Format Ideal Kompetisi Usia Dini Agar Tak Sekadar Basa-Basi

Kompetisi usia dini adalah pilar penting dalam pembinaan pemain sepak bola. Menyadari ini, berbagai pihak ikut berperan sebagai penyelenggara. Kompetisi pun selalu disambut antusias oleh para pelatih, orang tua dan tentunya pemain.

Namun demikian, pada umumnya penyelenggara belum memanfaatkan kompetisi usia dini untuk pembinaan secara maksimal. Format kompetisi dan peraturan pertandingannya kadang sekadar copy paste dari kompetisi lain. Kompetisi usia dini menjadi sekadar basa-basi atau daripada tidak ada sama sekali.

Agar kompetisi usia dini berdampak nyata pada pembinaan, satu hal yang mungkin dilakukan adalah dengan merancang peraturan pertandingan khusus. Penyelenggara kompetisi bisa mengeksplorasi bagian ini agar sejalan dengan semangat pembinaan.

Inilah yang coba kami jajal pada kompetisi Kelompok Umur (KU) 11 bernama After School League (ASL). ASL telah bergulir dua musim. Pada musim pertama (Desember 2012) ASL diikuti oleh empat tim. Musim berikutnya (April-Mei 2013), jumlah partisipan meningkat menjadi enam tim. Seluruh pertandingan diadakan di lapangan kampus STTA Lanud Adisutjipto Yogyakarta.

Sebelum membahas peraturan pertandingan khusus, hal pertama yang perlu kami sampaikan adalah mengenai format kompetisi. ASL menggunakan format liga penuh di mana setiap tim saling bertemu dua kali.

Format liga kami nilai ideal bagi pembinaan usia dini karena setiap pemain mendapatkan jumlah kesempatan bermain yang memadai. Dengan empat tim peserta saja seorang pemain bisa tampil dalam enam pertandingan dan ia bisa bermain sepuluh kali dalam liga yang diikuti oleh enam tim.

Selain itu rentang waktu kompetisi cukup panjang. Bandingkan dengan turnamen yang digelar paling lama tiga hari. Jika seorang pemain di hari tersebut sakit atau harus mengikuti acara keluarga, maka habis sudah kesempatannya.

Lalu apa peraturan pertandingan khusus yang kami terapkan agar kompetisi usia dini berdampak nyata pada pembinaan?

Pertama, tidak ada penghuni bangku cadangan. Kami menetapkan aturan yang mengharuskan pelatih untuk memainkan seluruh pemainnya dalam satu pertandingan. Sebuah tim akan mendapatkan pengurangan nilai sejumlah pemain yang tidak dimainkan.

Dengan aturan ini, mau tidak mau pelatih memberi kesempatan bermain kepada seluruh pemainnya. Di sinilah arti pembinaan. Tim yang mengejar kemenangan dengan hanya memainkan pemain “bintang” justru terancam pengurangan nilai.

Bagaimana mungkin anak-anak bergembira sementara mereka hanya menonton dari bangku cadangan, meskipun timnya menang?

Peraturan khusus kedua adalah sistem penghitungan nilai. Kami tidak menggunakan cara konvensional 3, 1 dan 0 untuk menang, seri, dan kalah akan tetapi berdasarkan jumlah gol yang dicetak. Misal pertandingan antara Tim Merah melawan Tim Biru berakhir dengan skor 4-2, maka Tim Merah mendapat nilai 4 sementara Tim Biru membawa pulang 2 poin.

Sistem penilaian semacam itu membuat menang-kalah bukan isu yang paling penting. Setiap tim bisa meraih nilai tanpa peduli menang atau kalah. Aturan ini bukan untuk meniadakan kemenangan, hanya fokusnya yang digeser.

Aturan seperti ini memang jarang diterapkan pada kompetisi umumnya. Bahkan sempat ada pelatih yang tidak setuju. Namun bagi kami sistem ini lebih sesuai bagi pemain usia dini karena pemain fokus untuk mencetak gol, bukan pada menang atau kalah.

Dengan perlombaan mencetak gol, tidak akan ada tim yang “bermain aman” setelah unggul. Saya pribadi sangat kecewa dengan pelatih usia dini yang menginstruksikan pemainnya untuk bertahan setelah unggul 1 gol. Ditambah lagi menyuruh pemainnya membuang-buang bola saat sudah unggul.

Peraturan khusus terakhir adalah penyelenggara tidak menyediakan hadiah uang. Biaya penyelenggaraan kompetisi berasal dari iuran peserta. Kami tidak ingin membebani peserta dengan biaya pendaftaran yang tinggi untuk hadiah uang.

Tidak dipungkiri, dengan adanya hadiah uang, kadang pelatih mendapat tekanan untuk mencapai target tertentu. Lalu berlaku sebuah formula: untuk menjadi juara harus menang, untuk menang harus memainkan pemain terbaik, untuk mendapat pemain terbaik harus melakukan seleksi. Ini menjadi tidak sejalan dengan filosofi grassroots football di mana diharapkan partisipasi sebanyak mungkin anak tanpa membatasi kemampuan yang dimilikinya.

Peraturan pertandingan khusus dalam ASL membuat semua pemain mendapatkan kesempatan menunjukkan aksinya, setiap tim berlomba-lomba mencetak gol dan para pelatih memiliki kesempatan yang memadai dalam membina pemain-pemainnya.

Sayangnya eksperimen kami harus berhenti sementara. Sampai saat ini ASL belum bisa bergulir lagi. Kami sudah mencoba mengajak tim lain, namun kemudian muncul pertanyaan “Hadiahnya berapa?” Terus terang kami sulit menjawab ini. Sementara itu sekolah sepak bola yang berpartisipasi dalam ASL sebelumnya, tiga di antaranya sudah bubar, sedangkan yang lainnya tidak merespon saat kami kontak.

Apa yang terjadi di ASL seperti menjadi gambaran umum pembinaan pemain muda di Indonesia. Uang pembinaan kerap menjadi isu utama, lalu mengenai esensi pembinaan itu sendiri. Pembinaan pemain muda di Indonesia masih jauh dari kata ideal.

 

Komentar

This website uses cookies.