Apa yang istimewa dari gerhana matahari total?
Konon, ia terjadi hanya empat kali di Indonesia. Pada 11 Juni 1983, 22 November 1984, 18 Maret 1988 dan 24 Oktober 1995. Dan itu baru berulang kemudian pada 9 Maret 2016 nanti, tepat hari Rabu ini. Sebuah atraksi Tuhan yang konon jauh lebih megah daripada liukan Lionel Messi di lapangan sepak bola.
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, mengatakan bahwa momen gerhana matahari total adalah sebuah fenomena langka yang sangat jarang terjadi di Indonesia. Ia menambahkan, gerhana matahari total menjadi langka karena momen ini tidak tiap tahun terjadi. Momen ini akan berulang di Indonesia pada tahun 2042 dan tahun 2053.
Butuh rentang waktu yang lama untuk menikmati kembali sesuatu yang memang sangat eksklusif dan terkesan begitu fenomenal. Konon, banyak media cetak dan media televisi lokal bersiap melakukan liputan langsung eksklusif untuk merekam fenomena alam ini. Ada beberapa kanal-kanal berita yang bahkan dari jauh hari sudah menjelaskan kiat-kiat untuk menikmati gerhana matahari total dengan aman dan nyaman.
Sebegitu hebatnya efek fenomena alam yang langka ini bagi Indonesia?
***
Kalau gerhana matahari total disebut momen langka, rasa-rasanya kita harus sepakat bahwa sepak bola dalam negeri kita tengah mengalami sebuah gerhana matahari total yang tidak hanya membawa kegelapan menyeluruh di iklim sepak bola nasional, tapi juga mematikan karier pemain serta menjadikan prestasi timnas terkungkung dalam gelap yang sialnya, berlangsung lebih lama dari yang pernah dikhawatirkan sebelumnya.
Ini momen langka, bung. Kapan lagi kita bisa melihat negara yang prestasi sepak bolanya sudah karut marut masih ditambah suram lagi dengan sanksi dari FIFA selain di Indonesia?
Kisruh pemerintah dengan PSSI dilanjutkan dengan sebuah penghakiman dari FIFA yang menurunkan sanksi, otomatis membuat semua sendi sepak bola nasional di dalam negeri kita mati dan lumpuh total. Liga sudah dari jauh hari berhenti. Kontrak pemain tidak jelas. Pada awal-awal kisruh, banyak beberapa mantan pemain nasional yang banting setir untuk bekerja serabutan sembari berharap masalah bisa kelar secepatnya.
Gerhana matahari total konon berlangsung hanya beberapa menit di beberapa daerah, walau perkiraan totalnya bisa berlanjut hingga dua jam lebih. Tapi kegelapan yang menyelimuti sepak bola nasional sudah berlangsung hampir satu tahun dan entah sampai berapa lama lagi akan terjadi.
Dan lagi, apabila gerhana matahari total dan kegelapan indah yang menyelimutinya hanya bisa disaksikan penuh di beberapa provinsi tertentu, sanksi FIFA ini malah bisa disaksikan seluruh rakyat Indonesia. Hebat, bukan?
Tidak ada kompetisi, hanya berganti dengan turnamen yang diisi bergantian dengan banyak pemain yang menjadi kutu loncat dari satu klub ke klub lainnya. Ini kan konyol.
Kita mau menonton sepak bola, tapi dipaksa melihat sebuah tim yang bongkar pasang pemain tiap turnamennya dan melihat satu pemain berkostum A, lalu beberapa minggu berikutnya dia sudah berkostum tim B. Aneh dan konyol.
Tapi bagaimana lagi, di tengah bebal dan banalnya para elit politik pengurus sepak bola nasional, masyarakat awam hanya bisa diam dan menyaksikan sepak bola berbalut turnamen dengan hati riang dan euforia yang semu.
Saya bahagia betul ketika Persib menjuarai Piala Presiden 2015 dengan ciamik, sialnya, baru saya sadari kemudian hari bahwa kebahagiaan itu semu. Itu hanya piala dari satu turnamen. Tidak terlalu penting dibandingkan dengan malam megah di Stadion Gelora Jakabaring dua tahun lalu.
Ini yang menyedihkan dan sudah selayaknya dirayakan dengan perasaan yang kalut dan sedih. Euforia turnamen dan bergulirnya pertandingan-pertandingan dengan tajuk Piala apa pun itu harus segera diakhiri dengan keputusan mutlak yang pasti dan tidak tarik ulur lagi.
PSSI harus sadar bahwa dirinya adalah sebuah organisasi busuk yang perlu reformasi. Pemerintah dan Kemenpora pun harus sadar, sepak bola negeri ini butuh solusi nyata dan perbaikan yang jelas. Bukan hanya pembekuan dan polemik yang dibiarkan tak terurus selama beberapa bulan ini.
Anda ingat bagaimana perjuangan Kemenpora mencarikan Rio Haryanto bantuan dana untuk berlaga di Formula One musim depan? Bukankah dengan semangat militansi yang sama bisa dilakukan pemerintah untuk membenahi sepak bola dalam negeri kita?
Meloloskan satu pembalap untuk membuat sejarah di Formula One saja bisa, kenapa tidak bisa bersatu untuk memajukan sepak bola nasional kita untuk cita-cita tinggi menyaksikan timnas Garuda lolos ke ajang Piala Dunia kemudian?
Terlalu muluk harapan itu? Untuk saat ini, iya. Tapi mimpi berawal dari sesuatu yang memang surealis. Tidak ada mimpi yang dimulai dengan sebuah hal masuk akal. Tapi kegelapan total yang menyelimuti sepak bola kita menghalangi nalar untuk bermimpi setinggi langit. Fakta itu begitu brengsek dan menyebalkan sekali.
***
Kepala LAPAN menyarankan masyarakat untuk menggunakan kacamata khusus atau pelindung mata karena cahaya matahari langsung dapat merusak retina mata kita ketika gerhana terjadi. Tapi di kisruh sepak bola nasional, kita tidak perlu kacamata khusus.
Anda tidak perlu kertas foto rontgen atau membuat dua kertas HVS yang dilubangi dengan jarum untuk melihat dengan jelas bahwa sepak bola di negara kita menurun levelnya dari medioker ke level busuk. Tidak ada kepastian. Tidak ada masa depan. Hanya turnamen dan turnamen yang menawarkan kontrak semu bagi pemain dan euforia fana bagi suporter.
Saya rasa kita semua sepakat bahwa PSSI dan Kemenpora sebenarnya sudah tahu dengan jelas bagaimana jalan untuk menyelesaikan ini semua. Perihal pembekuan dan sanksi dari FIFA itu. Yang jadi masalah adalah, kenapa hal itu belum terjadi dan tidak segera ditindaklanjuti dengan diambil sebuah langkah tegas? Ini bodoh, bebal atau banal? Atau ketiga-tiganya?
Mungkin ya, mungkin, gerhana matahari total yang kegelapannya menyelimuti sepak bola kita, sudah berhasil merusak mata semua pihak yang berkuasa dan menutup nalar dan akal sehat mereka. Entahlah. Satu yang pasti, kita masih akan menyambut gerhana matahari yang terjadi pagi hari ini dengan perasaan riang gembira dan melupakan kisruh sepak bola nasional yang rumit dan berbelit-belit.