Déjà Vu Yaya Toure

Meski baru saja menelan kekalahan di kandang Tottenham Hotspur pada hari Minggu (2/10), Manchester City masih bertengger di puncak klasemen Liga Primer Inggris. Anak asuh Pep Guardiola tersebut unggul satu poin dari The Lily White.

Maka wajar bila semua elemen dalam tubuh The Citizens, mulai dari pemilik klub sampai suporter, menyikapi kekalahan tersebut tanpa perasaan panik. Rasa percaya kepada Pep Guardiola masih begitu tinggi.

Ingat, satu dari enam kemenangan tersebut didapat setelah membekap sang rival sekota, Manchester United, lewat skor tipis 1-2 di Stadion Old Trafford.

Tapi di balik “keceriaan” yang ada di tubuh The Citizens, terdapat satu nama yang tawanya barangkali tak selepas Sergio Aguero, Pep Guardiola, atau bahkan Khaldoon Al Mubarak, pemilik klub.

Adalah sosok penggawa senior bernama Gnegneri Yaya Toure yang justru sedang kesal bukan main walau kesebelasan yang dirinya bela ada di puncak klasemen.

Ketika mendarat di kota Manchester pada Juli 2010, harapan yang bersemayam di dalam benak Yaya adalah bisa tampil sebaik-baiknya di atas lapangan, menjadi pilar tim, dan beroleh silverware sebanyak mungkin.

Hal ini selaras dengan impian besar Manchester City yang saat itu baru saja diakuisisi oleh konsorsium asal Uni Emirat Arab, Abu Dhabi United Group. Sang pemilik baru pun langsung pasang target bahwa Manchester Biru harus jadi salah satu kekuatan hebat di tanah Inggris, Eropa, bahkan dunia dalam beberapa tahun mendatang.

Dan apa yang diidamkan Yaya sejak pertama kali bergabung ke Stadion Etihad, pelan tapi pasti, menjadi kenyataan.

Bersama klub yang oleh manajer legendaris Manchester United, Sir Alex Ferguson, disebut sebagai noisy neighbours itu, Yaya berhasil menggondol beberapa titel. Antara lain sepasang gelar juara Liga Primer Inggris, satu Piala FA, dua Piala Liga, dan satu Community Shield.

Perlu diingat juga apabila The Citizens punya dua figur pelatih dalam rentang 2010/2011 hingga 2015/2016 yakni allenatore asal Italia, Roberto Mancini dan sosok dari Cile, Manuel Pellegrini.

Kedua manajer tersebut selalu menjadikan Yaya sebagai bagian integral tim sehingga namanya tak pernah absen dari starting line up kecuali diganggu cedera atau larangan bertanding.

BACA JUGA:  Menilik Langkah Wayne Rooney

Berkat sentralnya peran adik kandung eks pemain Arsenal, Kolo Toure, manajemen City tak ragu untuk menempatkan Yaya sebagai salah satu pemain dengan bayaran termahal.

Gaji dan bonus yang diterima pemain asal Pantai Gading ini bahkan berdiri sejajar dengan milik Aguero, yakni 220.000 poundsterling per pekan (berdasarkan nilai gaji per musim 2015/2016).

Lebih jauh lagi, menurut data yang dilansir oleh transfermarkt.co.uk, sejak membela Manchester City per musim 2010/2011, Yaya telah bermain sebanyak 269 kali dan menyumbang 72 gol di semua ajang. Ini membuktikan jika peran pemain yang dikenal amat religius ini begitu esensial.

Sayangnya “bulan madu” Yaya di kota Manchester mulai terusik selepas kedatangan Pep sebagai manajer anyar. Dimulai dengan tidak dimainkannya pemain bernomor punggung 42 ini di beberapa laga tur pramusim The Citizens. Kemudian berlanjut saat Aguero cs. mentas di Liga Primer Inggris (hingga pekan keenam, Yaya tak sekalipun beraksi).

Terakhir, gelandang yang mengantar negaranya jadi kampiun Piala Afrika 2015 lalu ini juga tidak dimasukkan Pep ke dalam skuat Manchester City yang bertanding di kompetisi antarklub Eropa, Liga Champions.

Praktis, leg pertama melawan Steaua Bukarest di babak playoff Liga Champions pada 24 Agustus kemarin jadi satu-satunya laga resmi yang Yaya cicipi musim ini. Selebihnya, status not in the squad selalu jadi menu yang mesti dinikmatinya. Kondisi ini membuat relasi di antara Yaya dan Pep memanas.

Bahkan, agen pesepak bola berusia 33 tahun itu, Dimitri Seluk, sampai melontarkan kalimat-kalimat yang menyerang pelatih berkebangsaan Spanyol tersebut secara personal.

Pep sendiri mengatakan jika Seluk ingin melihat Yaya beraksi kembali, sang agen mesti meminta maaf atas ucapannya.

Namun, persoalan di antara Yaya dan Pep ini tak ubahnya déjà vu kejadian serupa enam tahun silam.

Kala itu, keduanya sama-sama membela panji Barcelona. Yaya yang sempat jadi bagian penting di dalam tim inti Barca, perlahan-lahan mulai kehilangan tempat akibat hadirnya Sergio Busquets, jebolan akademi La Masia milik kesebelasan yang berkandang di Stadion Camp Nou itu.

BACA JUGA:  Hikayat Don Patricio: Dikagumi Real Betis, Menyelamatkan Barcelona

Dipilihnya Busquets sendiri berkaitan erat dengan sistem permainan gubahan Pep, di mana kemampuan dan kualitas Busquets sempurna dengan hal tersebut.

Dengan sesaknya lini tengah Barca yang ketika itu juga dihuni gelandang-gelandang kelas wahid semisal Andres Iniesta, Seydou Keita, dan Xavi Hernandez, di beberapa kesempatan, Yaya harus rela mengisi pos bek tengah atau bahkan menepi ke bangku cadangan.

Yaya pun gerah, terlebih saat itu usianya baru 27 tahun atau ada di fase emas seorang pesepak bola. Menyadari jika dirinya semakin tak mendapat tempat, hengkang menjadi opsi yang ditempuh. Dan seperti yang telah disebutkan di atas, Yaya kemudian hijrah ke Manchester City dengan banderol 24 juta poundsterling.

Perlu diingat juga bahwa Pep bukan manajer yang enggan mendepak seorang pemain, walau berlabel bintang, apalagi kalau yang bersangkutan tidak cocok dengan strategi yang diusungnya. Tanyakan itu kepada eks penggawa Barcelona seperti Deco, Edmilson, dan Ronaldinho.

Begitu juga bekas pemain Bayern Munchen macam Mario Mandzukic, Bastian Schweinsteiger, dan Xherdan Shaqiri. Dan yang paling mutakhir adalah kiper yang pernah bahu-membahu bersama Yaya di Manchester City, Joe Hart, yang kini mengungsi ke Torino.

Seperti posisinya di Barcelona dahulu, Yaya kini dalam situasi terjepit. Hanya ada dua pilihan yang tersedia baginya.

Pertama, bertahan dan menikmati gaji fantastisnya hingga kontraknya berakhir pada Juni 2017 mendatang tapi dengan risiko bakal “membusuk” di bangku cadangan.

Kedua, hengkang, guna meraih kesempatan bermain lebih banyak dan menutup karier secara lebih baik meski harus kehilangan pundi-pundi pemasukan nan gemuk.

Satu yang pasti, takdir adalah hak prerogatif Tuhan yang manusia tak memiliki daya untuk menjungkirbalikkannya dan hal itulah yang sekarang menimpa Yaya.

Ketika memilih pindah ke Inggris enam tahun silam, bisa jadi tak terlintas sedikit pun di benaknya bahwa waktu bakal membuatnya “bereuni” kembali dengan Pep.

Maka Yaya, tentukan pilihanmu sekarang!

 

Komentar