Penampilan ciamik Atalanta beberapa musim terakhir membuat nama Gian Piero Gasperini melambung ke angkasa. Puja dan puji senantiasa didapat lelaki berambut uban tersebut. Namun sebelum Gasperini mengubah peruntungan La Dea, ada nama pelatih lain yang sanggup membuat Atalanta tampil mengesankan. Dialah Emiliano Mondonico.
Bagi penggila sepakbola kekinian, nama Mondonico tentu asing. Namun buat mereka yang menggemari sepakbola, khususnya Serie A era 1990-an hingga 2000-an, pasti mengenal figur berkumis ini. Sebagai pelatih, Mondonico memang tak pernah membesut tim-tim papan atas. Kariernya mentok di sejumlah klub papan tengah seperti Atalanta, Fiorentina, Napoli, dan Torino.
Walau demikian, Mondonico juga yang bikin tim-tim tersebut bisa mengganggu kedigdayaan kesebelasan top Negeri Spaghetti. Bagi tifosi Atalanta sendiri, Mondonico punya tempat istimewa di benak mereka. Pada 1987, manajemen La Dea menunjuknya sebagai pelatih anyar menggantikan Nedo Sonetti.
Di musim pertamanya bersama klub asal Bergamo ini, ia berhasil membawa tim asuhannya promosi ke Serie A. Menariknya, pada musim itu juga Atalanta berkompetisi di ajang Piala Winners dan sanggup menembus babak semifinal.
Bagaimana bisa? Mundur semusim, Atalanta finis di tempat ke-15 dan harus terelegasi ke Serie B gara-gara skandal Totonero. Namun mereka jadi runner up Piala Italia pasca-kalah dari Napoli di final. Diego Maradona dan kawan-kawan kala itu juga berstatus sebagai pemegang Scudetto sehingga mereka berhak atas tiket ke Piala/Liga Champions. Alhasil, jatah ke Piala Winners (didapat oleh jawara cup competition) diberikan kepada La Dea.
Berkat capaian itu juga, nama Mondonico meroket dan digadang-gadang sebagai calon pelatih top Italia di masa yang akan datang. Penampilan apik di musim perdana, rupanya berlanjut di musim selanjutnya. Mondonico mengantar Atalanta duduk di peringkat enam (1988/1989) dan posisi tujuh (1989/1990). Catatan itu pun membuat klub yang berdiri tahun 1907 itu mengantongi tiket unjuk gigi di Piala UEFA (sekarang Liga Europa).
Musim 1989/1990 juga menjadi penanda bahwa petualangan Mondonico di kota Bergamo selesai. Pasalnya, ia menerima pinangan Torino per musim 1990/1991. Hebatnya, nama Mondonico semakin harum bareng Il Toro usai membawa rival sekota Juventus itu memenangkan Piala Mitropa 1991 dan Piala Italia 1992/1993.
Sebetulnya, Mondonico punya kans untuk meraup satu gelar lain yakni Piala UEFA. Sayangnya, di final (saat itu digelar dua leg), Torino kalah agresivitas gol tandang dari tangan Ajax Amsterdam.
Publik sepakbola tentu masih ingat tindakan Mondonico yang mengangkat kursi dan seolah-olah ingin menghantamkannya kepada wasit sebagai bentuk kekecewaannya. Semuanya bermula dari abainya pengadil lapangan, Zoran Petrovic, menghadiahi Il Toro penalti setelah Roberto Cravero dilanggar di area terlarang oleh penggawa Ajax pada leg kedua.
Di ajang Serie A sendiri, Torino yang kala itu dimotori Roberto Mussi dan Enzo Scifo konsisten finis di papan atas. Secara beruntun, dari musim 1990/1991 sampai 1993/1994, Il Toro dibawa Mondonico menempati peringkat lima, tiga, sembilan, dan delapan. Torino pun selalu lolos ke kejuaraan antarklub Eropa.
Per musim 1994/1995, Mondonico meninggalkan kota Turin untuk melanjutkan cinta yang belum kelar dengan Atalanta. Padahal saat itu La Dea tengah berjibaku di Serie B. Hebatnya, ia langsung membawa mereka promosi ke Serie A.
Nahasnya, kisah Mondonico di periode kedua tak semanis momen pertama. Berhasil mengantar Atalanta duduk di papan tengah pada musim 1995/1996 dan 1996/1997, mereka justru dipaksa turun kasta gara-gara nangkring di peringkat ke-16 musim 1997/1998.
Kegagalan itu membuat Mondonico angkat kaki. Kesebelasan yang jadi tujuannya lagi-lagi Torino yang berkubang di Serie B. Apiknya, sang pelatih mampu membuat Il Toro tampil bagus di Serie B 1998/1999 sehingga berhak menggenggam satu karcis promosi ke Serie A. Namun seperti di Atalanta, Mondonico kembali ditimpa kemuraman sebab Torino langsung terdegradasi di musim 1999/2000 lantaran finis di posisi ke-15.
Promotor Striker Tajam
Bersama Atalanta dan Torino, Mondonico bekerja sama dengan banyak pemain dengan kemampuan bagus. Beberapa di antaranya adalah Filippo Inzaghi, Gianluigi Lentini, Gianluca Vialli, dan Christian Vieri. Di bawah polesan Mondonico, nama-nama itu mencuat.
Khusus nama pertama, ada peran besar yang dibuat Mondonico sehingga kemampuannya meningkat. Sang pelatih mengetahui bahwa Inzaghi punya kapasitas oke, tapi ia ingin membenahi teknik bermain Super Pippo, julukan Inzaghi. Selama persiapan musim ia menempa kelincahan dan ketajaman Inzaghi.
Metode latihannya unik, Mondonico memasang empat belas patok berukuran dua meter, dililit busa dan diletakkan dalam jarak sekitar 50 sentimeter antara satu dan lainnya. Ia menyuruh Inzaghi berlari zig-zag maju dan mundur melalui celah antarpatok.
Hasilnya pun tak main-main karena Inzaghi sukses jadi top skorer Serie A di musim 1996/1997 lewat torehan 24 gol. Kecepatannya meningkat pesat dan Inzaghi punya pergerakan yang luwes serta pandai mencari celah di pertahanan lawan.
Pun dengan Lentini dan Vieri yang sempat merasakan gemblengan Mondonico sehingga kapabilitasnya melonjak drastis dan tampil keren bagi tim yang mereka perkuat. Bahkan jika ditarik ke belakang, karier menawan Gianluca Vialli sebagai penyerang juga disebabkan metode latihan unik dari Mondonico. Keduanya bertemu saat di Cremonese.
Bermodalkan Taktik Sederhana
Sebagai bekas pemain sayap, Mondonico memang punya naluri agresif dalam meracik timnya. Sang pelatih dapat mencium bakat seorang penyerang dan mengasah ketajaman mereka. Selain itu, ia membuat tim yang dilatihnya berani menyerang meski materi pemain mereka ala kadarnya.
Di periode pertamanya bersama Atalanta, ia mengandalkan pola serangan dari sayap. Namun sebelum menyerang, basis pertahanan tim mesti diperkuat terlebih dahulu. Maka, ia menggunakan formasi 1-3-5-1 sebagai implementasi dari idenya tersebut.
Sebagai pelatih ia punya metode yang fundamental. Ia terbiasa melatih dari elemen dasar terlebih dahulu dan mengutamakan lini pertahanan. Menurut Mondonico, sektor pertahanan jadi kunci utama dari aliran permainan ke depan sehingga berjalan natural tetapi ekspresif.
Mondonico mengaku bahwa ia adalah jenis pelatih yang sederhana dan tidak rumit. Sebagai juru taktik ia lebih terobsesi pada kesederhanaan. Di depan publik, ia menamai metode kepelatihan dan taktiknya dengan sebutan, Pane e Salame, atau Roti dan Salami. Menurutnya, semua orang menyukai roti dan salami.
Ciri khasnya ini terus dipertahankan di masa-masa selanjutnya. Bahkan di periode keduanya bersama Atalanta, ia masih menggunakan taktik kesukaannya ini. Namun, evolusi taktik terus berlangsung di Italia dan gaya permainan Mondonico mulai ketinggalan zaman.
Usai bolak-balik Atalanta dan Torino, kariernya berlanjut ke Napoli, Cosenza, Fiorentina, Albinoleffe serta Novara. Namun sial, sentuhan magis Mondonico sudah lenyap. Ia tak mampu membawa klub-klub tersebut tampil seelok Atalanta dan Torino pada periode pertamanya melatih di sana.
Namun di Atalanta dan Torino, nama Mondonico akan selalu harum. Bahkan saat kabar duka mengenai kematiannya merebak pada 2018 silam lantaran kanker lambung, Atalanta memajang foto Mondonico di lengan kanan jersi mereka kala bertanding melawan Udinese di giornata ke-30 musim 2017/2018.
Di bawah foto Mondonico terdapat tulisan, Sarai Sempre Il Mostro Mondo. Jika diterjemahkan, kalimat itu kurang lebih berarti, “Anda akan selalu menjadi bagian dari dunia kami”.
Sementara Torino, lewat akun Twitter resminya merilis pernyataan duka cita bagi sosok yang berjasa untuk perjalanan mereka di era 1990-an tersebut.
Ciao Mondo, ci mancherai. pic.twitter.com/keuAsvBjHQ
— Torino Football Club (@TorinoFC_1906) March 29, 2018
Dibanding Arrigo Sacchi atau Giovanni Trapattoni, Mondonico bukanlah siapa-siapa. Namun ia tetap memiliki tempat spesial di hati penikmat sepakbola Italia.