Slogan “Ini Kandang Kita” sangat populer di kalangan suporter tim nasional (timnas) Indonesia pada tahun 2007 saat negeri ini menjadi salah satu tuan rumah–bersama Thailand, Vietnam, dan Malaysia–Piala Asia. Slogan tersebut diinisiasi oleh perusahaan apparel ternama untuk menegaskan bahwa timnas harus memanfaatkan keuntungan bermain di Indonesia melawan timnas negara lain yang jauh lebih kuat.
Namun, yang patut ditinjau ialah seberapa besar faktor keuntungan bermain di kandang.
Bermain di kandang memiliki banyak keuntungan, di antaranya dukungan suporter, adaptasi stadion, keunggulan stamina, dan bahkan mungkin kecenderungan keberpihakan wasit.
Semua faktor tersebut menjadi faktor yang harus banyak diperhitungkan oleh tim yang bermain di kandang lawan. Mereka harus realistis, apakah ngotot bermain untuk dapat poin penuh atau menjaga jangan sampai kalah.
Risiko bermain sepakbola memang ada kalah dan ada menang. Untuk menguasai dan mengatur risiko tersebut, kita harus mengukur faktor-faktor yang memengaruhi kalah dan menang.
Serupa dengan yang diungkapkan oleh Tom de Groeve dalam menyikapi pentingnya mengukur risiko dalam manajemen risiko bencana.[1] Bencana dalam sebuah pertandingan bisa diartikan sebagai kekalahan, atau mungkin juga hasil seri.
Sulitnya mengukur siapa tim terkuat
Masalahnya sekarang bagaimana mengukur risiko menang dan kalah dalam suatu pertandingan sepakbola. Pengukuran identik dengan memberikan suatu penilian berupa angka-angka pada suatu kualitas.
Baik itu kualitas suatu tim, pemain, wasit, bahkan liga. Menang adalah suatu kondisi jumlah gol suatu tim lebih banyak daripada tim lain. Tim yang dominan dalam suatu pertandingan tidak selalu menang. Hal itu yang menjadi titik tolak perdebatan di kalangan suporter bahkan media tentang siapa tim yang terkuat.
Tim yang menang, tim yang dominan menguasai pertandingan, atau ada ukuran lain yang memberikan informasi tim mana yang kuat. Atau bahkan bisa dibagi lagi. Tim mana yang kuat di kandang dan tim mana yang kuat di tandang, atau tim kuat baik di kandang maupun tandang.
Dengan menghitung jumlah gol suatu tim dan membandingkannya dengan jumlah gol tim lain, kita bisa mendapatkan selisih gol. Selisih gol antara gol yang dicetak oleh tim yang bertindak sebagai tuan rumah dan gol yang dicetak oleh tim yang bertamu. Selisih gol plus satu artinya tim tuan rumah menang dengan selisih satu gol atas tim tamu.
Selisih gol menarik untuk dianalisis karena memberikan informasi tentang distribusi kemenangan dan perbandingan dengan liga di negara lain. Jadi, selain memberikan informasi kualitas suatu tim, selisih gol juga bisa menjadi salah satu tolok ukur penilaian kualitas liga di suatu negara.
Seperti yang terjadi di Liga Belanda, separuh dari total pertandingan diakhiri dengan hasil kemenangan untuk tuan rumah, artinya selisih gol plus. Sedangkan seperempatnya berakhir dengan hasil seri atau selisih gol nol. Selisih gol minus, yang artinya pertandingan berakhir dengan kemenangan tim tamu, jumlahnya mencapai seperempat dari total pertandingan (Kruit, 2006).
Keadaan itu terjadi juga di Liga Spanyol.[2] Sedangkan di Liga Turki, tim tuan rumah bahkan memenangi pertandingan sebanyak 61,5%.[3] Belum ada penjelasan secara komprehensif kenapa pola tersebut umum terjadi di liga-liga Eropa. Namun, terlihat kecenderungan tim tuan rumah mendapatkan keuntungan dengan bermain di kandang.
Faktor lokasi dan jarak pertandingan
Hal lain yang menarik ditinjau ialah performa tim dalam pertandingan tandang dan kandang dalam tinjauan perolehan poin. Untuk liga yang membutuhkan fisik prima seperti liga di Indonesia dengan luas daerah yang membentang dari timur ke barat sekitar 5.000 km[4] dibutuhkan kejelian dalam strategi memperoleh poin.
Meski operator liga sudah memikirkan keadaan itu dengan mengatur jadwal sedemikian rupa sehingga jadwal bertanding yang berdekatan berada pada jarak yang tidak jauh atau masih dalam satu pulau.
Namun, klub tetap perlu memikirkan target realistis dan rotasi pemain yang diturunkan pada suatu pertandingan. Tidak dapat dimungkiri bahwa perjalanan ratusan kilometer membutuhkan pemulihan fisik yang cukup meski tidak banyak perbedaan waktu antara satu kota dan kota lain serta perjalanan ditempuh dengan pesawat udara. Apalagi kalau perjalanan dengan menggunakan transportasi darat.
Hal itu pernah menjadi masalah pada saat terjadi peristiwa meletusnya Gunung Eyjafjallajokull di Islandia, 14 April 2010. Pada pertandingan semifinal Liga Champions, klub Lyon dari Prancis harus menggunakan bus untuk mencapai stadion markas klub Bayern Munchen karena sejumlah penerbangan dibatalkan akibat asap dan debu gunung berapi tersebut. Pada pertandingan tersebut, tim Hollywood–julukan Bayern Muenchen–selaku tuan rumah berhasil menang melalui gol semata wayang yang dicetak oleh Arjen Robben.[5]
Demikian pula pada pertandingan semifinal Liga Europa. Klub Liga Inggris, Fulham, harus menempuh perjalanan darat sejauh 570 mil atau setara 900 kilometer untuk berlaga melawan klub Hamburg SV di Jerman.
Pemain Fulham harus bersiap untuk berangkat ke Hamburg pada hari Senin siang dan harus mempersiapkan diri menempuh perjalanan selama 12 jam. Pada hari Rabu, mereka sudah harus siap untuk berlatih menjelang laga melawan Hamburg. Sedangkan mereka sudah ditunggu pertandingan di liga domestik pada hari Minggu.
Total, mereka harus menempuh perjalanan satu hari satu malam penuh untuk pergi dan pulang kembali ke Fulham. Sungguh perjalanan yang tidak mudah mengingat padatnya jadwal liga di Eropa.
Belum lagi memperhitungkan jumlah pendukung yang bisa jadi berkurang akibat tidak memungkinkannya suporter Fulham menempuh perjalanan udara. Pertandingan tersebut berakhir tanpa gol. Bisa jadi hasil akan berbeda bila Fulham menggunakan pesawat udara. Pada leg kedua Fulham berhasil menang dan terus melaju sampai akhirnya dikalahkan oleh Atletico Madrid di final.[6]
Faktor wasit bisa menentukan hasil pertandingan
Dalam suatu pertandingan, hasil akhir tidak lepas dari bagusnya penampilan wasit. Tidak jarang penonton, bahkan pemain dan pelatih, melakukan serangkaian protes kepada wasit karena diduga berpihak kepada tim lawan.
Bahkan, protes keras sampai pukulan dan tendangan tidak jarang menimpa wasit. Keberpihakan wasit bisa ditimbulkan oleh tekanan dari penonton dan pemain, atau bisa jadi ada kolusi antara wasit dan klub sehingga menguntungkan klub tersebut. Namun, indikasi itu perlu pembuktian dan tentunya tidak mudah.
Salah satu hal yang kerap diprotes kepada wasit ialah penambahan waktu untuk injury time. Hal itu terlihat pada saat tim kandang tertinggal jumlah gol oleh tim tandang. Wasit cenderung untuk memberikan waktu yang lebih panjang daripada saat tim kandang unggul jumlah gol. Kecenderungan tersebut terjadi di Liga Spanyol, Liga Italia, US Major League Soccer, dan Bundesliga (Buraimo et al, 2010).
Terlebih pada penelitian yang dilakukan oleh Scappo di Serie A pada musim 2003/2004 dan 2004/2005. Pada saat tim tuan rumah tertinggal satu gol, injury time yang diberikan oleh wasit rata-ratanya adalah 4,19 menit. Sedangkan rata-rata injury time pada babak kedua adalah 3,62 menit.
Nah, bandingkan pada saat tim tuan rumah tidak kalah (seri atau menang), injury time akan lebih sedikit daripada 4,19 menit (Scoppa, 2008). Bisa menjadi sebuah pertanyaan sejumlah orang tentang keberpihakan wasit terhadap tuan rumah. Mungkin serupa dengan dugaan tentang adanya Fergie Time. Walaupun bisa dibuktikan dengan fakta[7] ataupun memang permainan trik Ferguson semata[8].
Lalu keputusan wasit selama pertandingan juga menjadi indikasi keberpihakan wasit. Keputusan sahnya gol untuk gol yang semestinya tidak terjadi ataupun masih ragu-ragu tentunya menjadi sorotan.
Belum lagi pemberian hadiah penalti, terlebih pada menit-menit akhir di mana tim kandang berusaha mengejar ketertinggalan. Kata hadiah penalti yang sering ditulis oleh media massa bisa jadi merupakan sindiran kepada tim yang mendapat keuntungan dan tentunya wasit itu sendiri.
Seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa tekanan penonton bisa jadi memengaruhi keputusan wasit. Di Liga Indonesia, wasit sering kali diantar keluar lapangan oleh petugas keamanan karena ricuhnya penonton saat memprotes keputusan wasit.
Di Liga Jerman, tim tandang mendapatkan lebih banyak kartu kuning ataupun kartu merah pada saat mereka bermain di stadion yang jarak antara lapangan dan tribun dekat dibanding dengan yang jaraknya jauh.[9] Biasanya jarak tersebut dibentuk oleh ada atau tidaknya lintasan lari di stadion.
Tidak hanya keuntungan dalam hal terkena lebih sedikit kartu, tim tuan rumah juga berpeluang lebih besar dalam memperoleh sedikit keputusan yang abu-abu. Misalnya, gol yang tidak disahkan, penalti atau tidak kena penalti. Selain itu, dengan adanya lintasan lari di dalam stadion, tim tuan rumah jarang memperoleh injury time yang lama. Hal itu menegaskan bahwa faktor desain stadion menentukan tekanan kepada wasit.[10]
Namun, tetap kita berpegang bahwa wasit juga manusia yang bisa melakukan kesalahan. Tidak selalu kesalahan itu menguntungkan tim kandang, bisa jadi malah menguntungkan tim tandang.
Protes keras kepada wasit pernah kita lihat di pertandingan semifinal Liga Champions tahun 2009 antara Chelsea dan Barcelona yang dipimpin oleh wasit Tom Henning Ovrebo. Didier Drogba dan Michael Ballack sampai berulang kali menunjukkan protes kerasnya, bahkan sampai akhir pertandingan yang berakhir seri dengan kemenangan agregat untuk Barcelona. Belakangan, Ovrebo mengakui bahwa dia melakukan beberapa kesalahan di pertandingan itu.[11]
Faktor adaptasi stadion
Berbicara tentang stadion, faktor adaptasi terhadap stadion menjadi faktor penentu kemenangan tim kandang. Keuntungan kandang berkaitan juga dengan gaya atau karakteristik permainan sepakbola itu sendiri.
Ada fakta menarik yang tidak bisa dilepaskan dalam pembahasan faktor keuntungan kandang, yaitu jumlah gol per pertandingan. Bila dibandingkan dengan olahraga lain, misalnya basket, jumlah gol dalam satu pertandingan sepakbola lebih sedikit. Di Liga Belanda, rata-rata jumlah gol dalam satu pertandingan hanya tiga gol.
Sepakbola memang mempunyai karakteristik yang unik dibandingkan dengan olahraga lain seperti basket dan bola tangan. Kalau kita lihat jenis olahraga yang sejenis, misalnya hoki, jumlah rata-rata gol dalam satu pertandingan adalah 4,65 gol, yang berarti lebih tinggi daripada sepakbola.
Jumlah pertandingan yang dimenangkan oleh tim kandang sebanyak 45,8%, jumlah pertandingan yang dimenangkan oleh tim tandang sebanyak 41,5%, dan 12,7% pertandingan berakhir seri. Jelas terlihat bahwa jumlah gol dalam satu pertandingan ternyata membawa efek peluang yang lebih besar untuk tim tandang memperoleh kemenangan.
Hal itu bisa dijadikan titik tolak peninjauan perlunya memodifikasi sepakbola menjadi sebuah olahraga dengan jumlah gol banyak dalam satu pertandingan. Selain menghibur, juga dapat meningkatkan peluang tim tandang untuk menang. Memodifikasi semisal peraturan poin menangnya atau strategi menyerang dan bertahan.
Banyak faktor yang membuat sepakbola mempunyai jumlah gol yang sedikit. Salah satu faktornya ialah kekuatan tim yang bertanding. Kekuatan kedua tim yang bertanding, yang tidak jauh berbeda, menghasilkan banyak terjadinya pertandingan dengan hasil seri. Kita bisa lihat bahwa permainan bertahan cenderung dilakukan oleh tim yang sudah unggul meski hanya selisih satu gol.
Lalu pertanyaannya, apakah bisa membuat permainan sepakbola menjadi lebih menyerang? Pemberian bobot gol oleh tim tandang seperti pada sistem pertandingan internasional dan pemberian tiga poin untuk sekali kemenangan telah diberlakukan.
Namun, perlu langkah lain yang bisa membuat sepakbola lebih menyerang. Salah satu cara yang bisa ditempuh ialah pemberian poin yang lebih untuk tim tandang daripada tim kandang pada saat pertandingan berakhir seri.
Pada pertandingan internasional, misalnya setelah babak grup di mana klub bertanding kandang dan tandang, terdapat kepercayaan bahwa bermain di kandang pada leg kedua memiliki keuntungan lebih. Ternyata, dalam penelitian, tidak terjadi keuntungan yang signifikan.
Sebenarnya yang punya pengaruh ialah penampilan klub-klub tersebut saat di babak grup dan kekuatan klub itu sendiri. Mungkin yang masih bisa diperdebatkan ialah faktor psikologis pemain yang ingin merayakan keberhasilan untuk maju ke babak selanjutnya di hadapan suporter di kandang.[12]
Faktor psikologis itu pula yang menjadi beban bagi pemain dan ofisial Persib Bandung mengingat Persib terakhir kali menjadi juara 20 tahun yang lalu. Sehingga faktor psikologis itu menjadi semakin besar pada saat Persib bermain di kandang.
Namun, memang masih susah memberikan suatu nilai berupa tingkatan angka pada faktor psikologis tersebut untuk mendapatkan informasi seberapa signifikan pengaruhnya terhadap keuntungan bermain di kandang.
Tidak ada yang bisa menghancurkan benteng kita, itulah yang sering didengungkan oleh klub agar jangan sampai menelan kekalahan saat pertandingan kandang. Keuntungan kandang itu sampai membuat klub, bahkan negara, berlomba untuk menjadi tuan rumah pertandingan skala internasional.
Dan memang, tidak ada yang lebih membahagiakan bila berbagi kebahagiaan di rumah bersama suporter yang setia mendukung.
Naskah ini merupakan salah satu artikel yang terdapat di buku Sepakbola 2.0.
Referensi:
[1] Groeve, T. dkk. 2013. Recording Disaster Losses: Recommendations for a European approach European Commission Joint Research Centre. JRC Scientific and Policy Reports. Institute for the Protection and the Security of the Citizen.
[2] Pollard, R. 1986. Home Advantage in Soccer: A Retrospective Analysis. Journal of Sport Sciences.
[3] Seckin, A. dan A. Pollard. 2007. Home Advantage in Turkish Professional Soccer. MPRA Paper No. 14323.
[4] Geografi Indonesia. 2015. Geografi Indonesia. <https://ms.wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia>. Diakses pada 23 Agustus 2015.
[5] BBC Sports. 2010. Volcano’s Ash Cloud Still Causing Sporting Chaos 2010. <http://news.bbc.co.uk/sport2/hi/front_page/8629705.stm>. Diakses pada 23 Agustus 2015.
[6] Liew, J. 2010. Hamburg v Fulham: Roy Hodgson’s Side to Play Europa League Tie After 12-hour Trip. <http://www.telegraph.co.uk/sport/football/teams/fulham/7611880/Hamburg-v-Fulham-Roy-Hodgsons-side-to-play-Europa-League-tie-after-12-hour-trip.html>. Diakses pada23 Agustus 2015.
[7] Pritchard, C. 2012. Fergie Time: Does It Really Exist? <http://www.bbc.com/news/magazine-20464371>. Diakses pada 23 Agustus 2015.
[8] Marioni, M. 2014. Sir Alex Ferguson Reveals ‘Fergie Time’ at Manchester United was All Just One Big Trick. <http://metro.co.uk/2014/12/22/sir-alex-ferguson-reveals-fergie-time-at-manchester-united-was-all-just-one-big-trick-4996447>. Diakses pada 23 Agustus 2015.
[9] Buraimo, B. dkk. 2010. The 12th Man? Refereeing Bias in English and German Soccer. Journal of Royal Statistical Society Series A. Royal Statistical Society.
[10] Dohmen, T. 2008. The Influence of Social Forces: Evidence from the Behavior of Football Referees. Econ. Inq.
[11] ESPN. 2012. Ovrebo Admits Semifinal Mistakes Cost Chelsea. <http://en.espn.co.uk/football/sport/story/146589.html>. Diakses pada 23 Agustus 2015.
[12] Kruit, P. C. van der. 2006. Home Advantage and Tied Games in Soccer. <http://www.astro.rug.nl/vdkruit/Popular.html>. Diakses pada 23 Agustus 2015.