Chauvinisme Sepak Bola

Sedikit mempelesetkan kalimat Billy Beane dalam penggalan dialog di film Moneyball, penulis memunculkan kalimat ini, “How can’t we not so romantic about football?”

Sepak bola dalam kungkungan zaman yang sedemikian maju, kian menambah kemegahan dan eksistensinya dalam linimasa kehidupan manusia, khususnya tentu saja, bagi kita para manusia fana yang menganggap sepak bola setara agama, bahkan mungkin, sepak bola adalah Tuhan itu sendiri. Masihkah perlu dijelaskan bagaimana publik Argentina bahkan mendirikan gereja atas nama Diego Armando Maradona? Silakan baca buku Sepak bola Seribu Tafsir karya Eddward S. Kennedy.

Sepak bola mampu mengubah hidup manusia. Tentu saja. Banyak kisah inspiratif yang lahir, biasanya dari pesepak bola Amerika Latin atau Afrika yang awal mula fase hidupnya lekat dan akrab dengan kemiskinan lalu menjadi kaya raya seiring karir yang kian moncer. Tentu saja, ini dalam konteks sepak bola secara umum, khususnya yang terjadi di luar negeri sana, bukan nasional.

Tapi, pernahkah kita kemudian merenung sejenak dan menyadari bahwa dewasa ini sepak bola mulai menyentuh taraf di luar logika? Bahwa sepak bola menjadi justifikasi bagi klub-klub untuk membentuk beberapa komunitas atau mengubah seseorang menjadi sangat fanatik. Membuat orang menjadi membenarkan apa saja yang terkait dengan klub tertentu yang mereka cintai dan mereka dukung sepenuh hati. Penulis suatu ketika pernah membaca bio media sosial salah satu teman yang bahkan dengan percaya diri menproklamirkan bahwa dia tidak bisa hidup tanpa klub tertentu yang dia dukung, dibanding harus hidup tanpa sepak bola.

Tentu saja ini mengherankan, karena kemudian panggung terbesar dan mewah yang bisa membuat klub-klub sepak bola menjadi tenar dan memiliki basis suporter yang besar adalah sepak bola itu sendiri. Sejarah panjang Real Madrid dan Barcelona sebagai dua ikon simbol sepak bola Spanyol bahkan dunia memang tidak diragukan lagi, tapi apabila nanti sepak bola punah dari muka bumi –walau penulis sangat yakin itu bakal tidak mungkin sekali–, masihkah anda akan memahami dan mencintai Real Madrid dan Barcelona lewat klub basketnya yang prestasinya cukup apik di Eropa?

BACA JUGA:  Sepak Bola di antara Bisnis dan Gairah

Kecintaan mendalam yang cenderung buta terhadap satu klub tertentu akan membuat fans lupa bahwa lewat sepak bola-lah yang membuat mereka hidup. Karena teorema yang paling beken adalah Thanks God for football, beer and woman, bukan klub bola yang kita syukuri kepada Tuhan, tapi sepak bola itu sendiri sebagai sebuah permainan olahraga yang paling mahsyur.

Nick Hornby, seorang fans berat Arsenal, dalam salah satu otobiografinya menulis kalimat yang syahdu sekali, dan menggambarkan kecintaan beliau kepada sepak bola, “I fell in love with football as I was later to fall in love with women, suddenly, inexplicably, uncritically, giving no thought to the pain or disruption it would bring with it.”

Ada Ultras, Hooligan, yang kemudian menempatkan klub sepak bola tertentu sebagai bagian dalam darah mereka yang harus diperjuangkan sampai mati, sampai titik penghabisan. Di Indonesia kita mengenal barisan pendukung dengan fanatisme luar biasa yang sedemkian membuncah, Bonek, Aremania, Pasoepati, The Jakmania hingga Bobotoh, tapi kemudian saya berpikir sebentar, sebenarnya, layak atau tidak kita menempatkan kecintaan terhadap klub jauh di atas sepak bola itu sendiri?

Hornby pun sedemikian syahdunya menggambarkan dalam bukunya bagaimana kita sudah selayaknya mencintai sepak bola itu sendiri, di atas segalanya, di atas kecintaan semu terhadap klub sepak bola. Karena ketika nalar kita mati terhadap segala logika tentang sepak bola, apa bedanya kita kemudian dengan Adolf Hitler yang dengan chauvinisme berlebihnya tentang keunggulan dan kemurnian ras Arya yang mendorong kepada pembantaian terkenal dalam bentuk Holocaust dan sejarah Perang Dunia yang membawa banyak luka dan kematian bagi dunia?

Ingatan saya sedikit terbang ke pagelaran Piala Asia 2007 ketika Irak secara luar biasa mampu menjadi jawara dengan persiapan minim dan lingkup domestik negaranya yang penuh kecamuk perang dan teror bom sebagai dampak dari invasi Amerika Serikat sejak Maret 2003. Saya masih ingat betul bagaimana Younis Mahmoud, sang striker sekaligus kapten Irak berterima kasih kepada sepak bola untuk momen yang luar biasa yang sejenak meredakan kedukaan dan keprihatinan mereka terhadap konflik berkepanjangan di dalam negeri.

BACA JUGA:  Jejak Kolonial dalam Logo Klub Lokal

Younis Mahmoud, Nashat Akram, dan kawan-kawan mereka menunjukkan bahwa kemenangan sejati dalam sepak bola adalah ketika sepak bola mampu memberi kebahagiaan dan kebanggaan tiada tara. Sepak bola memenangkan mereka, saat di sisi lain mereka harus dipaksa untuk “kalah” dalam hidup.

Maka, temanku, nikmat sepak bola mana lagikah yang kamu dustakan?

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.