Havertz, Thiago, dan Ekspektasi yang Mengikuti

Pada jendela transfer jilid kali ini, Chelsea menjadi sorotan karena berhasil memboyong sejumlah penggawa baru dengan nama besar. Mulai dari Hakim Ziyech, Timo Werner, Thiago Silva, Ben Chilwell, hingga Kai Havertz. Namun dibanding kedatangan pemain lain, kepindahan Havertz ke Chelsea dari Bayer Leverkusen beroleh sorotan lebih karena banderolnya yang menyentuh angka 72 juta Poundsterling (plus add ons).

Nominal di atas menjadikan pemuda Jerman berusia 21 tahun itu sebagai pemain termahal di bursa transfer musim panas 2020, setidaknya sampai tulisan ini dibuat. Havertz juga tercatat sebagai pesepakbola termahal kedua yang pernah diboyong The Blues setelah Kepa Arrizabalaga.

Berbekal performa apiknya bareng Leverkusen sedari tahun 2016 silam, Havertz melesat sebagai salah satu figur paling potensial di Benua Biru. Chelsea sendiri rela menggelontorkan dana besar sebab ia dianggap sebagai salah satu kepingan utama dalam proses rebuilding yang dilakukan sang pelatih, Frank Lampard.

Akan tetapi, saat perhatian makin terarah kepadanya, Havertz justru tampil kurang meyakinkan pada dua laga pembuka Chelsea dalam ajang Liga Primer Inggris yakni kontra Brighton & Hove Albion dan Liverpool. Dalam dua pertandingan tersebut, Havertz tidak bermain penuh.

Di partai pertama ia digantikan Callum Hudson-Odoi pada menit ke-80. Sementara di laga kedua Havertz ‘dikorbankan’ Lampard dengan menariknya untuk digantikan oleh Fikayo Tomori sebagai kebutuhan taktis setelah Andreas Christensen diganjar kartu merah.

Gara-gara momen itu pula, muncul pertanyaan dari publik mengenai kesiapan Havertz membela klub sekelas Chelsea dan bermain di ajang seketat Liga Primer Inggris. Beruntung, pemuda kelahiran Aachen tersebut sanggup mencetak tiga gol ke gawang Barnsley dalam lanjutan Piala Liga. Paling tidak, ia mampu memberi jawaban kecil dari tatapan sinis yang sedang mengarah kepadanya.

Menengok Thiago Alcantara

BACA JUGA:  Munir, Omen, Fahreza, dan Potret Buram Penegakan HAM di Indonesia

Pertandingan Chelsea kontra Liverpool berakhir dengan skor 0-2 untuk kemenangan The Reds. Dari segi permainan, menurut saya tidak ada yang menarik perhatian kecuali satu aspek yakni penampilan ciamik Thiago Alcantara dalam debutnya bersama sang juara bertahan. Lelaki Spanyol ini direkrut dari Bayern Munchen seharga 30 juta Poundsterling.

Thiago diturunkan Jurgen Klopp pada awal babak kedua buat menggantikan Jordan Henderson yang mengalami cedera paha. Walau berstatus sebagai pendatang baru, Thiago tak memperlihatkan kecanggungan dalam sistem main besutan sang pelatih. Menurut data yang dihimpun dari Squawka, saudara Rafinha Alcantara ini jadi pemain dengan umpan sukses terbanyak di satu laga setelah mencatatkan 75 umpan. Ajaibnya, hal itu dibuatnya dalam tempo empat puluh lima menit saja.

Berbicara harga, apa yang ditorehkan Havertz dan Thiago seolah bertolak belakang. Dengan banderol mahal, nama pertama masih kesulitan mengeluarkan kemampuan terbaik. Sedangkan figur kedua justru dengan mudahnya tampil elok kendati nilai tebusnya lebih rendah.

Benar jika ini terkait kualitas si pemain maupun strategi dari sebuah tim. Namun wajib kita sadari pula bahwa harga tak selalu jadi penentu bagus atau tidaknya seorang pemain maupun gampang atau tidaknya mereka beradaptasi. Ada banyak variabel lain yang mesti dipertimbangkan buat menentukan hal-hal di atas.

Fenomena Thiago yang tampil spektakuler dan Havertz yang masih kebingungan saat bermain untuk tim barunya menunjukkan perbedaan cara melihat transfer pemain yang memang sudah masuk usia matang dan pemain dengan usia belia. Kita tidak bisa menyebut bahwa Havertz adalah pembelian gagal atau perekrutan Thiago sebagai keberhasilan mutlak.

Perlu diingat bahwa usia Havertz masih sangat muda dan ia sedang beradaptasi dengan kultur yang baru dikenalnya. Bukan tak mungkin harga tebus mahalnya dari Leverkusen kemarin juga ikut membebani pikirannya. Belum lagi kesesuaiannya dalam bermain di skema khas Lampard. Jujur saja, ekspektasi publik memang tak bisa ditolak. Namun di sisi lain, hal itu juga kerap mengganggu.

BACA JUGA:  Internazionale Milano yang Penuh Masalah

Di sisi lain, Thiago datang ke Stadion Anfield tidak dengan ekspektasi yang membubung. Pasalnya, ia sudah membuktikan banyak hal sebelumnya. Ia didatangkan Liverpool sebagai amunisi tambahan yang dirasa mampu memperkuat tim asuhan Klopp.

Di atas kertas memang transfer Havertz terlihat lebih bergengsi ketimbang Thiago meskipun keduanya sama-sama didaratkan dari Jerman, terutama dari segi harga. Lagi pula siapa, sih, yang tidak kepincut pada penggawa muda yang sukses tampil hebat di Bundesliga dengan menorehkan 38 gol dan 16 asis pada dua musim terakhirnya?

Banderol Havertz yang sundul langit bisa dimaklumi karena masa depannya terhampar luas untuk menorehkan tinta emas. Masuk akal jika kedatangannya di tanah Britania Raya lebih diantisipasi oleh publik ketimbang Thiago yang usianya sudah mendekati angka 30 tahun. Apalagi keduanya juga bermain di posisi berbeda. Havertz yang berkarakter lebih ofensif tentu mendapat perhatian lebih ketimbang Thiago.

Seperti yang telah saya sebutkan di bagian awal tulisan, ekspektasi publik memang tak bisa ditolak. Namun hal itu tak bisa jadi patokan dalam menilai seorang pemain. Pasalnya, segalanya bergerak secara dinamis. Bisa saja sekarang Havertz melempem, tapi di pertengahan hingga akhir musim nanti melesat jadi bintang utama kebangkitan The Blues.

Pun dengan Thiago yang saat ini tampak moncer bareng Liverpool, tapi di pertengahan musim nanti bisa melorot performanya karena jarang dimainkan atau terdistraksi oleh masalah fisik. Rasanya, berekspektasi juga ada porsinya agar kita tak selalu menyalahkan keadaan sebagai pangkal dari terlukanya hati. Sebab menilai secara adil semestinya jadi keharusan.

Komentar
Sesekali mendua pada MotoGP dan Formula 1. Bisa diajak ngobrol di akun twitter @DamarEvans_06