Jalan Panjang

Pembekuan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) oleh Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi, menjadi topik pembicaraan paling hangat yang dibicarakan oleh khalayak sepak bola setidaknya selama sepekan terakhir. Keputusan yang berani, kontroversial, namun sangat diperlukan. Tanpa mempedulikan ancaman sanksi dari yang punya sepak bola   ̶ menurut Hinca Panjaitan (baca: FIFA), pemerintah akhirnya memutuskan untuk memberi tanda setop pada kegilaan-kegilaan yang selama ini dilakukan PSSI tanpa tantangan berarti.

Seperti keputusan-keputusan besar lainnya, pembekuan PSSI ini membagi publik menjadi dua kelompok besar: pro dan kontra. Pihak yang pro beralasan bahwa level korupsi, kolusi, dan nepotisme di tubuh PSSI sudah tak bisa ditoleransi lagi sehingga langkah pembekuan ini menjadi sesuatu yang tak terhindarkan lagi. Sementara itu, pihak yang kontra beralasan bahwa pembekuan ini mengandung efek jangka pendek negatif yang lebih banyak ketimbang positifnya, termasuk tentunya soal ancaman sanksi FIFA.

FIFA? Yang benar saja. Tahu apa memangnya FIFA? Toh selama ini mereka hanya merespons aduan dari PSSI yang isinya pasti tidak akan mencantumkan berbagai borok yang ada di PSSI. Mereka tidak tahu apa-apa soal situasi di negeri ini, jadi, dengan segala hormat, FIFA can go f*** themselves.

Soal Yunani

Kemarin pagi, saat sedang menyantap sarapan, saya membaca sebuah artikel dari rekan-rekan PanditFootball soal situasi terkini persepakbolaan Yunani. Dalam artikel tersebut diceritakan bahwa pemerintah Yunani memutuskan untuk tak menggubris ancaman sanksi larangan berkecimpung di ajang internasional dari UEFA dan FIFA. Ancaman sanksi tersebut keluar setelah pemerintah Yunani selesai merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) keolahragaan baru yang intinya akan mengatur soal kekerasan dalam olahraga Yunani.

Berbagai kerusuhan yang juga sempat membuat liga Yunani dihentikan sementara membuat sepak bola menjadi isu sentral pada RUU ini. Dalam RUU tersebut dituliskan bahwa pemerintah berhak untuk meng-overlap wewenang Federasi Sepak Bola Yunani (HFF) apabila kerusuhan tak juga berhasil ditanggulangi. Bentuk overlap wewenang tersebut antara lain: pemerintah berhak untuk memaksa setiap klub untuk memasang CCTV dan menggunakan tiket elektronik, menentukan denda mulai 10 ribu euro s/d 25 juta euro, sampai menunda/membatalkan pertandingan serta melarang klub terkait tampil di kompetisi Eropa.

UEFA dan FIFA sebagai induk organisasi HFF jelas tidak senang wewenangnya dilangkahi oleh pemerintah. Sekjen UEFA, Gianni Infantino, bahkan sudah mengirimkan surat kepada HFF soal hal ini. Akan tetapi, Stavros Kontonis, Deputi Olahraga Yunani, bergeming. Bagi Kontonis, intervensi dari UEFA maupun FIFA adalah bentuk intervensi terhadap pemerintah Yunani.

Dari apa yang terjadi di Yunani ini kita bisa belajar bahwa FIFA (dan AFC, untuk kita) bukanlah organisasi yang pantas ditakuti. Yunani tidak takut terhadap sanksi yang sudah di ambang pintu tersebut, padahal mereka adalah salah satu langganan putaran final Piala Eropa dan Piala Dunia, setidaknya selama satu dasawarsa terakhir. Bagi mereka, yang penting urusan internal beres dulu, setelah itu baru pikir soal urusan eksternal.

Indonesia, sebaliknya, adalah negara yang boro-boro mau lolos ke Piala Dunia, wong juara Asia Tenggara saja belum pernah. Jadi, seharusnya kita tak perlu takut-takut amat lah terhadap sanksi FIFA. Kita butuh banyak waktu untuk membenahi situasi persepakbolaan dalam negeri, dan kalau memang pembekuan PSSI ini adalah langkah yang harus ditempuh, ya ayo kita tempuh bersama-sama. So be it! Suck it up!

Langkah yang kita tempuh memang akan panjang, karena selama ini, suka tidak suka, faktanya adalah kita jalan di tempat. Masalah yang muncul selalu itu-itu lagi. Semuanya repetitif dan mbulet. History repeats itself, kata Karl Marx. The first as a tragedy, the second as a farce. Entah sudah keberapa kali sejarah berulang di persepakbolaan negeri ini. Saya tak tahu apa kata “farce” masih bisa jadi kata yang tepat untuk mendeskripsikan situasi repetisi sejarah di sini.

Soal Juventus

Dari Yunani, kita beralih ke Turin, Italia, di mana kabar baik sedang menaungi kota tempat pabrik mobil FIAT tersebut. Juventus, hegemon sepak bola Italia, akhirnya berhasil kembali ke jajaran elit Eropa setelah memastikan diri lolos ke babak semifinal Liga Champions musim 2014/15. 12 tahun lamanya La Vecchia Signora menunggu untuk kembali menjejak fase ini. Bersama Barcelona, Real Madrid, dan FC Bayern, Juventus menahbiskan diri menjadi salah satu dari empat klub terbaik Eropa musim ini.

Tak sebentar memang penantian tersebut. Namun, pencapaian mereka musim ini adalah buah positif kesabaran mereka, khususnya dalam membangun ulang tim secara keseluruhan setelah farsopoli 2006. Ada proses jatuh bangun di sana. Ada trial and error. Setelah Alessio Secco membuang-buang uang Juventus secara spektakuler lewat berbagai transfer konyolnya, kini Juventus sudah menemukan sosok talisman baru dalam diri Giuseppe “Beppe” Marotta.

Langkah Marotta pun bukannya tanpa rintangan. Ia kerap dikritik lantaran dianggap terlalu pelit di bursa transfer. “Marottanomics” ̶ diambil dari istilah Soccernomics yang dikorup ̶ kemudian menjadi istilah khas bagi cara Marotta bergerak di lantai bursa. Ia sangat berhati-hati dalam bernegosiasi dan tak pernah mau membayar harga yang irasional seperti yang biasa kita temui di Liga Primer Inggris. Hal tersebut sempat membuat Juventus krisis penyerang berkelas, hingga akhirnya Marotta berhasil mencapai kesepakatan memuaskan pada transfer Carlos Tevez, Fernando Llorente, dan Alvaro Morata.

Pertanyaannya, sebagai bangsa yang selama ini alergi terhadap proses, sanggupkah kita menempuh jalan panjang seperti yang ditempuh oleh Juventus? Apakah kita memiliki kesabaran yang cukup untuk melalui proses trial and error ala Secco dan Marotta? Mampukah kita memanfaatkan pembekuan PSSI ini sebagai momentum untuk bangkit?

Semoga.

 

Komentar

This website uses cookies.