Dari banyaknya rindu yang mengemuka, sebenarnya ada rindu yang paling absolut. Untuk salah dua orang, bukan tak mungkin rindu itu datang dari rumput-rumput lapangan, dari bebatuan tribun, dan dari gemerlap sepak bola yang tak pernah berhenti menggelora.
Batas penyangga jarak antara dewa-dewa bercelana pendek dengan orang-orang yang hadir dari berbagai kalangan dan kondisi sosial itu adalah besi tua dengan warna kusam dan karatan. Besi tua yang memanjang itu menjadi pengikat yang mampu menghilangkan sampai batas-batas tertentu, batas sosial yang terkadang memberi justifikasi antara penguasa dan pekerja.
Namun ketika semua orang ada di antara besi-besi tua itu, seolah diri menjadi sama. Tak ada beda antara penguasa dan pekerja, karena ada kesadaran yang lebih dalam: saat sekat-sekat itu memisahkan bebatuan tribun dan lapangan hijau, ada pekerjaan hati yang selaras.
Kita adalah kumpulan manusia yang terlampau malas berpikir dan tidak malu dengan kesalaahan memalukan. Sengaja saya menyebut kita dan tidak menghardik satu individu atau suatu kelompok. Karena memang Indonesia adalah kita, dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang memberi arti meski berbeda namun harus tumbuh dengan tujuan yang satu.
Namun sayang, kesatuan yang dimunculkan sering kali membawa kita sama-sama teledor. Atau barangkali jika pun dari kita tidak, namun mayoritas bangsa teledor menggiringkannya juga pada satu jurang yang sama: teledor.
Tidak henti-hentinya dari bertahun-tahun ke belakang kita menyuarakan perubahan bagi Indonesia yang lebih baik. Salah satu suara paling nyaring datang dari sepak bola.
Ini jelas, karena bangsa kita adalah salah satu bangsa penggiat sepak bola yang tak bisa lagi dibilang abal-abal. Bolehlah kita membingkai klise sepak bola di negeri yang (katanya) maha kaya ini bukan lagi miliknya kelas teri. Tapi kepunyaan orang-orang dengan kesungguhan hati yang teguh menjadikan sepak bola harga diri yang tak boleh diinjak oleh siapa pun.
Mana kala kita sedang berbicara mengenai (timnas) sepak bola, tidak jarang yang muncul pertama kali di pelupuk pikiran adalah kemuraman yang tiada henti: kebebalan para pemangkunya.
Apa boleh bikin, borok sepak bola kita, negara lain mungkin akan menilai dari kualitas timnas. Malaysia bisa dengan enak cengengesan menertawakan sepak bola kita. Kusutnya kompetisi, bengisnya sinema di belakang lapangan, seperti menjadi parade yang mau tak mau harus dinikmati para penggila bola di sini.
Ruwetnya sepak bola kita yang berulang-ulang
Jika kita mau melihat ke belakang, kekusutan dari sepak bola Indonesia bukan datang pada tahun-tahun ini saja. Semrawutnya sepak bola kita sudah dimulai sejak dahulu kala. Saya ingat beberapa kasus kusutnya sepak bola Indonesia yang pernah saya baca dalam buku kumpulan esai sepak bola yang dirilis oleh Pandit Football Indonesia, Brazillian Football and Their Enemies.
Kisah dualisme antara KPSI dan PSSI beberapa tahun ke belakang yang puncaknya terjadi perebutan pengelolaan tim nasional jelang SEA Games. KPSI, yang berpadu padan dengan KONI hendak meminta agar tim nassional SEA Games dikelola oleh KONI, bukan PSSI.
Dan ternyata kisah dualisme semacam itu pun pernah terjadi saat PSSI dipimpin oleh Abdul Wahab. Ketika itu, PSSI berebut pengelolaan tim nasional sepak bola dengan KOGOR (Komando Gerakan Olahraga –semacam KONI untuk saat ini) untuk mengikuti Pesta Olahraga Ganefo. Semrawutnya persoalan saat itu hingga membuat Presiden Soekarno turun tangan untuk menyelesaikannya.
Lalu baru-baru ini skandal judi dalam sepak bola sempat dialamatkan kepada tim nasional sepak bola SEA Games 2015. Beberapa kesaksian dan bukti rekaman suara telepon pernah juga diperdengarkan. Skandal itu terjadi ketika timnas berhadapan dengan Vietnam di semifinal.
Dan ternyata, pada tahun 1962, skandal judi pun pernah terjadi dan terkuak. Sepuluh pemain timnas Asian Games dipecat oleh KOGOR lantaran terbukti bersalah karena terlibat suap-menyuap dengan badar judi dalam pertandingan melawan Ceko Selection dan Yugoslavia Selection.
Kekusutan sepak bola Indonesia pernah pula terjadi sebelum kemerdekaan diperoleh. Tepatnya pada tahun 1937, pada era PSSI masih dipimpin oleh Ir. Soeratin, PSIM Mataram sempat melakukan perlawan terhadap PSSI yang dianggap terlalu banyak berkompromi dengan Belanda pada saat semangat nasionalisme tengah berkembang melalui sepak bola.
PSIM membentuk PSSI tandingan dengan menyatukan tim-tim lain yang bermarkas di Jawa Tengah. Kekusutan tidak sampai di situ. PSSI tak tinggal diam dan melakukan aksi pembalasan dengan mendirikan PSIM tandingan dengan nama PERSIM Mataram.
Jika hari ini sepak bola kita gaduh dengan isu mafia dan skadal judi, kasus serupa pernah terjadi. Bedanya, dulu kasus itu sampai terkuak tidak seperti sekarang yang hanya diperdendangkan saja tanpa upaya serius untuk meringkus siapa saja yang terlibat.
Jika kasus dualisme pengelolaan tim nasional dan dualisme di tubuh PSSI terjadi di tahun-tahun sekarang, PSSI era Abdul Wahab dan era Soeratin sudah sejak puluhan tahun lalu sudah mendahuluinya.
Jangan malu belajar dari negara orang
Kegaduhan sepak bola di Indonesia seakan tidak pernah ingin tumbuh berkembang ke arah yang lebih baik. Pertentangan antara Menpora dan PSSI pun kian menambah buruk situasi sepak bola kita.
Belumlah kita merayakan euforia yang membanggakan, PSSI dibekukan oleh Menpora yang menganggap PSSI tak becus mengelola sepak bola. Dan parahnya lagi, sepak bola kita disanksi oleh FIFA yang merembet juga pada peringkat Indonesia di ranking FIFA saat ini.
Kini, seolah-olah sepak bola kita hanya jalan di tempat (atau bahkan malah turun mundur?) ketika tim-tim yang dulu pernah menjadi bulan-bulanan tim nasional bergerak maju. Indonesia kini berada di peringkat terendah ranking FIFA di antara negara Asia Tenggara.
Andai para pemangku sepak bola Indonesia mau belajar, tentu banyak negara yang bisa dijadikan bahan pembelajaran. Italia misalnya, bisa dijadikan acuan bagaimana mereka mampu menggeliat setelah dualisme terjadi di liga dan federasi sepak bola mereka.
Saat itu kompetisi musim 1921/1922. Banyak tim besar Italia macam AC Milan, FC Internazionale, Genoa, Bologna, Juventus, Pro Vercelli, Lazio, Salerintana, Torino, dan lain-lain tidak menyetujui dengan kebijakan yang dilakukan oleh Federazione Italiana Giuoco Calcio (FIGC), federasi sepak bola Italia. FIGC menambah jumlah kontestan Liga Italia musim 1921/1922 menjadi 72 tim dari yang asalnya 55 tim.
Tim-tim besar Italia itu merasa keberatan dengan kompetisi yang harus diikuti oleh 72 tim dan menganggap kompetisi dengan jumlah sebanyak itu terlalu banyak. Belum lagi, jika mereka lihat, banyak tim yang dimasukkan oleh FIGC adalah tim kecil yang tidak juga memiliki basis pendukung yang banyak.
Pembangkangan dari tim-tim besar ini akhirnya melahirkan federasi baru bernama Confederazione Calcistica Italiana (CCI). Pada musim itu, berjalanlah dua kompetisi berbeda di Italia.
Berkembangnya sepak bola Italia justru muncul dengan adanya dualisme liga dan federasi. Adalah editor senior harian Gazzetta dello Sport, Emilio Colombo, yang mampu menjadi penengah bagi kusutnya sepak bola Italia.
Colombo diminta untuk mencarikan solusi untuk sepak bola Italia. Dari hasil pertemuan antara FIGC dan CCI yang ditengahi oleh Colombo itu akhirnya melahirkan tujuh poin solusi yang kemudian disebut sebagai “Compromesso Colombo”. Salah satu dari poin itu menyatakan bahwa liga deselenggarakan dengan bentukan CCI namun di bawah naungan FIGC.
Karena dualisme ini Serie A terlahir. Lima tahun setelah kisah sengit dualisme dan terbentuknya Serie A, Italia meraih gelar juara dunia untuk pertama kalinya.
Selain urus-mengurus perihal pembenahan dualisme koompetisi, ada pula Jepang yang saya kira layak untuk dijadikan bahan pembelajaran dalam pembinaan usia muda. Singkatnya, Jepang mengadopsi sistem yang digunakan oleh Jerman perihal pembinaan.
Jepang, pada era tahun 1950-1970an adalah negara yang boleh dibilang tidak istimewa dalam urusan sepak bola. Prestasi terbaik mereka hingga saat itu hanyalah meraih perunggu di Olimpiade 1938. Dan mereka baru dapat tampil di Piala Asia pun pada tahun 1975.
Namun mereka terus bergerak untuk tidak hanya menjadi kontestan di Piala Asia. Samurai Biru pun mengadopsi pemain asal Brasil untuk mengembangkan sepak bola mereka. Hasilnya pun tidak buruk. Jepang meraih gelar juara di kancah Piala Asia pada tahun 1992, atau tiga tahun setelah mereka melakukan naturalisasi pemain asing.
Sadar bahwa mereka perlu juga untuk berkompetisi di ajang dunia, maka gebrakan pun mulai dilakukan. Tak main-main, pembinaan usia muda diberlakukan melalui sekolah-sekolah.
JFA (Japan Football Assosiation) bekerja sama dengan sekolah menengah pertama. Caranya, mereka menyimpan staf kepelatihan tim profesional di J-League untuk memantau sekaligus memberikan pelatihan sepak bola di sekolah-sekolah di mana tim itu bermarkas.
Jepang melakukan hal itu pun tidak terlepas karena karakter orang-orang Jepang yang tidak mau meninggalkan sisi akademisnya. Dengan diberlakukannya sistem seperti itu, minat anak-anak remaja Jepang pada sepak bola pun kian meningkat tanpa harus meninggalkan sekolah mereka.
Sepak bola seakan telah menjadi kurikulum di sekolah-sekolah Jepang. Dan hasilnya pun tidak buruk: kini pesepak bola Jepang tersebar di berbagai kompetisi Eropa.
Berbeda dengan Indonesia. Di sini sekolah sepak bola (SSB) seolah menjadi panggung satu-satunya di mana ilmu persepakbolaan diberikan. Apakah itu cukup untuk merealisasikan impian yang muncul di baliho yang sempat beredar di ibukota beberapa tahun ke belakang: Indonesia menuju Piala Dunia!
Kerja serius perlu dilakukan agar sang Garuda tak terus menerus menanggung malu akibat sepak bola yang tak terurus dengan benar dan keringnya prestasi di tingkat internasional.
Tapi sesekali, rasanya kita pun mesti bisa berprasangka baik kepada para pemangku sepak bola disini. Siapa tahu mereka memang sengaja menina bobokan sepak bola untuk sementara waktu.
Mereka ingin membuat gelembung-gelembung rindu masyarakat kepada sepak bola menuju titik paling tinggi. Karena sepertinya mereka percaya pada tafsir rindu yang pernah dikatakan orang: “Semakin lama rindu itu ditahan, akan semakin indah nantinya.”
Semoga.