Pep Guardiola menghadapi salah satu fase tersulit dalam karir kepelatihannya di FC Bayern. Setelah kalah 1-3 saat melakoni pertandingan tandang di babak perempat final Liga Champions, tim medis mereka mengumumkan pengunduran diri karena adanya friksi internal. Namun akhirnya Guardiola berhasil melewati rintangan tersebut dengan performa yang sangat meyakinkan saat timnya mendapat giliran untuk menjamu FC Porto di Allianz Arena dalam leg kedua babak perempat final Liga Champions.
Susunan pemain
Secara umum, skuat yang diturunkan oleh Guardiola hampir sama dengan pertandingan pada leg pertama. Satu-satunya perubahan yang dibuat Guardiola adalah dimainkannya Holger Badstuber sebagai starter menggantikan Dante Bonfim. Guardiola masih kehilangan Arjen Robben, Franck Ribery dan David Alaba yang mengalami cedera. Sementara itu, Bastian Schweinsteiger masih belum sepenuhnya fit sehingga hanya duduk di bangku cadangan. Hal yang menarik pada pertandingan leg kedua ini adalah skema yang digunakan oleh Guardiola ̶ pada pertandingan sebelumnya Guardiola menggunakan skema 4-3-3/4-3-1-2.
Guardiola kali ini menggunakan skema 4-4-2/4-2-3-1 dengan Thomas Muller bermain di belakang Robert Lewandowski ̶ setelah pada pertandingan leg pertama bermain sebagai sayap kanan. Philipp Lahm yang pada pertandingan sebelumnya bermain sebagai gelandang tengah bersama Thiago Alcantara dan Xabi Alonso kini bermain sebagai sayap kanan ̶ peran yang jarang dimainkannya.
Sementara itu, Julen Lopetegui masih mengandalkan skema yang sama dari pertandingan leg pertama. Danilo dan Alex Sandro yang menerima larangan bertanding ̶ akibat akumulasi kartu kuning ̶ digantikan oleh Diego Reyes dan Ivan Marcano. Diego Reyes menempati posisi fullback kanan sedangkan Marcano bermain sebagai bek tengah dengan Bruno Martins Indi bergeser sebagai fullback kiri.
Bagaimana skema 4-2-3-1 yang dipakai Pep?
Skema 4-4-2/4-2-3-1 yang digunakan oleh Pep kali ini bertujuan untuk merusak kekompakan Porto baik secara vertikal maupun horizontal. Porto menerapkan sistem yang sama dengan leg pertama, yaitu pressing situasional dengan pola 4-3-3-0/4-2-4-0/4-1-1-4-0. Jackson Martinez yang bermain sebagai penyerang ̶ ketika timnya tidak menguasai bola ̶ akan menempel ketat Xabi Alonso. Ricardo Quaresma dan Yacine Brahimi memposisikan diri mereka dengan orientasi Martinez dan pergerakan fullback Bayern. Dengan demikian, ketika Xabi Alonso mengambil posisi lebih dalam di antara kedua bek tengah, Porto akan dapat dengan mudah mendapatkan akses pressing ke pemain-pemain Bayern ̶ terutama Dante dan Alonso pada leg pertama.
Namun hal ini tidak berlaku pada leg kedua karena Alonso tidak sekalipun memposisikan dirinya lebih dalam. Alonso justru lebih banyak berada di depan kedua bek tengah dan membiarkan dirinya dijaga oleh Martinez. Dengan demikian, Porto akan kesulitan untuk mendapatkan akses pressing ke Jerome Boateng dan Badstuber karena trio Quaresma-Martinez-Brahimi akan terlalu jauh. Bisa dikatakan, pemosisian Alonso mengontrol pressing yang dilakukan Porto.
Selain itu, Lewandowski dan Muller menahan agar Maicon dan Marcano tidak dapat merapatkan jarak antar lini yang tercipta di belakang Casemiro. Hal ini dikarenakan keduanya mampu melakukan kombinasi dan juga memiliki kecepatan lari yang cukup baik untuk mengeksploitasi ruang di belakang lini pertahanan ̶ seperti yang terlihat pada peluang Lewandowski yang membentur tiang di menit ke-9.
Untuk membantu Boateng dan Badstuber mengalirkan bola dari belakang ̶ dan menciptakan superioritas jumlah dalam menghadapi pressing Porto ̶ Pep menggunakan Rafinha. Dibandingkan dengan Juan Bernat yang lebih banyak menyisir sisi kiri lapangan, Rafinha lebih banyak berdiri hampir sejajar dengan Boateng dan Badstuber, namun bukan sebagai halfback. Keuntungan dari hal ini adalah kesigapan saat anak asuh Lopetegui mendapatkan akses pressing, karena trio Badstuber-Boateng-Rafinha sudah menghadap ke depan (ke arah gawang lawan).
Lain halnya bila Alonso yang digunakan untuk membantu mengalirkan bola. Karena posisi awalnya dari tengah, maka ketika Alonso menerima bola atau bergerak untuk menempatkan dirinya di atara kedua bek tengah, ia harus menghadap ke gawangnya sendiri. Hal ini tentu menurunkan kewaspadaan terhadap pressing yang dilakukan oleh pemain-pemain Porto seperti yang terlihat pada gol pertama Porto pada leg pertama yang berawal dari pressing Martinez ke Alonso.
Selain mengontrol akses pressing Porto dan meningkatkan kewaspadaan terhadap pressing, pemosisian Alonso juga membantu Bayern dalam mengontrol kekompakan Porto di area tengah sehingga membuka jalur umpan yang memotong area sentral. Dengan kata lain, Bayern tidak menggunakan Alonso sebagai agen utama untuk meningkatkan progresi permainan dari belakang ke depan. Namun, secara tidak langsung pemosisian Alonso membantu Bayern meningkatkan progresi permainan. Hal ini sedikit banyak menyerupai filosofi hypermodern chess school.
Filosofi Aaron Nimzowitsch
Salah satu filosofi utama dalam permainan catur adalah mengontrol area sentral dari papan catur. Secara umum, dengan mengontrol area sentral maka seorang pemain catur dapat mengontrol permainan. Ada dua filosofi dalam hal mengontrol area sentral. Pada modern school, area sentral dapat dikontrol dengan cara menempatkan bidak catur pada area sentral.
Sedangkan pada hypermodern school, seorang pemain catur tidak harus menempatkan bidaknya pada area sentral. Bidak dapat diletakkan pada area non sentral namun masih memegang kontrol pada area sentral. Salah satu pembesar filosofi ini adalah Aaron Nimzowitsch. Analogi dari modern chess school pada sepakbola dapat dilihat dari permainan Barcelona era 2008-2012 di mana Sergio Busquets, Xavi Hernandez, Andres Iniesta dan Lionel Messi mengontrol permainan dari area sentral. Saat itu Barcelona juga ditangani oleh Pep Guardiola.
Sementara itu, analogi hypermodern chess school dapat kita lihat salah satunya pada pertandingan ini. Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bahasan sebelumnya di mana Alonso mengontrol akses pressing dan kekompakan area sentral anak asuh Lopetegui. Alonso tidak mengontrol area tengah sebagai pengumpan utama. Pengumpan utama Bayern dalam meningkatkan progresi permainan justru berasal dari Boateng dan Badstuber seperti terlihat pada diagram perbandingan umpan.
Seperti dijabarkan pada sub-bahasan sebelumnya, Martinez melakukan penjagaan terhadap Alonso, sedangkan Quaresma dan Brahimi memposisikan dirinya dengan berorientasi pada posisi Martinez. Herrera dan Oliver Torres secara situasional akan memberikan pressing kepada Badstuber atau Boateng. Dengan perhatian Martinez yang terarah kepada Alonso, maka jalur umpan antara Badstuber-Boateng-Rafinha akan terbuka lebar sehingga bola dapat dipindahkan dari sisi ke sisi dengan cepat. Ketika bola dipindahkan, maka akan terbuka jalur umpan secara vertikal maupun diagonal ke zona di belakang Casemiro seperti terlihat pada diagram sistem pressing Porto.
Selain itu, pola serangan yang dibangun oleh The Bavarian juga tidak menuju area sentral. Serangan yang mereka bangun lebih banyak menuju ke sisi lapangan untuk kemudian ̶ memanfaatkan pressing yang diterapkan oleh Porto ̶ Bayern memindahkan bola. Bola dapat dipindahkan baik secara langsung dari sisi ke sisi atau melalui zona sentral memanfaatkan pemain interior (Thiago) yang sesekali mengisi area tengah ̶ sebelum bergeser ke sisi lapangan untuk berkombinasi dengan Lahm atau Mario Gotze. Dua gol yang dicetak oleh Lewandowski menunjukkan hal ini dengan baik.
Bola kedua
Dari diagram di atas juga terlihat bahwa secara umum Bayern lebih banyak melakukan umpan diagonal (Boateng ke Gotze atau Badstuber ke Lahm) untuk meningkatkan progresi permainan. Bila kita amati, peluang Gotze dan Lahm untuk memenangi duel udara melawan Diego Reyes dan Martins Indi tentu saja sangat kecil. Tujuan dari umpan-umpan diagonal ini adalah untuk memenangkan bola kedua setelah duel udara. Bagaimana Bayern dapat memenangkan bola kedua?
Hal ini merupakan reaksi berantai dari skema yang digunakan oleh Guardiola. Ketika bola dipindahkan dari sisi ke sisi, maka pemain-pemain Porto akan ikut bergeser dengan orientasi bola dan berusaha mempertahankan kekompakan secara horizontal. Ketika bola dengan seketika dipindahkan lagi secara diagonal, maka pemain-pemain Bayern dapat keluar dari kekompakan vertikal Porto. Terlebih, ruang antara Casemiro dan lini belakang sangatlah luas. Dengan demikian, bola kedua dapat dimenangkan.
Thiago yang semula terisolasi di area sentral dapat bergerak ke arah bola dengan bebas. Lewandowski akan memberikan bantuan di area terdekat sedangkan Alonso akan memberikan bantuan di area sentral.
3-4-3 dan 4-3-3
Porto tidak dapat mengembangkan permainan dan hanya dapat mengandalkan counter attack dari skema pressing mereka. Hal ini dikarenakan oleh sistem pressing yang diterapkan oleh Bayern dan tidak adanya fullback murni.
Bayern menerapkan sistem immediate pressing dengan orientasi akses. Begitu Porto mencoba membangun permainan dari belakang, Bayern langsung memberikan pressing dan memotong sejumlah akses umpan terutama ke area sentral. Hal ini semakin diperparah oleh tidak adanya fullback murni di skuat Porto. Diego Reyes dan Martins Indi secara natural merupakan bek tengah. Keduanya tidak memiliki teknik yang mumpuni layaknya Danilo dan Alex Sandro untuk dapat keluar dari tekanan pemain-pemain Bayern. Hal ini memaksa kedua sayap Porto ̶ terutama Quaresma ̶ untuk turun jauh ke dalam dan membantu rekan-rekannya keluar dari pressing. Ketika bola mencapai lini tengah, opsi yang dimiliki juga sangat minim karena Martins Indi dan Diego reyes kurang memiliki naluri untuk bergerak melakukan overlapping run.
Pada menit ke-33, Lopetegui menggantikan Diego Reyes dengan Ricardo Pereira yang posisi aslinya merupakan sayap. Kemudian pada pergantian babak kedua, Lopetegui memasukkan Thiago Neves menggantikan Quaresma. Neves bermain sebagai no.6 sedangkan Casemiro digeser sebagai bek bersama Maicon dan Marcano dalam skema 3-5-2/3-4-3. Martins Indi dan Ricardo bermain sebagai wingback sedangkan Brahimi bermain sebagai inside forward kiri.
Sementara itu, Bayern terlihat menjadi lebih menyerupai 4-3-3 di mana Lahm lebih banyak bergerak ke area tengah dan Muller melakukan pressing ke Marcano ketika Bayern tidak menguasai bola.
Setelah perubahan ini, Porto menjadi sedikit lebih baik. Serangan yang mereka bangun menjadi lebih berkembang karena adanya kedua wingback yang lebih maju. Selain itu, pressing yang mereka terapkan juga menjadi lebih baik, bahkan memaksa Bayern meninggalkan keinginan untuk memainkan bola dari belakang. Pada menit ke-72, Guardiola memasukkan Rode untuk menggantikan Rafinha. Rode bermain sebagai gelandang bersama Thiago dan Alonso sedangkan Lahm kembali ke posisi naturalnya sebagai bek kanan. Muller yang semula bermain di belakang Lewandowski bergeser ke sayap kanan. Masuknya Rode ini mengubah skema Bayern menjadi 4-3-3 dan membuat lini tengah mereka lebih kompak.
Bayern mengakhiri pertandingan dengan skor 6-1. Sebuah skor yang menggambarkan betapa prima performa dan taktik yang diterapkan oleh Pep Guardiola, mengingat setelah leg pertama banyak yang meragukan peluang Bayern untuk lolos ke semifinal Liga Champions. Pertandingan ini juga menunjukkan bahwa mengontrol zona sentral tidak harus dengan menjadikan zona tersebut sebagai pusat kontrol permainan suatu tim. Namun, selama sebuah tim dapat mengontrol area sentral maka tim tersebut dapat mengontrol jalannya pertandingan.