Menjadi Pelatih Sepak Bola Usia Dini

Figur itu bernama coach

Pak, Mas, atau Kak. Itulah sapaan anak-anak kepada figur pelatih pada masa awal kami memulai mendirikan sekolah sepak bola (SSB). Anak-anak yang ikut berlatih memang rata-rata baru berkenalan dengan sekolah sepak bola. Mereka pun memanggil figur orang yang lebih tua itu sesuai kebiasaan di rumah atau sekolah. Bahkan ada salah satu anak yang memanggil pelatih dengan sebutan “Mister”. Sepertinya ia terbawa kebiasaan di sekolah bilingual-nya.

Pelan-pelan kami mengajak anak-anak untuk memanggil pelatih dengan sebutan “Coach”. Alasannya adalah supaya terdengar keren. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, karena tidak semua anak mengucapkan bahasa asing itu dengan benar. Ada yang terdengar memanggil seperti “couch” (memangnya tukang sofa?) atau seperti judul lagu India “Kuch” (Kuch Kuch Hota Hai).

Lalu mengapa anak-anak tetap diajarkan menggunakan kata “Coach” untuk pelatihnya? Alasan paling sederhana adalah agar kompak. Agar seluruh anggota tim menggunakan bahasa yang sama. Sebagaimana dipercaya, dalam olahraga tim, dibutuhkan kekompakan untuk berhasil.

Soal bahasa, kami ingin membiasakan anak-anak pada istilah sepak bola. Bagaimanapun juga saat ini istilah-istilah teknis dalam sepak bola menggunakan bahasa Inggris. Kick off, offside, free kick, hands ball, adalah beberapa di antaranya.

Namun alasan dasarnya adalah karena kata sapaan “Coach” hanya digunakan di lingkungan khusus, dalam hal ini organisasi olahraga. Individu yang sebelumnya berperan (role) sebagai seorang anak laki-laki, begitu memasuki lapangan latihan, ia segera berubah peran menjadi seorang pemain. Coach menjadi figur yang memiliki otoritas yang unik terhadap mereka, tidak sama dengan guru atau orang tua.

Waktu pun berlalu dan kini tidak ada lagi anak yang memanggil pelatihnya dengan sebutan Pak, Mas atau Kak. Lucunya, anak-anak juga memanggil saya dan staf non-pelatih lainnya dengan sapaan “Coach”. Padahal kami bukan pelatih.

Apa peran pelatih bagi anak-anak?

Saat anak-anak (dalam istilah teknis, 6-12 tahun disebut usia dini) mulai bermain sepak bola apakah ia memerlukan seorang pelatih? Tidak juga. Anak-anak bisa saja bermain sepak bola tanpa bimbingan pelatih. Toh sering kita lihat di tanah lapang, anak-anak bisa menunjukkan teknik-teknik bermain sepak bola tanpa diajari.

Nyatanya anak-anak memang peniru yang hebat. Mereka meniru gerakan teknik bermain sepak bola dari pemain idolanya. Cukup menonton pertandingan sepak bola di televisi, mereka pun langsung beraksi. Sampai di sini figur seorang pelatih tidak begitu penting.

Titik krusialnya adalah ketika anak-anak mulai berkompetisi. Mengapa? Karena mereka belum bisa melakukan assesement pada kemampuannya sendiri. Anak-anak sangat bergantung pada pandangan orang dewasa dalam membentuk persepsi atas dirinya. Persepsi diri inilah yang akan mendorong anak-anak untuk mengambil keputusan: meningkatkan kemampuannya, cukup puas dengan kemampuannya atau bahkan berhenti bermain sepak bola.

Secara pragmatis, peran pelatih dibutuhkan dalam mengelola tim. Penyelenggara kompetisi sepak bola anak-anak pasti mensyaratkan adanya seorang pelatih yang mendampingi tim. Anak-anak tidak bisa mendaftarkan diri mereka sendiri tanpa orang dewasa, dalam hal ini pelatih. Jika anak-anak tidak berkompetisi jelas kemampuannya tidak akan teruji.

Pelatih, pada sekolah sepak bola, adalah tiket masuk bagi anak-anak untuk mengikuti kompetisi. Sebuah kompetisi sepak bola tidak akan menerima segerombolan anak yang membentuk tim tanpa adanya pelatih.

Selain melakukan penilaian dan pendampingan seperti telah disampaikan sebelumnya, pada dasarnya peran seorang pelatih sepak bola usia dini adalah sebagai motivator. Cara pelatih mengajarkan skill, meneguhkan perilaku atau memperbaiki kesalahan berpengaruh pada kepercayaan diri dan motivasi anak-anak. Dengan kepercayaan diri yang meningkat, niscaya anak-anak terdorong untuk mengembangkan kemampuan terbaiknya.

BACA JUGA:  Membela Pragmatisme Jose Mourinho

Prinsip good coaching pada anak-anak.

Untuk menjadi seorang pelatih sepak bola, anda pasti telah mereka-reka bagaimana kriteria pelatih yang baik itu. Menentukan kriteria pelatih yang baik mungkin bisa sangat subjektif. Namun kita bisa memulainya terlebih dahulu dengan mengetahui prinsip good coaching. Bagaimana prinsip pelatihan yang baik bagi anak-anak?

Prinsip pertama adalah memberi pujian. Pelatih usia dini sebaiknya gemar memberikan pujian saat anak didiknya berusaha mempelajari atau menyempurnakan teknik baru. Pujian tersebut hendaknya diberikan secara jujur.

Soal pujian ini, sejauh pengamatan saya, masih sangat kurang diberikan kepada anak-anak. Pelatih usia dini cenderung masih pelit dalam memberikan pujian. Padahal efek pujian kepada anak-anak sangat luar biasa.

Prinsip berikutnya yaitu memberikan harapan yang realistis. Agar bisa memberi harapan yang realistis, pelatih terlebih dahulu harus mampu menilai kemampuan pemainnya. Ucapan pelatih,“Kamu bisa main setidaknya di Divisi Utama” lebih realistis dibandingkan dengan memberi harapan seperti “Dengan kerja keras kalian pasti bisa masuk Timnas.”

Menghargai usaha pemain, bukan semata-mata hasilnya merupakan prinsip good coahing selanjutnya. Pada sekolah sepak bola, kemampuan tiap anak berbeda-beda, bahkan perbedaanya bisa sangat jauh. Pemain yang kurang berbakat pasti tidak akan bisa mencapai hasil yang bisa dicapai pemain berbakat meskipun dengan usaha yang lebih keras. Lain persoalan jika yang kita bicarakan adalah pemain akademi yang sudah terseleksi.

Prinsip lain yang tidak kalah penting adalah mengajari pemain untuk menang dengan usaha maksimal. Kemenangan adalah salah satu tujuan bermain sepak bola. Saya kurang setuju dengan pendapat yang mengatakan tidak perlu mencari kemenangan yang penting pengalaman. Kemenangan adalah bahasa yang menyatukan pemain, pelatih dan orang tua untuk mengeluarkan usaha terbaiknya. Bukankah itu nilai positif dari olahraga?

Kompetensi dan tantangan pelatih usia dini.

Bagaimana menilai kompetensi seorang pelatih usia dini? Apakah karena namanya yang sudah terkenal, mantan pemain misalnya? Apakah karena tim yang dilatihnya sering menjadi juara?

Kompetensi seorang pelatih usia dini dapat dilihat setidaknya dari tiga hal.

Pertama, pelatih yang baik mampu mengajarkan skill, peraturan permainan dan taktik kepada anak didiknya. Tidak heran, biasanya pelatih usia dini adalah mantan pemain terlepas dari level kompetisi yang pernah diikutinya. Jarang ditemui pelatih usia dini yang tidak memiliki latar belakang sebagai pemain.

Soal skill ini biasanya menjadi halangan bagi mereka yang tertarik menjadi pelatih tetapi terlanjur tidak memiliki pengalaman menjadi pemain di CV-nya. Kursus kepelatihan juga mensyaratkan pengalaman sebagai pemain dengan alasan agar bisa mengajarkan teknik menendang bola. Padahal mengajarkan teknik bermain sepak bola hanya sebagian kecil dari kompetensi yang harus dimiliki pelatih.

Kompetensi berikutnya yang harus dimiliki seorang pelatih usia dini adalah kemampuan mengorganisasi. Secara teknis pelatih harus bisa mengorganisasi latihan dengan baik. Dalam hal ini kompetensi seorang pelatih dapat terlihat, salah satunya, dalam membuat program latihan.

Seorang pelatih seharusnya memiliki program latihan, baik mingguan, bulanan atau bahkan mungkin tahunan. Untuk menguji ini, cukup dengan dua pertanyaan saja: Apakah pelatih tahu apa yang akan ia latihkan kepada anak didiknya? Apakah pelatih sudah mempersiapkan materi latihan secara tertulis?

Program latihan hanyalah pekerjaan yang tampak. Di balik itu, pelatih harus mengetahui berapa jumlah pemainnya, berapa peralatan yang dimiliki, bagaimana kondisi lapangan tempat berlatih dan faktor-faktor lain yang berpengaruh pada penyusunan program latihan.

Terakhir adalah sebuah kompetensi yang memungkinkan pelatih bisa menjalankan fungsinya, yaitu kepemimpinan. Tanpa modal kemampuan leadership yang baik, seorang pelatih akan kesulitan mengajarkan skill dan mengorganisasi latihan. Apalagi jika kita bicara latihan sepak bola usia dini di mana rentang konsentrasi anak-anak sangat terbatas dan suka “semaunya sendiri”.

BACA JUGA:  Kenikmatan Berolahraga dan Perbedaan Gaya Kepelatihan

Program latihan yang sudah disusun bisa seketika berantakan saat tiba-tiba ada layang-layang putus di lapangan dan pelatih tidak bisa mengendalikan situasi.

Selain dituntut menguasai ketiga kompetensi dasar di atas, seorang pelatih usia dini juga dihadapkan pada tantangan ekstra. Pelatih usia dini tidak hanya harus memiliki pengetahuan yang memadai, akan tetapi juga memegang etika yang baik. Hal ini mungkin sedikit berbeda dengan pelatih pemain dewasa yang sudah dianggap memahami etika dan tanggung jawab masing-masing.

Pelatih usia dini adalah figur yang menjadi panutan bagi anak-anak dan dianggap bertanggung jawab atas tindakan pemainnya. Jika di lapangan ada seorang pemain yang menunjukkan sikap kurang terpuji maka yang akan menjadi sorotan adalah pelatihnya. Maka dalam hal ini peran pelatih sebagai panutan tidak bisa dipisahkan.

Tantangan yang lebih berat adalah seorang pelatih usia dini harus bisa memahami psikologi anak-anak; bagaimana anak tumbuh dan berkembang, bagaimana menumbuhkan kepercayaan dirinya, metode apa yang paling baik untuk mengajarkan teknik baru.

Menjadi seorang pelatih usia dini terdengar seperti pekerjaan yang berat bukan? Namun rasanya sepadan jika anda bisa melihat anak didik anda berhasil menjadi pemain top level.

Kualifikasi pelatih di Indonesia.

Bagaimana kualifikasi pelatih di Indonesia? Kuaifikasi pelatih sepak bola bisa dilihat dari lisensi yang dimilikinya.

Lisensi pelatih sepak bola di Indonesia diatur dalam peraturan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) nomor 04 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan, Penjenjangan dan Pembinaan Pelatih Sepakbola Nasional. Jenjang pelatih sepak bola di Indonesia dimulai dari lisensi D, lisensi C Nasional, lisensi C AFC, lisensi B Nasional, lisensi B AFC, lisensi A Nasional, lisensi A AFC, hingga yang tertinggi adalah lisensi A Pro AFC.

Untuk menjadi pelatih tingkat sekolah sepak bola, seorang pelatih biasanya cukup memiliki sertifikat dasar yaitu Lisensi D. Namun demikian tidak dipungkiri bahwa masih banyak pelatih sekolah sepak bola yang tidak memiliki lisensi kepelatihan sama sekali. Pada sekolah sepak bola yang berbasis komunitas sosial (desa, kampung, sekolah) tugas sebagai pelatih biasanya diemban oleh mereka yang peduli dan berdedikasi.

Kualifikasi pelatih untuk tingkat grassroots football sebenarnya gampang-gampang susah. Gampang karena pada dasarnya siapapun bisa berperan sebagai coach educator. Kita bisa lihat di beberapa daerah banyak orang tua, pemuda, mantan pemain atau guru yang mengorganisasi latihan sepak bola dengan modal kemauan dan kesediaan meluangkan waktu.

Namun di sisi lain, peningkatan kualitas pelatih anak-anak bukan perkara yang mudah. Bagaimana pelatih akan mengikuti kursus kepelatihan jika bayaran mereka minim bahkan tanpa bayaran? Bagaimana pelatih berkonsentrasi pada bidang kepelatihan jika ia juga mengurus segala keperluan tim lainnya?

Hal ini seharusnya mendapatkan perhatian dari federasi sepak bola nasional. Pelatih usia dini adalah ujung tombak pembinaan pemain sepak bola. Para pelatih di kampung, desa dan basis sosial lainnya seharusnya bisa mendapatkan subsidi untuk mengikuti kursus kepelatihan.

Jika melihat kondisi saat ini, maka bukan sekadar kualifikasi yang dibutuhkan tetapi juga dedikasi. Kita harus berterima kasih kepada para pelatih usia dini yang tetap mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membina anak-anak. Meskipun kadang mereka tidak diakui karena tidak memiliki kualifikasi dalam bentuk lisensi.

Akhirnya yang dimaksud dengan kualifikasi pelatih usia dini di Indonesia adalah siapa saja yang mampu dan mau bertahan di tengah keterbatasan.

Komentar
Co founder dan manager AFA Soccer School Yogyakarta.