Liga Indonesia akhirnya resmi dinyatakan selesai oleh PSSI. Dengan hasil akhir seperti ini, agak sulit rasanya untuk mengatakan siapa yang sudah bertindak dengan benar. Sudah benarkah tindakan Menpora membekukan PSSI? Kemudian, tepatkah langkah yang kemudian diambil PSSI dan PT Liga Indonesia dengan membubarkan kompetisi, padahal Menpora sudah menyatakan bahwa ia ingin kompetisi dilanjutkan? Entahlah, yang jelas, adanya aksi dan reaksi macam ini adalah pertanda bahwa kedua pihak tidaklah nirkepentingan.
Di tengah karut marut yang disebut Hinca Panjaitan sebagai “force majeur” ini, salah satu pihak yang paling dirugikan tentu saja adalah para pemain. Meski masih bisa diperdebatkan serta dipertanyakan, suka tidak suka, para pemain Liga Super Indonesia (LSI) dan Divisi Utama adalah para pemain profesional yang menggantungkan hidup dari sepak bola sepenuhnya. Berhentinya kompetisi, di mana sumber pemasukan para pemain secara otomatis terhenti sepenuhnya, seakan menjadi titik kulminasi dari permasalahan-permasalahan menahun yang selalu menghimpit mereka: pelunasan gaji.
Selama bertahun-tahun dizalimi oleh pihak pengurus klub, hanya ada sedikit pemain yang kemudian berani buka suara akan seretnya gaji yang mereka terima. Entah berkaitan langsung atau tidak, sikap nrimo (atau takut?) inilah yang tampak pula pada motivasi mereka sebagai pesepak bola. Bukan, ini bukan lagi perkara gaji. Motivasi yang saya maksud di sini adalah soal keinginan mereka untuk berkembang dengan lebih baik lagi sebagai atlet untuk meraih prestasi yang lebih tinggi dan bergengsi.
Melihat pemain Indonesia, jarang sekali saya melihat adanya hasrat yang besar untuk mencapai level tertinggi. Ketika para pemain tersebut sudah mendapat kontrak dengan klub lokal dan menjadi pemain profesional, hasrat mereka hanya sebatas menjuarai liga domestik bersama klub, masuk tim nasional (timnas) untuk SEA Games atau Piala AFF, setelah itu selesai. Mereka seperti terjebak di dunia yang itu-itu saja.
Saat ini, hanya ada sedikit pemain Indonesia yang bermain di luar negeri. Mereka adalah Andik Vermansyah (Selangor FA/Malaysia), Sergio Van Dijk (Suphanburi/Thailand), Irfan Bachdim (Consodale Sapporo/Jepang), dan Arthur Irawan (Waasland-Beveren/Belgia). Dari keempat pemain tersebut, semuanya memiliki cap timnas Indonesia, dan dari mereka, hanya Van Dijk dan Andik yang rutin bermain secara reguler di klub mereka masing-masing. Sementara itu, Irfan dan Arthur yang bermain di liga luar ASEAN tampaknya masih kesulitan untuk bersaing.
Banyak faktor yang menyebabkan pemain Indonesia jarang mau bermain di luar dan sulit untuk beradaptasi jika sudah berada di liga luar negeri. Pemain-pemain Indonesia terlalu sering berada pada zona nyaman. Bolehlah kita ambil contoh pemain semacam Syamsir Alam, Alfin Tuassalamony, Yandi Sofyan, Alan Martha, Reffa Money yang lima tahun silam digadang-gadang akan berkarier di luar negeri. Semua pemain tersebut adalah ekspenggawa SAD Indonesia yang berlatih dan berkompetisi di Uruguay. Lalu mengapa saat ini karier mereka mentok di sini-sini saja?
Pertama, khusus untuk para pemain eks-SAD, proses induksi pemain yang dilakukan sebenarnya sudah cukup baik, namun setelah tim terbentuk, daya saing di tim kemudian menurun karena tidak ada tuntutan yang tinggi. Memang ada “ancaman” pencoretan, namun hal tersebut hanya dilakukan sesekali dan tidak berkelanjutan. Alhasil, para pemain tersebut kemudian menjadi terjebak di zona nyaman. Mereka merasa hebat karena sudah terpilih untuk berlatih dan bertanding di luar negeri. Mereka pun sudah puas dengan pencapaian yang sebenarnya baru segitu.
Kedua, ada pandangan bahwa ketika pemain lokal bermain untuk klub luar maka mereka akan kesulitan mendapat tempat di timnas, entah karena si pemain sulit mendapat tempat di klub, pemain tersebut bukan yang diinginkan pelatih, atau faktor-faktor “politis” tak kasatmata dalam proses pemilihan pemain di timnas.
Bukan perkara sulit rasanya jika pemain Indonesia secara massal menginvasi beberapa liga di ASEAN, seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, atau Liga Singapura yang dalam pemberitaan beberapa pekan terakhir juga sedang dalam situasi sulit karena kurangnya konsumen. Para penonton lokal di Singapura rata-rata lebih suka menyaksikan Liga Primer Inggris, sehingga animo pertandingan liga lokal mereka pun rendah. Hasilnya, sponsor pun enggan mampir ke klub-klub Singapura.
Bicara soal liga Singapura, barangkali bisa ada sebuah simbiosis mutualisme seandainya para pemain kita – yang tak punya kompetisi – kemudian memilih untuk membanjiri liga Singapura. Ibaratnya, liga Singapura ingin menjual sesuatu, namun karena dagangan mereka kurang menarik, mereka butuh produk yang menarik untuk dijual – dalam hal ini pemain Indonesia. Apabila hal ini terjadi, maka setidaknya orang-orang Indonesia yang berada di Singapura akan tertarik untuk datang ke stadion untuk menyaksikan pertandingan.
Akan menjadi menarik rasanya jika pemain lokal kita tersebar di berbagai Negara. Sebatas level Asia Tenggara dulu saja pun tidak masalah, toh hal tersebut pernah dilakukan oleh para pemain Thailand dan Singapura beberapa musim yang lalu. Hasilnya, mereka yang pernah bermain di LSI turut andil membawa timnas Singapura menjuarai Piala AFF pada 2012 dan Thailand pada Piala AFF 2014.
Tak hanya itu, pemain seperti Suchao Nutnum (eks-Persib) pun menjadi bagian kala Buriram United lolos ke perempatfinal Liga Champions Asia 2013. Contoh lainnya adalah Zheng Cheng (China/Guangzhou Evergrande). Satu dekade silam, pemain tersebut sempat dipinjamkan ke Persebaya oleh klubnya Wuhan Guanggu. Tujuh tahun setelah bermain di liga Indonesia, Zheng Cheng mampu membawa Guangzhou Evergrande menjadi juara Liga Champions Asia di bawah asuhan Marcello Lippi. Ia pun kemudian berkesempatan untuk tampil pada ajang Piala Dunia Antarklub.
Sebenarnya, bermain di luar negeri tak melulu soal baik buruknya kualitas liga. Bagi seorang pesepak bola, bermain di luar negara asalnya bisa menjadi cara ampuh untuk menempa diri dan mengasah mental serta pola pikir mereka.
Para pemain Indonesia harus berani keluar dari zona nyaman. Ada seorang pemain eks-SAD yang sebelum kembali ke Indonesia sempat mengatakan bahwa ia hanya akan bermain di Indonesia setahun saja, baru kemudian bertolak lagi ke luar negeri. Namun, pada kenyataannya, pemain tersebut sampai sekarang masih berada di Indonesia karena ia sudah kadung merasa nyaman dengan mampu bermain reguler di tim yang diperkuatnya. Kabar terakhirnya, pemain yang saya maksud ini sedang mengalami cedera patah kaki.
Sebaliknya, pemain seperti Irfan Bachdim, meskipun hanya berstatus sebagai benchwarmer di klub mereka masing-masing, layak untuk mendapat penghargaan lebih. Bachdim bersedia keluar dari tempat yang kemungkinan besar akan memberinya tempat reguler demi meningkatkan kualitas sepak bolanya. Ia tak puas dengan kualitas yang begitu-begitu saja. Mumpung masih muda, ia ingin terus mengembangkan diri meski menit bermain yang minim kemudian menjadi harga yang harus ia bayar. Pola pikir seperti inilah yang seharusnya diadaptasi oleh pemain-pemain lain.