Awan gelap belum mau beranjak dari Stadion Sardegna Arena. Sang empunya rumah, Cagliari, akhir pekan lalu (20/2) tersungkur di hadapan tamunya, Torino. Gol tunggal Gleison Bremer sudah cukup buat menekuk Joao Pedro dan kawan-kawan.
Hasil negatif tersebut merupakan yang ketiga beruntun diderita Gli Isolani. Pada dua giornata sebelumnya yakni melawan Lazio (8/2) dan Atalanta (14/2), Cagliari juga mengalami kekalahan dengan skor identik.
Lebih jauh, catatan buruk Joao Pedro dan kawan-kawan di kancah Serie A musim 2020/2021 juga semakin panjang. Dalam 16 pertandingan terakhirnya, Cagliari tak pernah menang. Mereka 11 kali tumbang dan 5 kali seri.
Manisnya kemenangan terakhir kali didapat Gli Isolani di giornata tujuh melawan Sampdoria pada 7 November 2020 silam.
Serentetan hasil jeblok itu mengantar Cagliari terjerembab di papan bawah dan kini menghuni posisi 18 klasemen sementara alias ada di zona degradasi.
Rapor merah itu kemudian menghadiahi Eusebio Di Francesco dengan surat pemecatan. Posisinya lantas digantikan bekas arsitek Arezzo dan SPAL, Leonardo Semplici.
Harapan manajemen sederhana saja, sang pelatih anyar bisa membawa klub yang melambungkan nama Luigi Riva serta meraih Scudetto pada musim 1969/1970 ini sintas di Serie A.
Melihat amunisi tempur Gli Isolani musim ini, keterpurukan mereka bak anomali. Pasalnya, ada nama-nama seperti Kwadwo Asamoah, Diego Godin, Radja Nainggolan, dan Leonardo Pavoletti yang kenyang asam garam.
Ditambah figur semisal Alessio Cragno, Joao Pedro, Nahitan Nandez, Gaston Pereiro, Marko Rog, dan Giovanni Simeone, sejatinya Cagliari punya modal cukup untuk bersaing. Paling tidak, menghuni papan tengah classifica.
Nyatanya, kemampuan yang ada dalam diri pemain-pemain di atas gagal dimaksimalkan Di Francesco sehingga tim terus berkutat di papan bawah. Perubahan formasi dan susunan penggawa inti juga sudah dicoba, tetapi hasilnya nihil.
Dengan koleksi 15 poin dari 23 giornata yang sudah berlangsung, klub dengan baju seragam berwarna merah dan biru ini tertinggal lima angka dari Torino yang menempati peringkat 17.
Peluang lolos dari zona merah tentu masih besar mengingat ada 15 laga lagi yang akan dimainkan Joao Pedro dan kawan-kawan. Namun tanpa perubahan berarti yang dapat dimunculkan Semplici, laga sebanyak itu bisa saja tak berarti.
Pelatih berusia 53 tahun itu mesti menemukan dahulu solusi atas keterpurukan klub yang berdiri tahun 1920 ini. Apakah terkait dengan aspek taktik, mentalitas tim, atau hal lainnya? Bila sudah menemukan biang keroknya, kerja Semplici tentu akan lebih mudah.
Publik Sardinia sendiri pasti ogah melihat tim kebanggaan mereka mengulang cerita suram pada musim 2014/2015 lalu. Ketika itu, Gli Isolani menyelesaikan musim di peringkat 18 dan harus menerima nasib terdegradasi ke Serie B.
Andai gagal mewujudkan misi bertahan, sejumlah penggawa Cagliari yang performanya mengagumkan sepanjang musim ini bakal menjadi rebutan klub-klub lain. Sebut saja Cragno yang digosipkan jadi incaran Internazionale Milano dan Joao Pedro yang diminati Fiorentina.
Nama-nama seperti Nandez, Pereiro, Rog, Simeone sampai Sebastian Walukiewicz juga berpotensi minggat dari Stadion Sardegna Arena guna meneruskan karier di klub lain yang lebih mapan.
Walau mendapat suntikan dana lumayan, membangun skuad dengan materi anyar jelas bukan perkara mudah. Terlebih rimba Serie B terkenal akan kesulitannya yang luar biasa.
Akan tetapi, melihat realita bahwa selama ini Cagliari jadi salah satu lambang perlawanan Italia Selatan terhadap kedigdayaan Italia Utara, rasanya sungguh menyebalkan jika melihat mereka tak berdaya dan terkapar di papan bawah.
Segeralah bangkit Cagliari. Jangan terdegradasi!