Kisah Roberto Carlos dan Maskot Sepak Bola Bernama Ronaldo

Sebelum EA Sport dengan FIFA dan Konami dengan Pro Evolution Soccer begitu digdaya menguasai jagat rental Playstation (PS) 3 atau 4 di bangsa ini, Winning Eleven bikinan Konami dalam versi Jepang pernah jadi penyakit masyarakat yang mewabah begitu hebat di akhir dekade 1990-an.

Penyakit yang membuat jam belajar masyarakat di zaman Orde Baru ibarat nyala lampu kuning di traffict light.

Di situlah untuk kali pertama saya tahu lebih banyak soal sepak bola. Di situlah untuk kali pertama sebuah game mampu memproyeksikan gambar tiga dimensi ke layar kaca, dan membuat banyak anak-anak begitu terkesima karena takjubnya.

Dan di situlah untuk kali pertama, sedikit demi sedikit permainan sepak bola tidak lagi dimainkan dengan kaki, namun mulai digantikan dengan jempol dan jari telunjuk.

Sebuah game yang datang pada momen yang tepat karena sukses jadi pelampiasan atas menggilanya Piala Dunia 1998 milik seorang Zinedine Zidane. Sebuah game yang kemudian mengenalkan kemampuan spesifik seorang pemain (game sepak bola sebelumnya tidak punya hal semacam itu), dan sebuah game yang kemudian jadi ensiklopedia sepak bola pertama bagi anak-anak era itu.

Cukup banyak informasi sepak bola yang bisa didapat dari sana. Misalnya, sekalipun kalah 0-3 dari Prancis di Final Piala Dunia, itu tidak berarti bahwa Brasil benar-benar jauh lebih buruk dari tuan rumah.

Lho, memangnya dari mana kesimpulan semacam itu muncul?

Mudah saja. Dari dua pemain berkepala plontos yang selalu jadi duet menakutkan dalam formasi 4-4-2.

Duet yang bahkan sempat dilarang oleh beberapa turnamen Playstation generasi pertama karena kehebatannya (baca: kecepatannya) benar-benar khayal dan sama sekali tidak bisa dinalar.

Kehebatan yang sampai-sampai menciptakan konklusi di alam bawah sadar kita, bahwa jika menggunakan dua pemain ini, emak-emak pakai motor matik pun bakalan menang karena itu hampir setara dengan menggunakan cheat.

Anda tidak mungkin lupa, bahwa ada fullback kiri paling fenomenal pada era itu, namun sering dimainkan jadi penyerang dalam game ini. Bahkan jika saya seorang manajer, untuk memberinya tempat, saya dengan sukarela akan menyingkirkan seorang Paolo Maldini dari posisi bek kiri ke bek tengah.

Paling tidak, Garry Lineker punya pendapat yang sama saat ia sedang melakukan pertandingan persahabatan di Jepang, “Saya ingat bocah ini di flank kiri. Dia luar biasa.”

Dan saat Lineker begitu terkesima dan mencari informasi mengenai si bocah, “Mari kita coba mengontraknya,” kata Lineker kepada Gordon Milne, legenda Liverpool. Pada akhirnya Lineker pun harus kecewa, “Ternyata namanya Roberto Carlos dan mereka mengatakan “dia tidak dijual”.”

Ya. Dia, Si Kaki Ajaib Roberto Carlos. Fullback kiri terbaik dunia yang pernah dilahirkan dalam cabang olahraga ini.

Sekalipun berposisi sebagai seorang pemain bertahan, Roberto Carlos punya tiga kemampuan khusus yang membuatnya layak bertransformasi jadi seorang penyerang di Winning Eleven atau mungkin di dunia nyata.

Pertama, kecepatan dan kekuatan lari yang lebih kencang dari seekor babi hutan.

“Ketika saya pertama kali bertemu dengannya,” ujar Paul Ince saat datang pertama kali di kamp latihan Internazionale Milano, “Saya pikir… wow! Pertama, saya tidak percaya kakinya sebegitu besar. Yah, Anda bisa melihatnya sendiri bagaimana permainan serta caranya menendang bola. Dia punya akselerasi yang hebat untuk lini depan maupun belakang.”

Namun kecepatan saja tidak bakalan cukup untuk jadi seorang pencetak gol hebat. Itulah kenapa, kemampuan spesifik nomor dua Roberto Carlos adalah ia juga punya tendangan kaki kiri sekuat posisi Setya Novanto di persidangan Mahkamah Kehormatan Dewan tempo lalu.

BACA JUGA:  Mengejek Transfer Paul Pogba

“Sepertinya, kaki kirinya terbuat dari besi,” ujar Jaap Stam, “Jika salah satu tembakan Carlos mengenai kepala Anda maka jelas itu bisa menyebabkan kerusakan yang sangat fatal!” Yah, barangkali jika beban hidup Anda sudah terasa begitu berat, terapi yang diusulkan Stam ini layak dicoba.

Terakhir, tentu saja daya jelajah yang luar biasa luas. Vicente del Bosque, simbah-simbah yang sudah memopulerkan tiki-taka bersama Spanyol tepat beberapa bulan sebelum Josep Guardiola melakukannya untuk Barcelona ini punya kesan tersebut, “Roberto Carlos sanggup mengatasi seluruh flank kiri seorang diri.”

Area flank kiri di Santiago Bernabeu itu tidak main-main luasnya. Panjang lapangan Bernabeu saja 105 meter dengan lebar 68 meter. Dalam perhitungan saya, luas area flank kiri di kandang Real Madrid, tempat Roberto Carlos dibesarkan namanya ini adalah 105 x 20,75 meter.

Itu jauh lebih luas dari area milik Usain Bolt dalam trek lari 100 meternya, dua kali lebih luas dari area kolam renang milik Michael Phelps, dan tentu saja jauh lebih luas dari kamar kos Isidorus Rio.

Sang Maskot Sepak Bola

Duet Roberto Carlos di depan adalah seorang ikon. Karena hampir setiap cabang olahraga selalu perlu ikon. Semacam maskot.

Bukan tipe yang terbaik sepanjang masa, bukan yang seperti itu—jangankan terbaik sepanjang masa, mungkin saja si ikon hanya jadi yang terbaik pada eranya saja.

Hanya saja ada yang beda. Ini soal citra. Citra yang muncul ketika namanya disebut atau terlintas di pikiran, maka kita mendadak sepakat bahwa nama atlet ini adalah representasi paling dekat dengan olahraga yang dimainkannya.

Semacam Mike Tyson di atas ring tinju.

Baiklah, kita semua paham, Tyson bukanlah satu-satunya yang terbaik di bidangnya. Ia dahsyat, cepat, liar, menghibur, dan buas. Tapi sebagai petinju, Tyson punya kelemahan krusial. Kelemahan yang kemudian tidak membuatnya jadi yang terbaik di bidangnya. Dan kelemahan itu adalah waktu.

Kelemahan yang tidak dimiliki atlet terbesar di cabang olahraga yang sama dengan Tyson, yaitu almarhum Muhammad Ali. Atlet terbesar olahraga ini.

Inilah citra yang sama akan sosok Ronaldo Luis Nazario De Lima.

Pemain yang—bagi saya—sama hebatnya dengan Diego Maradona. Sayang, sekagum-kagumnya Anda kepadanya, Pele tiga kali jauh lebih baik. Dan seperti Tyson, Ronaldo adalah atlet yang dahsyat, cepat, liar, menghibur, dan buas pada eranya. Lebih khusus lagi, saat eranya di Barcelona.

Luis Enrique, saat masih bermain di klub yang sama dengan klub yang dilatihnya saat ini punya pengalaman tak terlupakan. “Sekarang kita terbiasa melihat (Lionel) Messi menggiring bola melewati enam pemain, tapi tidak saat itu,” ujarnya saat jadi saksi Ronaldo seorang diri memorak-porandakan pertahanan klub-klub di La Liga.

Kehadiran Ronaldo dari PSV adalah sebuah transfer yang menjanjikan. Seorang remaja Brasil dengan gaya tipikal. “Menari samba di ruang ganti, dan membuat musik dengan tong sampah… saya menyukai atmosfer itu, kebersamaan orang Brasil,” kata Enrique.

Cepat, kuat, muda, dan begitu ikonik dengan kepala plontos serta gigi kelincinya.

Inilah reinkarnasi sosok Romario yang sepadan untuk Barcelona. Sayang, Enrique harus sedikit kecewa, karena orang yang harusnya ia layani dengan umpan-umpannya, ternyata sama sekali bukan tipe pemain yang membutuhkan pelayanan khusus dari para gelandang.

Ronaldo kadang lepas kendali. Darah mudanya saat itu, membuatnya mengeluarkan kebiasaan liarnya di Belanda atau Brasil. Menggiring bola dari tengah lapangan. Tidak memerhatikan rekan satu timnya. Namun, itu tidak pernah jadi masalah karena hampir setiap upayanya kala itu menghasilkan sesuatu.

BACA JUGA:  Seandainya Saya adalah Paul Pogba

“Anda dapat pergi ke mana pun yang Anda mau di dunia dan Anda tidak akan pernah menemukan pemain yang bisa mencetak gol seperti itu,” ujar Sir Bobby Robson.

Robson bangkit dari bench di kandang Campostela sambil memegangi kepalanya meski tidak sakit kepala, mengangkat tangannya bukan karena berdoa, dan melongo sambil melihat reaksi penonton karena melihat seperti ada Jibril di kedua kaki penyerangnya.

Dua tahun sebelum Piala Dunia diselenggarakan di Prancis adalah musim pertama Robson memainkan seorang Ronaldo. “Seperti sudah saya katakan, dia adalah fenomena,” ujar Robson.

Dan di musim itu juga Ronaldo berkali-kali menampilkan aksi yang jauh lebih mengerikan daripada apa yang bisa ditampilkan seorang Lionel Messi di musim pertamanya.

“Saya suka mencetak gol setelah melewati semua bek dan kiper. Itu bukan keahlian saya, hanya kebiasaan,” ujar Ronaldo sambil tersenyum memperlihatkan dua gigi kelincinya.

Reaksi yang jauh lebih emosional daripada respons Frank Rijkaard yang hanya tersenyum serta bertepuk tangan saat Messi melahirkan kembali gol “tarian balet” Maradona dari tengah lapangan.

Kecepatan Ronaldo saat itu tidak sama dengan kecepatan seorang Gareth Bale atau “The Hobbit” Theo Walcott. Ini bukan soal perbandingan kecepatan antara mereka, namun ada semacam kegembiraan yang menular dalam setiap sentuhan Ronaldo dengan bola.

Ada senyuman yang muncul saat Ronaldo mencetak gol dan melakukan selebrasi dengan gaya “pesawat terbang”-nya Vincenzo Montella atau mempertontonkan jari telunjuk yang bikin salam lima jari ala Alan Shearer jadi terkesan biasa saja.

Ronaldo mengenalkan sepak bola sebagai permainan yang menyenangkan. Mencetak gol sebagai sebuah seks yang memuaskan. Serta memberi banyak hal untuk dikenang saat ia mengalahkan banyak pemain-pemain bertahan kelas dunia.

Bahkan saat ia harus mengajari Alesandro Nesta bermain bola. “Kami kalah 0-3, tapi saya tidak berpikir bahwa itu adalah kesalahan saya. Ronaldo tidak bisa dibendung. Dia begitu cepat sampai membuat orang lain seolah-olah terlihat diam saja.”

Dan di malam itulah, Ronaldo untuk pertama dan terakhir meraih gelar supremasi tertinggi di tingkat Eropa.

Gairah dan senyumannya yang khas begitu mudah menularkan kegembiraan. Merasuk ke penonton, memengaruhi pemirsa, dan tentu saja menginspirasi banyak orang—termasuk Zlatan Ibrahimovich saat memasang foto Ronaldo di kamarnya kala masih kanak-kanak.

Itulah yang membuat “Sang Megalomaniak” pada Derby della Madonnina 2007 tak pernah berhenti menatap Ronaldo. Entah habis membuat perjanjian apa dia dengan iblis, sosok yang ada di kamarnya setiap malam, kini muncul di hadapannya. Bukan sebagai rekan, tapi sebagai lawan.

Kembali ke Serie A setelah melalang buana bersama Los Galacticos,  Ronaldo mengenakan seragam rival di sisa-sisa kehebatannya. Kehebatan yang tidak luntur di mata seorang Zlatan. “Karena dia adalah idola saya,” ujar Zlatan berbinar. Binar yang mungkin sama seperti saat Alief Maulana bisa bertemu langsung dengan Nabilah JKT 48.

Dan itulah yang membuat setiap anak di generasinya selalu merasa jadi seorang “Ronaldo” ketika bermain bola di pematang sawah, gang desa, jalanan kompleks, lapangan upacara, atau halaman Masjid.

Tentu dengan imajinasi khas, bahwa akan ada komentator yang berteriak kala gol tercipta.

Sebuah teriakan ikonik yang menggetarkan: “Rrrrrrrooooooonaaaaaallldoooo…”

 

Komentar
Lahir di Jogja tapi besar dan belajar cinta sepak bola dari Pelita Solo dan Persijatim Solo FC. Tukang modifikasi dan renovasi kalimat di Indie Book Corner (IBC). Masih bermimpi jadi atlet kayang pertama yang berlaga di UFC World Champion. Biasa nggambleh di @dafidab