Air Perdamaian Suporter Indonesia

Ketika akses menuju stadion dirasa semakin sulit oleh para suporter di daratan Eropa sana, maka nonton bareng adalah salah satu cara lain untuk merasakan kehusyukan dalam menonton sepak bola. Menonton sepak bola sudah menjadi semacam ritual yang terasa lebih sakral jika dilakukan dengan berjamaah. Bar menjadi salah satu pilihan tempat bagi suporter yang tak mampu datang langsung ke stadion. Menyaksikan pertandingan sepak bola melalui layar televisi sembari menikmati makanan-makanan kecil dan tentunya sambil meminum bir.

Di Eropa, sepak bola dan bir rasa-rasanya memang tidak bisa dipisahkan. Orang Jerman misalnya memiliki kisah tersendiri tentang bir yang menemani mereka dalam menyaksikan sepak bola. Wajar saja karena di Jerman harga bir lebih murah jika dibandingkan dengan harga air mineral. Bir sudah menjadi semacam perekat yang mampu mengumpulkan berbagai macam penggemar sepak bola. Apa pun tim favoritnya, mereka bisa seketika mengobrol dan bersahabat sambil meminum bir. Bir menjadi minuman untuk merayakan kemenangan sekaligus pelipur lara kala menderita kekalahan.

Tapi lupakan itu semua, karena itu terjadi di benua Eropa yang ribuan kilometer jaraknya dari negara kita, Indonesia. Di sini tidak ada tradisi minum bir; yang ada hanya ciu! Ya, ciu adalah sebutan untuk minuman keras lokal hasil proses fermentasi dari cairan yang terbuang dalam proses pembuatan tape singkong. Minuman ini banyak diproduksi di daerah Banyumas, namun ada juga yang diproduksi di daerah Bekonang, Sukoharjo. Jika ditelusuri dari sejarahnya, ciu memang sudah akrab dengan masyarakat kita, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar Jawa Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Ciu sendiri sudah diproduksi sejak sekitar abad ke-17 dengan label Batavia Arrack Van Oosten, hingga akhirnya masyarakat Banyumas sanggup membuat racikan tersendiri dengan bahan baku utama ketela pohon. Ciu adalah minuman segala umat, dan menenggak ciu bukan hanya sekedar gaya hidup bagi masyarakat kelas bawah, akan tetapi juga simbol perlawanan terhadap hegemoni asing dengan maraknya produk minuman keras yang berasal dari luar yang beredar di Indonesia.

BACA JUGA:  Semangat Pantang Menyerah dari Memori Piala Tiger 2002

Di kalangan suporter sepak bola lokal sendiri, ciu bukanlah barang asing. Seperti halnya bir di daratan Eropa, ciu di sini juga akrab dengan para penggemar sepak bola lokal. Menenggak ciu sudah menjadi semacam ritual wajib sebelum berangkat menonton pertandingan ke stadion, ataupun ketika hanya sedang kumpul-kumpul saja. Ciu sudah menjadi semacam tradisi sosiokulturar dalam hubungan antarindividu dalam suatu kelompok suporter. Tak hanya itu, ciu juga tak jarang menjadi perekat antarkelompok suporter walaupun masing-masing dari mereka mendukung klub yang berbeda.

Ada yang menyebut bahwa suporter di Indonesia itu bisa rukun hanya jika sedang menenggak ciu bersama-sama, dari gelas atau botol yang sama. Menenggak ciu bersama-sama dapat dikatagorikan sebagai suatu bentuk solidaritas. Fakta membuktikan ketika ada dua kelompok suporter yang berbeda warna klub, duduk bersama sembari menenggak ciu dari gelas atau botol yang sama maka tidak akan terjadi gesekan di antara mereka.

Anda yang aktif dalam sebuah kelompok suporter yang juga senang mengonsumsi alkohol pasti pernah merasakannya. Ketika itu, masing-masing individu saling menghilangkan identitas dirinya maupun identitas kelompoknya. Semua melebur menjadi satu kesatuan, tertib melingkar sambil ngobrol ngalor-ngidul dalam suasana yang damai. Dalam perjamuan antarkelompok suporter, ciu juga menjadi minuman yang wajib dihidangkan. Tatkala suporter klub tuan rumah kedatangan tamu–dalam hal ini suporter klub lawan yang tidak memiliki masalah dengan tuan rumah–maka di situ ciu dihidangkan sebagai minuman selamat datang dari tuan rumah.

Contoh lainnya adalah, jika Anda tinggal di Yogyakarta, Anda akan mendapati berbagai macam kelompok supoter dari seluruh Indonesia, dan mereka dapat hidup berdampingan dengan damai. Pun demikian dengan suporter tuan rumah. Jika ditilik lebih lanjut, itu terjadi karena masing-masing dari mereka saling menjalin komunikasi dan di sela-sela menjalin komunikasi tersebut hadirlah ciu sebagai penghangat suasana. Kabarnya ketika Bonek memutuskan untuk berdamai dengan Pasoepati beberapa tahun lalu, ciu memberikan peranan penting di sana. Ketika itu beberapa jerigen ciu dihidangkan dalam pertemuan antara kedua kelompok suporter tersebut.

BACA JUGA:  Malam Sendu di Tepi Barat Sungai Chao Phraya

Ini membuktikan bahwa ciu memberikan peranan penting dalam perdamaian antara suporter, maka tak heran jika band ska Shaggy Dog menyebutnya sebagai “air perdamaian” dalam lirik lagu mereka yang berjudul Sayidan. Belum ada teori pasti yang mampu menjelaskan mengapa para suporter tersebut dapat berdamai hanya jika sedang menenggak ciu bersama-sama dari gelas atau botol yang sama, padahal ciu juga digadang-gadang sebagai salah satu penyebab kerusuhan antarsuporter.

Ciu menghadirkan suatu bentuk komunikasi yang baru, yang saya yakin seorang dosen Ilmu Komunikasi seperti Fajar Junaedi yang menulis buku Merayakan Sepakbola: Fans, Identitas dan Media atau bahkan pakar komunikasi seperti C. Wright Mills pun belum mampu memecahkannya. Ciu, entah bagaimana, justru mampu membuat para suporter dengan fanatisme tinggi menjadi lebih rasional. Untuk sejenak, mereka bisa melepaskan identitas kelompok dan menciptakan suasana guyub rukun dengan kelompok lainnya. Bentuk komunikasi politik yang dihadirkan oleh segelas ciu mampu mengubah permusuhan menjadi persaudaraan. Tentunya bentuk komunikasi ini hanya akan dipahami oleh mereka yang pernah mengalaminya secara langsung.

Rasa-rasanya, konflik antara Menpora dan PSSI saat ini dapat diselesaikan dengan baik hanya jika mereka sama-sama minum ciu dari gelas yang sama, karena yang mempersatukan bangsa bukanlah sepak bola, tetapi ciu!

 

Komentar