Ismael Bennacer: Mesin di Lini Tengah AC Milan

Ismael Bennacer: Mesin di Lini Tengah AC Milan

Roda kehidupan memang kadang berputar begitu cepat. Hal itulah yang sedang dirasakan oleh pesepakbola berkebangsaan Aljazair, Ismael Bennacer. Tiga tahun lalu, saat masih berseragam Arsenal, ia begitu kesulitan menembus tim utama. Berselang setahun setelahnya, Bennacer merumput untuk Empoli di Serie B. Namun per musim ini, dirinya sudah mengenakan baju klub sekelas AC Milan dan merumput di Serie A.

Bagi sebagian orang, Milan mungkin tak lagi gagah selayaknya dulu. Dalam kurun beberapa musim pamungkas, tak ada trofi mayor yang mampir ke Stadion San Siro. Berita terkait I Rossoneri lebih didominasi hal-hal negatif. Walau demikian, Milan tetaplah Milan.

Tanpa kehadiran Bennacer yang sedang menjalani hukuman akumulasi kartu saat menjamu Hellas Verona (2/2) dalam lanjutan kompetisi Serie A Italia musim 2019/2020, lapangan tengah Milan dibuat kocar-kacir oleh tim tamu. Duo gelandang I Gialloblu, Sofyan Amrabat dan Miguel Veloso, seperti mengajari para gelandang I Rossoneri tentang bagaimana cara mengontrol permainan dan bermain kolektif.

Bennacer yang mampu memainkan banyak peran sekaligus memang kunci bagi suksesnya formasi dasar 4-4-2 yang diandalkan pelatih Stefano Pioli belakangan ini.

Dalam pola tersebut, Bennacer yang ditempatkan sebagai salah satu gelandang tengah berperan sebagai inisiator serangan lewat umpan-umpan vertikalnya yang akurat, pendobrak pertahanan lawan dengan giringan bolanya, dan terakhir sebagai tukang jagal yang kerap membuat pelanggaran taktis guna mematahkan serangan lawan.

Pola 4-4-2 sejajar ini memang belum sempurna dan optimal karena membutuhkan sosok-sosok yang berpengaruh secara individual. Sekarang ini, setidaknya terdapat lima sosok yang menjadi pilar bagi keseimbangan pola tersebut yakni Gianluigi Donnarumma, Alessio Romagnoli, Bennacer, Theo Hernandez dan Zlatan Ibrahimovic.

Jika diibaratkan sebuah mobil yang melakukan perjalanan atau balapan, maka Donnarumma dan Romagnoli seperti bahan bakar dan oli mesin. Sedangkan Bennacer memberikan tenaga pada mesin sekaligus sistem rem. Hernandez memberikan akselerasi serta kecepatan dalam sistem turbo dan Ibrahimovic adalah sistem navigasi berupa aplikasi GPS atau peta.

Ketika Milan tampil tanpa Bennacer dan Ibrahimovic, dua komponen penting dari mobil tersebut, tampak jelas bahwa Pioli sebagai pengemudi tidak dapat membawa mobilnya berjalan jauh dan tidak dapat menentukan arah perjalanannya.

Hasil Kerja Pencari Bakat Empoli

Sedikit menoleh ke belakang, pemain kelahiran tahun 1997 ini memiliki ayah berkebangsaan Maroko dan ibu yang berkebangsaan Aljazair. Mereka bermigrasi ke Prancis demi kesempatan yang lebih luas. Bennacer pun lahir di kota Arles, Prancis, dan memulai karier sepak bola di klub lokal, Arles-Avignon. Memulai debut di tim B pada musim 2014/2015, hanya butuh setengah musim baginya untuk menembus tim utama.

BACA JUGA:  The Hunger Games dan Revolusi PSSI

Dari sinilah permainan Bennacer mulai dilirik oleh klub-klub besar Eropa. Kala itu, Arsenal dan Manchester City menjadi peminat serius. Berkat koneksi Prancis yang memang sudah terjalin kuat di tubuh The Gunners, Bennacer memilih untuk bergabung dengan klub yang saat itu masih dilatih Arsene Wenger.

Akan tetapi, Bennacer rupanya tidak, atau tepatnya belum, ditakdirkan untuk bersinar di tanah Inggris. Sempat tampil sekali membela Arsenal di tim senior, pemain kidal ini lalu dipinjamkan ke Tours, klub divisi bawah dari Prancis. Bennacer pun tampil sebanyak 16 kali dan mencetak sebuah gol tendangan bebas di klub yang pernah mengorbitkan Olivier Giroud dan Laurent Koscielny tersebut.

Performa cemerlang ini rupanya berhasil ditangkap oleh pemandu bakat Empoli. Pietro Accardi, Direktur Olahraga Empoli, adalah sosok yang memberi tanda persetujuan supaya Bennacer bergabung dengan mereka setelah direkomendasikan oleh tim pencari bakat.

“Kami memiliki pencari bakat di sekeliling Eropa, dan ketika menemukan profil yang cocok, maka kami tidak melepaskannya. Untuk Bennacer, kami telah mengamatinya beberapa kali,” ujar Accardi seperti dikutip dari Calciomercato.

Accardi pun berhasil memboyong Bennacer ke Stadion Carlo Castellani dengan biaya transfer hanya 1 juta euro saja. Namun dalam kontraknya, terdapat klausul pembelian kembali oleh The Gunners dan komisi 30% yang harus dibayarkan apabila Empoli menjual Bennacer ke klub lain.

Ternyata, insting Accardi dan tim tidak salah. Pemain yang memiliki tinggi badan tidak sampai enam kaki ini menjadi kunci di lini tengah Gli Azzurri yang kemudian membawa klub ini juara Serie B sekaligus menggapai tiket promosi ke Serie A.

Singkat cerita, di sinilah sekarang Bennacer berada. Di Milan yang tengah berupaya bangkit, di tengah ekspektasi tinggi supporter, dan di bawah bayang-bayang Financial Fair Play (FFP). Bagi I Rossoneri sendiri, keberhasilan merekrut Bennacer dengan nominal transfer sebesar 16 juta euro dipandang sebagai sebuah kesuksesan. Sang gelandang juga dianggap sebagai pemain yang dapat mendampingi Milan dalam upaya bangkitnya.

Makin Krusial Bagi Skema Pioli

Bermodal kemampuan kompletnya sebagai gelandang, Bennacer memiliki banyak hal untuk ditawarkan. Tidak hanya mampu bermain di depan empat pemain belakang, pemilik 22 penampilan bareng timnas Aljazair ini juga memiliki semua atribut untuk bermain lebih ke depan.

BACA JUGA:  Romansa dan Pragmatisme Roberto Mancini

Duetnya dengan Franck Kessie memang saling mengisi. Jika Kessie lebih ditugaskan untuk berkonsentrasi pada fase bertahan, maka Bennacer diberikan izin untuk bergerak lebih dinamis dan menjelajahi setiap jengkal lapangan.

Kecepatannya mampu membuat tempo permainan Milan lebih cepat, lalu kemampuannya untuk mengirimkan umpan vertikal dengan akurat amat memudahkan kerja para pemain depan.

Sudah lama Milanisti disuguhi permainan para gelandang bertahan yang lebih lambat semisal Lucas Biglia dan Riccardo Montolivo. Tanpa bermaksud menganggap enteng kontribusi Biglia dan Montolivo, sosok Bennacer benar-benar mengubah cara bermain Milan.

Di usia yang masih 22 tahun, perengkuh gelar Piala Afrika 2019 itu telah menjadi pemain penting di klub yang pernah, dan kini sedang berusaha kembali menjadi penting. Bagi tubuh Milan, Bennacer berfungsi amat vital. Umpan-umpannya bagai jantung yang memompa darah hingga ke seluruh tubuh, giringan bolanya ibarat otak yang terus aktif memberi perintah, dan hadangannya kepada lawan seperti syaraf yang memberitahu akan adanya bahaya yang mengancam tubuh.

Percayalah bahwa dengan segala atribut lengkap yang dimilikinya tadi, Bennacer merupakan pemain serba bisa yang cocok untuk dimainkan di berbagai skema, siapapun pelatih dan rekam setimnya serta apapun perannya.

Meski demikian, bukan berarti tidak ada ruang sama sekali baginya untuk berkembang. Ketika akurasi umpan dan pengambilan keputusannya masih harus dipoles, Bennacer juga perlu lebih banyak belajar lagi untuk mengambil bola dari lawan dengan teknik yang lebih baik. Tujuannya tentu saja untuk mengurangi koleksi kartu kuning yang sudah terlalu banyak.

Bayangkan saja, dari 16 pertandingan yang dijalani hingga kini di Serie A musim 2019/2020 bersama Milan, sudah 10 kartu kuning yang ia kumpulkan, alias terbanyak di antara pemain-pemain Serie A lain. Akumulasi hukuman kartu kuning ini telah memaksanya menjalani skorsing sebanyak dua pertandingan. Bukan catatan yang baik, bukan? Sebab Milan amat membutuhkan keberadaannya di tengah lapangan.

NB:

Izinkan saya untuk menyapa seorang warganet yang kerap muncul di kolom komentar tulisan saya tentang AC Milan (dan juga beberapa tulisan dari penulis lain) di laman Fandom.id seraya memberikan berbagai kontra-argumen yang kadang diakhiri dengan lelucon kedaluwarsa berupa plesetan nama Milan menjadi Melon, Anda benar-benar luar biasa. Saya mengucapkan terima kasih banyak atas segala atensi yang Anda berikan.

Komentar
@aditchenko, penggemar sepak bola dan penggiat kanal Casa Milan Podcast