Simon Kuper, kolumnis sepak bola senior asal Inggris, seminggu yang lalu menuliskan dalam kolomnya di Financial Times, bahwa Joseph Blatter adalah seorang portier (portir hotel) Swiss sejati.
Ia adalah sosok yang bersahabat, fasih berbicara dalam berbagai bahasa, tak mengenal ideologi, dan tahu betul siapa-siapa tamu hotel yang punya uang berlimpah. Itulah mengapa, lanjut Kuper, Blatter seakan-akan tak memiliki lawan sepadan untuk menjadi penantang serius untuk terus melaju menjadi presiden FIFA.
Membaca apa yang ditulis Kuper, pikiran saya melayang pada sosok Gustave, seorang portir hotel dalam film Grand Budapest Hotel karya Wes Anderson. Karakter yang diperankan oleh aktor Inggris, Ralph Fiennes tersebut memiliki ciri-ciri seorang portier yang digambarkan oleh Kuper.
Nasib Blatter dan Gustave memang akhirnya bertolakbelakang. Jika Gustave harus meregang nyawa diterjang peluru tentara Nazi, Blatter justru mampu menjadi kaisar agung di badan tertinggi sepak bola dunia.
Joseph Blatter yang akrab disapa Sepp tersebut mulai masuk ke kepengurusan FIFA persis 40 tahun lalu. Ia ditarik masuk ke FIFA oleh presiden FIFA kala itu, Dr. Joao Havelange, seorang mantan perenang yang ikut berkompetisi di Olimpiade Berlin 1936.
Selama empat dekade berkecimpung di sana, ada tiga jabatan yang diemban oleh Blatter. Pertama, pada 1975-1981, ia menjalankan peran sebagai direktur teknik. Kemudian, pada 1981-1998, Blatter dipromosikan menjadi sekretaris jenderal (sekjen), sebelum akhirnya menggantikan mentornya, Havelange, sebagai presiden sejak tahun 1998 hingga kini.
Sejak pertama kali terpilih menjadi presiden FIFA pun, langkah Blatter sudah dirundung kontroversi. Ketika itu, pada tahun 1998, Dr. Havelange memutuskan bahwa dirinya akan pensiun sebagai presiden FIFA setelah 24 tahun berkuasa.
Kandidat terkuat pengganti Dr. Havelange kala itu adalah presiden UEFA, Lennart Johansson yang salah satunya didukung oleh Inggris. Padahal, ketika itu Dr. Havelange sudah mengatakan kepada perdana menteri Inggris, Tony Blair, bahwa ia ingin agar Inggris menjadi tuan rumah Piala Dunia 2006. Namun, FA saat itu sudah menjatuhkan pilihan dukungan kepada Johansson, sementara Dr. Havelange ingin agar protégé-nya, Blatter yang menjadi suksesor.
Akhirnya, lewat berbagai suap – yang sayangnya tak pernah (benar-benar) terbukti, Blatter memenangi pemilihan tahun 1998 tersebut. Ketika itu, Blatter juga mendapat bantuan dari Michel Platini – kala itu merupakan kepala Komite Penyelenggara Piala Dunia 1998 bersama Fernand Sastre – yang sedang memersiapkan diri menjadi penantang serius bagi Johansson untuk mengisi pos presiden UEFA. Jadilah kemudian tongkat kepemimpinan The Evil Empire berpindah dari satu evil emperor ke evil emperor lainnya.
Seperti rezim pendahulunya, Dr. Havelange, yang banyak tersandung dugaan korupsi, rezim Blatter pun demikian. Puncaknya adalah ketika Rusia dan Qatar terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022 pada tahun 2010 silam. Dua negara ini ditengarai terlibat dalam berbagai aksi suap yang membuat mereka pada akhirnya terpilih menjadi tuan rumah.
Selama 17 tahun berkuasa, rezim Blatter kini mendapat ancaman (yang benar-benar) serius. 14 pejabat FIFA, termasuk wakil presiden, Jeffrey Webb, ditangkap oleh kepolisian Swiss yang bekerjasama dengan Federal Bureau of Investigation (FBI) dan Department of Justice (DoJ) Amerika Serikat atas berbagai tuduhan korupsi, penyuapan, dan penggelapan senilai kurang lebih 150 juta dolar.
Dalam pidatonya jelang pemilihan presiden FIFA pada 28 Mei 2015, Blatter kurang lebih mengatakan bahwa ia tak tahu menahu soal ini dan ia tak bisa mengawasi semua aktivitas yang dilakukan para bawahannya. Sebuah pernyataan yang, pertama, jelas tak memuaskan, dan kedua, berpotensi untuk mengalihkan dukungan para voters kepada sang penantang dalam pemilihan kali ini, Pangeran Ali dari Yordania.
Saat ini, Pangeran Ali sudah mengklaim bahwa ia telah mengantongi dukungan 105 suara, terutama dari Concacaf (Amerika Utara dan Karibia), Conmebol (Amerika Selatan), dan UEFA (Eropa). Sementara itu, Blatter saat ini masih memegang suara mayoritas.
Ia banyak mendapat dukungan dari negara-negara Asia dan Afrika yang sering menerima bantuan football development dari rezim Blatter. Federasi Sepak Bola Nigeria (NFF) kemarin (28/5) sudah menyatakan dukungannya. Kemudian, dari UEFA, Spanyol dan Rusia juga sudah bersumpah setia terhadap Blatter.
Yang menarik adalah bahwa kini, Michel Platini, sebagai presiden UEFA, secara terang-terangan menyatakan keinginannya agar Blatter mundur sebagai presiden FIFA. Hal ini sedikit banyak mengingatkan saya pada apa yang terjadi pada Harmoko dan Jenderal Suharto ketika Orde Baru runtuh pada 1998.
Nyatanya, apa yang terjadi dengan FIFA dan Orde Baru memang tak berbeda jauh. Bedanya barangkali adalah, jika selama 32 tahun Orde Baru hanya memiliki satu penguasa, FIFA, selama 41 tahun (terhitung sejak Dr. Havelange naik tahta), memiliki dua pemimpin yang serupa. Selebihnya sama.
Kedua rezim tersebut sama-sama merupakan rezim yang merupakan perpaduan sempurna dari otokrasi dan kleptokrasi, di mana (nyaris) semua kebijakan didasarkan pada korupsi, kolusi, minimnya transparansi, dan cover-up. Semua dilakukan secara in-house. What’s in FIFA, stays in FIFA.
Dengan adanya penangkapan terhadap para pejabat FIFA dan investigasi yang dilakukan terhadap Piala Dunia 2018 dan 2022, apakah ini menjadi akhir dari sebuah era? Semoga saja.
Mengutip Guntur Cahyo Utomo, eksanggota staf kepelatihan tim nasional Indonesia U-19, kita harus tetap percaya pada sepak bola karena sepak bola itu menyenangkan, yang tidak menyenangkan adalah orang-orang yang mengurusinya.
Kemudian, mengutip Dave Zirin, kolumnis olahraga The National, soccer is worth saving. Semoga dengan adanya kasus ini, rezim Blatter yang telah terinstitusionalisasi itu akhirnya bisa lengser dan digantikan dengan era baru good governance, karena apabila FIFA sudah lebih bersih, maka federasi sepak bola negara-negara anggotanya pasti perlahan-lahan akan bersih juga. Termasuk Indonesia.