Impian itu hampir menjadi nyata, namun pada akhirnya ia tak pernah terwujud. Raul Gonzales Blanco tentu benar-benar bahagia saat Februari 2008 ia mendapatkan perpanjangan kontrak hingga 2011.
Suatu kontrak yang disebut Presiden Real Madrid saat itu, Ramon Calderon, sebagai kontrak seumur hidup. Bahkan tak hanya itu, sang Presiden kemudian menyanjung sang legenda hidup akan selalu menjadi bagian dari klub. Tapi, tak semua berjalan sesuai rencana.
Musim 2009/2010, episode suram kariernya mulai menghampiri. Kedatangan kembali Florentino Perez, dengan proyek Galacticos-nya menyebabkan Raul menjadi korban. Ia bisa merasakan bahwa ia kian tak diinginkan, seiring dengan performanya yang turun drastis.
Ia bisa merasakan bagaimana pendukung El Real frustasi melihatnya sering membuang peluang. Ia mulai merasakan fisiknya menua dan mungkin tak sanggup lagi untuk menjadi bagian dari proyek megah milik Perez. Ia hanya tampil 13 kali menjadi pemain inti dari total 30 penampilannya, dan hanya menghasilkan 7 gol musim itu.
Kedatangan Jose Mourinho menggantikan Manuel Pellegrini pada awal musim 2010/2011 juga tak mengubah apa pun. Mou membujuknya untuk tetap tinggal dan memberinya peran sebagai pelapis yang bisa dibutuhkan sewaktu-waktu. Akan tetapi, Raul menolak. Ia menginginkan lebih dari itu.
Tentu di dalam hatinya pula ia sadar bahwa pelan-pelan kehebatannya telah termakan usia. Ia sadar, masa-masanya mencetak gol krusial seperti yang dilakukan saat melawan Valencia seperti di final Liga Champions tahun 2000 telah lewat.
Bagaimanapun, ia masih menolak duduk di bangku cadangan. Ia ingin bermain, dan menunjukkan kemampuannya untuk klub yang ia bela.
Pada akhirnya, apa yang terjadi pada legenda Real Madrid terdahulu pula terjadi padanya. Ia meninggalkan Santiago Bernabeu dan memulai kehidupan lainnya bersama Schalke 04. Ia memtuskan untuk mencari kejayaan di tanah lain, yang mungkin jauh dari Madrid.
Bagi Real Madrid sendiri, tentu hal ini merupakan sebuah kehilangan besar. Klub sebesar Real Madrid tentu sadar bahwa usia Raul tentu tak muda lagi. Namun, perkara menggantikan seseorang yang telah memberikan 16 trofi dalam 16 musimnya bagi klub tentu tak mudah.
Namun, hal ini bukan berarti bahwa ia tak mampu digantikan. Pencarian kepada sosok pengganti Raul sebenarnya telah diantisipasi jauh-jauh hari sebelum pada akhirnya Raul memutuskan pindah dari Santiago Bernabeu.
Jika ada persona yang paling pantas, Florentino Perez merasa sosok tersebut adalah Cristiano Ronaldo. Pesepak bola yang dikenal memiliki kegigihan dan semangat serta pesona untuk menjadi seorang pemain terbaik yang pernah ada. Pesepak bola yang akan memberikan segalanya untuk menunjukkan bahwa gelontoran uang Madrid tak sia-sia.
Bertemu dengan Raul tentu merupakan berkah tersendiri baginya. Dari Raul, ia mampu belajar bagaimana arti Hala Madrid bagi dirinya dan bagi para madridistas di seluruh dunia.
Ronaldo tentu secara tak langsung pula mempelajari kemampuan Raul yang sedikit banyak membantunya menjadi penyerang tajam yang berhasil mencetak 323 gol sepanjang kariernya di Real Madrid. Mempelajari kegigihan seorang legenda yang mampu meraih enam trofi La Liga dan tiga trofi Liga Chamipons.
Tentu keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Ronaldo dicitrakan sebagai sosok yang arogan, sementara Raul dikenal sebagai sosok pria kalem. Namun nyatanya hal tersebut bukanlah masalah, karena Ronaldo sendiri sudah disambut bak pahlawan sejak kedatangannya ke Santiago Bernabeu.
Pelan-pelan, Ronaldo kemudian berhasil mendapatkan hati madridistas dengan performa dan pesonanya sebagai seorang pemain terbaik bersama dengan Lionel Messi.
Hal ini pada akhirnya berdampak pada kepercayaan dirinya. Ia dengan percaya diri menukar no. 9 menjadi no. 7 setelah Raul pergi. Ia kemudian menunjukkan betapa mampunya ia menjadi seorang figur yang tak tergantikan.
Kerinduan publik Bernabeu kepada sosok penyerang mematikan mampu terobati dengan Ronaldo yang mampu tampil subur, bahkan mampu melewati segala pencapaian Raul dan menjadi andalan bagi Real Madrid. Singkat kata, Real Madrid kemudian berhasil menggantikan sosok Raul yang tak tergantikan dalam diri Cristiano Ronaldo.
Sementara bagi Raul, kepindahan ini nyatanya mampu membuat ia dikenang sebagai seorang pahlawan. Tiap klub yang ia singgahi, mulai dari Shalke 04, All Sadd, maupun New York Cosmos selalu berhasil mendapatkan trofi.
Sebagai penutup, New York Cosmos yang menjadi akhir perjalanan kariernya berhasil memenangkan trofi North American Soccer League (NASL) sebagai penggenap 22 trofi yang ia raih sepanjang kariernya.
Andaikata ia memilih bertahan, hal-hal manis seperti ini tentu tak mampu ia rasakan. Ia mungkin hanya mampu menjadi pesakitan di bangku cadangan seraya menunggu kapan ia akan diturunkan oleh manajer. Ia mungkin takkan disambut layaknya seorang pemenang, dan akan dikenang sebagai sebuah kisah ironi dari seorang legenda.
Pada akhirnya, bukan Santiago Bernabeu-lah yang menjadi penutup karier bagi seorang Raul Gonzales. Meski demikian, tentu ia takkan mendapatkan puja-puji seperti ini andaikata memutuskan untuk duduk di bangku cadangan Real Madrid.
Perez mungkin memang bersikap kejam, namun keputusannya untuk membiarkan Raul pergi adalah suatu keputusan yang tepat. Karena dengan kepergian Raul, pada akhirnya mampu menjadi suatu akhir yang manis bagi dirinya dan Real Madrid.
Selamat jalan, pemenang!
“Time moves in one direction, memory in another.” – William Gibson