merantau. Vladimir Jugovic dan Sinisa Mihajlovic resmi jadi penggawa Juventus dan AS Roma. Dejan Savicevic memutuskan AC Milan sebagai tempat berkariernya yang baru. Terakhir, ada Pancev yang bergabung dengan klub lain di Kota Mode, Internazionale Milano.

Tanda tangan Pancev termasuk yang paling banyak diincar. Ia sempat dikaitkan dengan aktivitas transfer enam kesebelasan besar sekaliber Barcelona dan Real Madrid dari Spanyol, Manchester United dari Inggris serta triumvirat Italia yakni Milan, Inter, dan Juventus.

Kubu Il Biscione akhirnya jadi pihak yang memenangkan pertarungan sengit guna mendapatkan jasa Pancev. Dana sebesar 7 juta Poundsterling jadi mahar yang kudu dibayarkan Inter buat membawa sang pemain angkat kaki kota Belgrade. Banderol itu sendiri membuatnya sah jadi pemain dengan biaya transfer termahal ketiga setelah Roberto Baggio dan Jean-Pierre Papin.

Wajar jika Pancev dihargai begitu mahal oleh Red Star. Ia merupakan pembunuh bayaran terbaik dalam kancah sepakbola kala itu. Ia begitu dingin, dan tak pernah sekalipun mempedulikan kadar estetika dari lesakan golnya. Segala jenis gol mulai dari tap-in, tendangan jarak jauh, sundulan, salto, penalti, sampai tendangan bebas pernah dicetaknya.

Level oportunisnya bisa dibilang ada pada titik yang tinggi. Ia memakai hampir semua bagian tubuhnya untuk mencetak gol. Kedua kaki dan kepalanya jadi atribut kunci, menyusul lutut, tumit, dan pantat (dalam laga melawan FK Sarajevo di tahun 1990). Dirinya bahkan menciptakan gol Tangan Tuhan versinya sendiri dalam partai melawan Hajduk Split pada lanjutan Liga Yugoslavia tahun 1991.

Layaknya poacher pada umumnya, kemampuan teknisnya bisa dibilang biasa-biasa saja. Caranya menggiring bola ala kadarnya, pun dengan akurasi umpannya. Kondisi fisiknya cukup ringkih sehingga rawan dikalahkan bek lawan saat berduel. Dari segi taktis, dirinya cenderung pasif dan jarang turun membantu lini belakang. Ia lebih suka menunggu bola dan menerka pergerakan pemain yang menjaganya.

Terlepas dari itu, produktivitasnya dalam mencetak gol susah dinalar akal sehat. Ia berhasil menyarangkan total 200 gol dari 333 pertandingan yang dijalani selama 14 tahun karier profesionalnya. Torehan itu adalah hasil perpaduan antara kegemilangannya dalam mencari ruang dan refleksnya yang sangat cepat di depan gawang. Efektivitas menyempurnakan keduanya. Ia seakan memberi jaminan mutlak bahwa setiap bola liar yang ada di daerah lawan akan meluncur masuk ke dalam gawang.

Insting membunuhnya yang tinggi disokong dengan baik oleh rekan satu timnya, terutama saat mentas di Red Star. Jugovic, Mihajlovic, Prosinecki, Savicevic, dan Dragan Stojkovic amat memanjakan Pancev. Tiada hal yang lebih menyenangkan dari itu, saat seseorang bebas melakukan hal yang benar-benar disukainya tanpa ada intervensi orang lain. Skema tadi dijalankan berulang-ulang, setidaknya sampai dirinya pergi dari tim tersebut setelah mengabdi selama tiga musim.

Berkat kemampuannya mengoyak jala lawan secara konsisten, publik Yugoslavia melabelinya sebagai kobra. Jenis ular berbisa yang dapat melumpuhkan siapa saja dalam sekali gigit. Ini persis dengan Pancev yang dapat menumbangkan lawan karena gol-gol yang ia ciptakan.

Ketajamannya pula yang membuat gelar Sepatu Emas Eropa di tahun 1991 jatuh ke tangannya. Andai Papin tak tampil eksepsional bersama Olympique Marseille, besar kemungkinan Pancev yang dianugerahi trofi Ballon d’Or pada tahun yang sama.

Kegagalan di Inter

Portofolio Pancev yang gemilang jadi alasan kenapa Inter merekrutnya. Ambisi untuk meraih Scudetto yang terakhir kali didapat pada musim 1988/1989 terus menggelegak di tubuh Il Biscione. Kedatangannya ke Stadion Giuseppe Meazza juga menjadi simbol revolusi yang tengah dijalankan klub dengan kostum biru-hitam tersebut.

Pasalnya, mereka melakukan cukup banyak perubahan di tubuh skuad. Trio Jerman yang terdiri dari Andreas Brehme, Jurgen Klinsmann, dan Lothar Matthaus dilego. Pancev bersama rekrutan baru lain semisal Matthias Sammer, Salvatore Schillaci, Igor Shalimov, dan Ruben Sosa serta nama-nama lawas seperti Giuseppe Bergomi dan Walter Zenga jadi amunisi buat mewujudkan harapan tersebut.

Il Biscione juga mendatangkan pelatih eksentrik Osvaldo Bagnoli yang dikenal karena berhasil menyabet Scudetto bersama tim liliput, Hellas Verona. Sebelum ke Inter, Bagnoli baru saja mengantar Genoa jadi semifinalis Piala UEFA. Di mata Ernesto Pellegrini, presiden klub saat itu, segalanya terlihat menjanjikan.

Walau demikian, Pancev sendiri sadar jika Italia bukanlah Yugoslavia dan ia kudu segera beradaptasi. Membongkar lini pertahanan yang ketat dari tim-tim semisal Juventus, Milan, dan Parma, tentu berbeda jauh dengan Dinamo Zagreb, Partizan Belgrade atau Vojvodina. Apalagi saat itu Serie A jadi kiblat pertahanan gerendel dan dihuni bek kelas wahid seperti Franco Baresi, Ciro Ferrara, Paolo Maldini, hingga Pietro Vierchowod. Teror untuknya sudah datang bahkan sebelum ia menginjakkan kakinya di sana.

Harapan tinggal harapan, upaya Pancev menemui jalan buntu. Bahkan ia sering beradu pendapat dengan Bagnoli tentang filosofi permainannya. Sang pelatih dikenal amat mendewakan kerja sama tim dan tak begitu tertarik dengan gaya individualis pria Masedonia itu. Bagnoli ingin Si Ular Kobra banyak turun ke lini tengah dan lebih aktif bergerak mencari bola. Sayangnya, Pancev menanggapi bahwa obsesinya dalam bermain sepakbola hanya untuk bikin gol.

Akibatnya, Pancev jarang diturunkan dan keran golnya mampet. Ia bahkan harus menunggu sampai pertengahan musim untuk mencetak gol perdananya dalam laga kandang melawan Udinese. Kelak, gol itu jadi torehan satu-satunya dalam 12 partai Serie A yang dilakoninya. Pers Italia bersama para tifosi memperburuk keadaan dengan mengganti julukannya dari Ular Kobra menjadi Kadal Hijau.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan performa Il Biscione di Serie A. Duet Schillaci-Sosa rupanya ampuh buat membawa mereka mengakhiri musim di posisi kedua, tepat di bawah sang tetangga. Schillaci dan Sosa sendiri berhasil mengemas 26 gol secara keseluruhan.

Kedatangan Dennis Bergkamp pada awal musim 1993/1994 semakin menepikan Pancev. Ia hanya dimainkan sesekali dan tak pernah memberi impresi lebih. Setengah musim membusuk di bangku cadangan, Pancev akhirnya pergi dari Stadion Giuseppe Meazza dengan status pinjaman ke VfB Leipzig pada musim dingin.

Sayangnya, karier Pancev di Jerman juga tak bersinar. Performa mediokernya gagal menyelamatkan klub tersebut dari jerat relegasi. Makin terasa apes bagi Pancev, Inter malah sukses menggenggam trofi Piala UEFA keduanya sepanjang sejarah pada musim itu setelah mengandaskan Austria Salzburg di final.

Gagal di Bundesliga mengantar Pancev pulang ke Kota Mode. Namun sayang, hari-hari kelamnya berlanjut lagi di sana meski tampuk kepelatihan sudah dipegang oleh Ottavio Bianchi. Performa semenjana dan gangguan fisik membuat Pancev kesulitan merebut posisi utama.

Seiring masuknya Massimo Moratti sebagai pemilik baru klub, skuad juga mengalami perombakan dan Pancev jadi salah satu korbannya. Berbekal sepak terjang gemilang di Red Star, Pancev berpetualang ke Italia bersama Inter. Nahasnya, bisa Si Ular Kobra justru hilang entah ke mana. Seolah-olah, ia keburu ditelan keganasan Si Ular Besar (Inter). Ia lalu kembali ke Jerman usai menerima tawaran dari Fortuna Dusseldorf pada musim panas 1995.

Dalam wawancaranya dengan The Times pada 2002, Pancev merasa bahwa keputusannya pindah ke Inter adalah bencana. Ia merasa jika Il Biscione sudah menghancurkan kariernya. Di saat namanya melambung sebagai penyerang muda top, Pancev punya kans untuk bergabung dengan klub mana saja. Terlebih United yang dilatih Sir Alex Ferguson juga menyatakan ketertarikannya.

Pancev menyesal sudah menolak tawaran sang gaffer buat hijrah ke Inggris pada musim dingin 1993 guna menjadi pelengkap lini depan yang dihuni Eric Cantona dan Mark Hughes. Andai saja saat itu ia mau, mungkin reputasinya akan terselamatkan.

Ia juga menuding pemain-pemain berpengaruh di Inter saat itu seperti Bergomi dan Zenga sebagai penjahat. Merekalah yang mendesak Bagnoli agar lebih sering memainkan Schillaci dan Sosa ketimbang dirinya.

“Ada penyerang yang lebih suka bergerak dan berlari mencari bola serta ruang, dan ada juga yang statis dengan menunggu di depan. Aku adalah penyerang dengan kemampuan alami mencetak gol sehingga aku lebih suka menunggu umpan di zona depan. Aku akan berlari hanya jika diriku berada dalam radius 30 meter dari gawang. Konyolnya, Inter tak menyukai gayaku itu”, papar Pancev.

Secara personal, Pancev mewakili jiwa pemuda Balkan yang dikenal tangguh dan pantang menyerah. Namun ia wajib memahami bahwa harapan tak melulu jadi kenyataan. Seandainya ia sendiri tak egois mempertahankan gaya mainnya, mungkin Pancev bakal mendapat tempat di tim asuhan Bagnoli maupun Bianchi dan kisahnya di Negeri Pizza akan lebih baik.

Komentar

This website uses cookies.