Sebulan sudah lini masa media sosial riuh oleh para penggila sepakbola yang menikmati ingat-bingar Piala Eropa 2020. Keriuhan oleh fans, suporter, tifosi, pendukung atau apapun sebutannya itu terasa makin pekat jelang final yang mempertemukan Italia dan Inggris dini hari besok (12/7).
Seperti biasa, para pemilik akun memperlihatkan dukungannya ke tim jagoan masing-masing. Ada yang memberi dukungan kepada Italia, ada pula yang berpihak kepada Inggris.
Seperti teman-teman saya di Twitter yang mayoritas penggemar klub-klub Serie A, saya pun merapat ke kubu Gli Azzurri usai melepas atribut klub idola.
Hal serupa tentu dipamerkan mereka yang menggilai tim-tim Liga Primer Inggris. Banyak dari mereka yang mengirimkan doa dan menunjukkan dukungan kepada Harry Kane dan kolega.
Sepanjang pengetahuan saya, ada cukup banyak akun-akun di Twitter yang menjadi wadah bagi tifosi Serie A untuk diskusi dan bahkan saling ledek. Misalnya saja @InfoAzzurri dan @SerieA_Lawas.
Akun-akun itu juga selalu memberikan informasi teraktual mengenai perkembangan tim nasional Italia. Baik saat bertanding di sebuah kejuaraan mayor, mengikuti kualifikasi sebuah kejuaraan mayor, sampai melakoni laga persahabatan.
Terasa lebih menarik, dua akun di atas juga kerap mengunggah lirik dari lagu kebangsaan Italia, Fratelli d’Italia, ketika Gli Azzurri beraksi.
Alhasil, banyak suporter Italia asal Indonesia yang hafal dengan lagu ini. Sama hafalnya dengan lagu kebangsaan negara tercinta, Indonesia Raya.
Cara mereka menyanyikan Fratelli d’Italia pun sama lantangnya dengan para pemain atau suporter asli Negeri Spaghetti. Ada emosi, ada kebanggaan yang terpancar. Terlebih saat menyebut kata, “Si” di akhir frasa lagu. Gila? Bisa saja.
Pertandingan final baru dilangsungkan dini hari besok, tetapi percayalah lini masa media sosial Twitter lebih dahulu ramai oleh kicauan para pendukung masing-masing kubu.
Layaknya fans Inggris yang berharap Kane dan kolega dapat merengkuh trofi mayor setelah terakhir kali melakukannya pada 1966 saat menjuarai Piala Dunia, tifosi Italia juga ingin melihat Insigne dan kawan-kawan menutup kemarau prestasi Gli Azzurri sejak 2006.
Akan tetapi, misi Italia buat melakukannya tidak mudah. Pasalnya, laga puncak bakal diselenggarakan di Stadion Wembley, London, yang notabene stadion kandang Inggris.
Selain itu, jumlah suporter Italia yang boleh hadir di stadion juga dibatasi. Sementara kuota bagi publik Inggris jauh lebih banyak.
Tak heran bila @SerieA_Lawas menyebut kalau pertandingan final nanti akan sangat berat untuk Italia. Sebab mereka tak cuma melawan 11 orang penggawa Inggris di atas lapangan, tetapi juga tekanan dari suporter Negeri Big Ben di tribun serta panitia Piala Eropa 2020.
Giorgio Chiellini, kapten Italia, bahkan sempat berujar kalau presensi The Three Lions di laga puncak bukan sesuatu yang mengejutkan. Alasannya simpel saja, Kane dan kawan-kawan tak berkeringat terlalu banyak sebab memainkan enam dari tujuh pertandingannya (sebelum final) di London.
Jarak tempuh yang dihabiskan Inggris berbeda jauh dengan partisipan lain yang sampai 15 ribu kilometer karena harus bolak-balik bermain di sejumlah kota. Bisa dibilang, itu adalah keuntungan masif bagi anak asuh Gareth Southgate.
Walau demikian, Italia takkan gentar dengan hal tersebut. Saya pun meyakini bahwa Roberto Mancini sudah mengantongi kelemahan Inggris sampai ke lubang-lubang terkecilnya.
Gli Azzurri sudah punya pengalaman melawan tim tuan rumah di sebuah laga krusial. Tepatnya di Piala Eropa 2000 dan Piala Dunia 2006. Saat itu, Italia bersua Belanda dan Jerman pada babak semifinal.
Alih-alih tertekan dan kesulitan, Gli Azzurri justru keluar sebagai pemenang lewat permainan memukau. Belanda ditaklukkan via adu penalti, sementara Jerman dihunus dua gol yang lahir dari kaki Fabio Grosso dan Alessandro Del Piero.
Sebagai penggemar, saya dan tifosi Italia jelas berharap Insigne dan kawan-kawan bisa mengangkat trofi selepas laga usai. Namun bila hal itu gagal diwujudkan, kami sudah cukup bahagia dengan pencapaian anak buah Mancini.
Mengutip kicauan @Bianconerria, pendukung Italia sudah merayakan gelar juara sejak Mancini datang sebagai pelatih anyar. Hal itu persis renaissance dan mengubah peruntungan Gli Azzurri yang sebelumnya ditangani Giampiero Ventura.
Sejak menukangi timnas, statistik impresif berhasil ditorehkan Mancini. Ia sukses membawa anak asuhnya tak terkalahkan dalam kurun tiga tahun pamungkas kendati bermain di 33 pertandingan.
Bahkan dalam 14 partai terakhirnya, Italia cuma kebobolan tiga gol. Sebuah performa menakjubkan dari kesebelasan yang gagal menembus Piala Dunia 2018 silam.
Salah satu penggawa Italia, Leonardo Bonucci, mengatakan bahwa skuad Gli Azzurri saat ini tidak dihuni megabintang seperti Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo. Namun hal itu malah bikin tim semakin solid karena seluruh anggota skuad adalah bintang Italia.
Sejauh ini, nyaris seluruh pemain telah mencicipi atmosfer pertandingan Piala Eropa 2020. Selain itu, skuad Italia juga memperlihatkan humanisme yang luar biasa ketika Leonardo Spinazzola tak bisa melanjutkan aksinya dalam kejuaraan ini.
Spinazzola mengalami cedera tendon achilles dan mesti menyudahi kiprahnya di Piala Eropa 2020. Sebagai dukungan, kala Italia berhasil menekuk Spanyol via adu penalti pada laga semifinal, tim mempersembahkan kemenangan itu bagi sang bek kiri.
Nama sang pemain juga dinyanyikan seluruh tim kala berada dalam pesawat yang mengantar mereka pulang ke Coverciano.
Dari sisi teknis, saya merasa bahwa Italia asuhan Mancini tampil berbeda. Mereka tak didesain sebagai tim yang banyak menunggu dan memanfaatkan serangan balik untuk mencetak gol.
Mancini bikin anak asuhnya bermain dengan garis pertahanan tinggi dan agresif dalam menyerang demi mencetak angka secepatnya. Kolaborasi pemain gaek semisal Bonucci, Chiellini dan Alessandro Florenzi dengan pemuda bertalenta seperti Nicolo Barella, Gianluigi Donnarumma, dan Manuel Locatelli sebagai senjata untuk meraih prestasi.
Ada begitu banyak alasan untuk mendukung Italia menjadi kampiun Piala Eropa 2020. Namun sesengit apapun tifosi Italia di media sosial, yakinlah bahwa kami takkan ragu untuk mengucapkan selamat kepada suporter The Three Lions andai tim idola mereka yang keluar sebagai juara. Bukankah sepakbola seharusnya begitu?
Fanatisme saya dan tifosi Italia pada umumnya adalah kewajaran. Pasti tak jauh berbeda dengan para suporter Inggris, bukan? Anggap saja ini pelarian sejenak dari realita dunia yang penuh rasa kecewa.
Ini adalah saat yang tepat untuk mengasah emosi, termasuk dengan meledek fans Inggris, guna bersiap melawan rasa sedih atau tenggelam dalam kegembiraan saat peluit panjang berbunyi.
Lagipula, saya merasa itu lebih mengasikkan ketimbang mengolok-olok kepandiran pemerintah Wakanda yang tak kunjung mampu mengatasi pandemi Covid-19.
#ForzaItalia