Filosofi Louis Van Gaal Hasilkan Satu Tiket ke Europa League

Berabad-abad lalu, Karl Marx, konon mengeluarkan fatwa bahwa sejatinya filsuf adalah omong kosong. Filsuf hanya menafsirkan dunia dalam berbagai cara tanpa berpikir bagaimana mengubahnya. Menafsirkan dunia dari A sampai Z namun alpa terhadap kesenjangan kelas antara proletar-borjuis yang menjadi cikal bakal pemikiran Marx di kemudian hari.

Sekian waktu kemudian, muncul pria Belanda dengan prestasi membawa timnas Belanda duduk di peringkat tiga Piala Dunia 2014 dan datang ke Manchester United dengan arogansi khas Negeri Kincir Angin.

Kenapa arogan? Karena pria Belanda ini rela menggusur mantan kiper legendaris Barcelona yang plontos itu dari tim utama karena masalah sepele. Pria Belanda ini pula yang memilih membuang Angel Di Maria karena afeksi berlebihnya terhadap sang raja selam, Ashley Young.

Pria Belanda ini juga gemar memainkan pemain bergaji 300 ribu poundsterling per pekan namun perlahan sang pemain mulai lupa cara menendang bola tepat ke arah gawang.

Pria bernama Louis Van Gaal ini pula yang kemudian membuktikan kritik Marx tentang para filsuf. Van Gaal hanya menafsirkan cara bermain Manchester United di lapangan, tanpa bermaksud (atau tanpa tahu) cara mengubahnya.

Van Gaal menafsirkan dan membentuk United menjadi tim yang gemar memainkan bola dan menguasai lapangan, tanpa bermaksud mencetak gol. Oh, saya lupa, kan yang penting tak kebobolan ya?

Jadi, hasil 0-0 pun sudah bahagia. Cleansheet dan pertahanan tangguh menjadi kunci utama Van Gaal musim ini. Van Gaal menerapkan diktum baru, cleansheet, apa pun hasil akhirnya, tetap setara tiga poin. Walau berakhir 0-0 pun, tetap bernilai tiga poin bagi beliau. Haibat betul Meneer satu ini. Segan saya.

Andaikata Van Gaal menerbitkan buku filsafat untuk menandingi Das Capital milik Marx atau Dunia Sophie milik Jostein Gaarder, saya yakin Louis Van Gaal akan mendapat tempat utama di jajaran elit filsuf dunia bersama Plato dan Socrates.

**

Jadi, apa yang salah dari United? Jangankan saya, para fans United tentu pasti paham apa yang salah, bukan?

Untuk tim sekelas Manchester United yang bergelimang gelar dan sejarah panjang sebagai tim hebat, bermain pragmatis dan membosankan ibarat melemparkan tahi ayam ke muka Sir Alex Ferguson. Sir Alex adalah pelatih yang membawa rombongan pemain sekelas Anderson, Nani hingga Antonio Valencia dan Ashley Young yang medioker tersebut membantai Arsenal 8-2.

Sir Alex pula yang pernah meluluhlantakkan AS Roma dengan angka fantastis 7-1. DNA pragmatis di Manchester United tidak pernah ada. United tentu bukan Chelsea atau FC Internazionale era Roberto Mancini musim ini.

Dari George Best hingga Cristiano Ronaldo, pernahkah United bermain membosankan seperti laiknya beberapa hasil 0-0 yang diraih Setan Merah selama musim ini?

Samar-samar ada ungkapan, “Ini zaman Van Gaal bukan Sir Alex,” tentu itu benar. Tapi Anda tidak melatih Manchester United untuk mengubah cara mainnya menjadi seperti Stoke City atau Sunderland, bukan?

Ini Manchester United, bukan tim papan bawah yang bersaing terhindar dari zona degradasi tiap musimnya. Karena sejatinya, Anda tidak membeli Lamborghini Aventador hanya untuk mengendarainya seperti Toyota Avanza.

**

Kekalahan dari Wolfsburg tentu menyadarkan bahwa ada yang salah dari United. Sejak era pria Skotlandia pengganti Sir Alex Ferguson yang tidak boleh disebutkan namanya itu, United hampir tak pernah kembali ke performa sejati mereka sebagai tim besar. United begitu membosankan.

Dan siapa lagi yang harus dituding sebagai biang keladi kalau tidak pelatih? Katanya, kalau prestasi tak mengkilap dan tidak kunjung meraih prestasi, adalah wajar menyalahkan bahkan memecat pelatih, kan?

Lalu, kenapa Van Gaal masih duduk manis di bangku pemain dengan papan kesayangannya dan catatan-catatan filsafatnya yang mungkin lebih mirip coret-coret tangan Spongebob?

Sampai kapan suporter Manchester United yang terbiasa merayakan gelar juara tiap tahunnya harus disuguhi hasil 0-0 tiap pekannya dan cerita kegagalan di pekan berikutnya? Ini Manchester United ya, bukan nilai ujian Nobita. Jadi, skor 0-0 tentunya menggelikan betul.

Cikal bakal membosankannya Van Gaal sejatinya sudah ada sejak masa di Barcelona. Keputusannya untuk condong memainkan Edmilson atau Presas Oleguer di gelandang tengah ketimbang menurunkan Juan Roman Riquelme adalah bukti sahihnya.

Riquelme, yang disebut Jorge Valdano sebagai pemain yang bisa membawa hiburan dan pemandangan menarik bagi penonton sepak bola justru dicadangkan untuk memainkan gelandang bernyali bek seperti Edmilson atau Oleguer. Tidak hanya dicadangkan, Riquelme pun akhirnya dibuang ke Villareal dan justru bersinar bersama Diego Forlan di sana.

Jadi, seharusnya saya dan Anda tak perlu heran kenapa kemudian Angel Di Maria harus angkat kaki karena kalah bersaing dengan Ashley Young. Masih yakin Di Maria gagal adaptasi di Inggris? Apa memang iya Di Maria gagal adaptasi atau Van Gaal yang tak tahu cara memainkan Di Maria? Dan mengedepankan Memphis Depay sebagai rekrutan pengganti Di Maria?

**

Masuknya United ke Europa League sebenarnya tak perlu terlalu dirisaukan, lagipula, dengan kualitas main seperti itu, apa iya mau berharap sensasi seperti ajaibnya Chelsea era Roberto Di Matteo 2012 lalu? Bukankah berharap kepada keajaiban adalah senjata pamungkas para tim-tim medioker?

Untuk tim setenar dan sepopuler Manchester United, berharap pada keajaiban hanya ibarat menjadikan United setara Sunderland dan kawan-kawannya di papan bawah. Lagipula United tidak sendirian, mereka ditemani Tottenham Hotspur dan Liverpool di liga malam Jumat itu, tentu bakal meriah sekali Europa League nantinya.

Anggap saja ini derma sosial tim-tim dari (katanya) liga terbaik dunia untuk para suporter bola di seluruh dunia. Daripada menyaksikan tim sekelas Qarabag di Europa League, masih mending menonton Manchester United atau Arsenal di kompetisi yang sama, bukan?

Glory Glory Europa League!

 

Komentar

This website uses cookies.