Dalam beberapa pekan terakhir, penggemar sepakbola Indonesia kembali menyoroti pagelaran Liga 1 2021/2022. Bukan tentang pelatih atau pemain, atensi lebih fans kali ini terarah kepada para wasit.
Nahasnya, sorotan yang didapat korps baju hitam perihal kinerja mereka tak memperlihatkan sisi positifnya.
Justru, publik sepakbola Indonesia makin geram lantaran begitu banyak sisi negatif yang tampak.
Performa mayoritas wasit maupun asisten wasit di Liga 1 dinilai sangat buruk oleh publik. Kinerja mereka tak mencerminkan kapasitas pengadil lapangan yang profesional.
Ada banyak kejadian-kejadian irasional yang dipamerkan wasit dengan begitu gamblang. Lucunya, hal tersebut senantiasa berulang dan kian sulit diterima nalar.
Ya, bobroknya kualitas wasit Indonesia memang bukan rahasia lagi. Sudah bertahun-tahun korps yang satu ini tak memperlihatkan perubahan dan peningkatan yang signifikan.
Padahal, keberadaan mereka begitu esensial dalam sebuah pertandingan. Lebih-lebih terkait keberlangsungan kompetisi.
Kalimat di atas boleh saja dianggap generalisasi karena masih ada satu atau dua wasit yang memperlihatkan aksi berkualitasnya. Namun patut diingat bahwa yang tampil prima cuma satu atau dua, selebihnya nggatheli kabeh.
Pertandingan sepakbola memang punya segudang dinamika dan kompleksitas. Hal tersebut menuntut konsentrasi tinggi wasit serta asistennya sekaligus pemahaman mereka akan aturan yang ada.
Kapan ia harus meniup peluit tanda pelanggaran. Kapan asisten wasit mesti mengangkat bendera tanda offside dan lain sebagainya.
Bersamaan dengan itu, pengambilan keputusan dari mereka juga harus tepat. Apakah menghadiahkan kartu kuning atau merah kepada pemain yang melakukan aksi kotor. Memberikan tendangan bebas atau penalti kepada sebuah tim dan seterusnya.
Melihat tugas wasit yang sangat kompleks kala berada di lapangan, rasanya wajar menyaksikan mereka berbuat kesalahan. Bukankah manusia memang tempatnya salah dan lupa?
Akan tetapi, kita terlalu sering memaklumi kesalahan-kesalahan dari wasit yang begitu mendasar. Apalagi kalau kesalahan itu menguntungkan kesebelasan yang kita dukung.
Padahal, setiap keputusan wasit memiliki pengaruh luar biasa terhadap jalannya laga. Banyak sekali pertandingan bagus dan menarik di kancah sepakbola Indonesia yang seketika menjadi tak karuan sebab performa jelek wasit.
Pelanggaran seorang bek terhadap striker di kotak penalti yang harusnya berbuah tendangan penalti, ‘disulap’ menjadi tendangan bebas atau bahkan tendangan gawang karena sang striker dianggap diving.
Tak peduli bahwa tayangan ulang sudah menunjukkan dengan jelas adanya aksi culas dari si pemain belakang.
Peluang emas sebuah tim yang besar kemungkinannya menjadi gol tiba-tiba pupus akibat asisten wasit sebegitu mudahnya mengangkat bendera tanda offside. Padahal dari tayangan ulang, pemain yang didakwa offside berdiri pada posisi onside.
Sepakbola Indonesia terasa makin menggemaskan sebab hal sebaliknya juga bisa terjadi!
Gara-gara kinerja buruknya itu pula, muncul segunung pertanyaan yang sebenarnya itu-itu saja dan belum jua berganti.
Sudahkah wasit kita membekali dirinya dengan pemahaman tentang FIFA Laws of The Game? Ataukah mereka selama ini hanya bergerak sesuai instingnya saja ketika bertugas? Bagaimana peran federasi sepakbola nasional (PSSI) dalam meningkatkan kualitas wasit nasional?
Konon, pada tahun 2017 sampai 2020 silam, PSSI menggelontorkan dana sebesar 13 miliar Rupiah untuk mereformasi wasit nasional.
Dengan dana dan rentang waktu tersebut, harusnya ada timbal balik yang terlihat. Namun kenyataan masih berkata sebaliknya.
Terbaru, ada Mustofa Umarella yang disorot tajam performanya saat memimpin laga Persela kontra Persebaya (21/10). Pasalnya, dalam tempo semenit ada dua kesalahan besar yang ia perbuat.
Pertama, tidak mengesahkan tendangan bebas Jose Wilkson yang gagal ditangkap dengan sempurna oleh Dwi Kuswanto.
Bola sepakan striker asal Brasil itu, berdasarkan tayang ulang, sudah melewati garis gawang.
Kedua, Mustofa beserta asisten wasit mengesahkan gol Ivan Carlos yang terjebak offside.
Ivan Carlos sendiri tidak merayakan gol tersebut guna melihat respons sang pengadil lapangan terlebih dahulu.
Tatkala gol disahkan, barulah ia mengangkat tangan seraya dipeluk rekan setimnya.
Menariknya, dalam komentarnya di media sosial Instagram, Ivan Carlos mengakui bahwa sebelum mencetak gol ke gawang Andhika Ramadhani, dirinya sudah berada dalam posisi offside.
Lebih lanjut, penyerang asal Brasil yang sudah malang melintang di kancah sepakbola nasional menyebut bila wasit Indonesia sering sekali membuat keputusan keliru saat memimpin sebuah pertandingan. Satu masalah nyata dalam persepakbolaan nasional.
Preseden-preseden negatif semacam itu pada akhirnya melanggengkan budaya curiga dalam persepakbolaan tanah air, khususnya di kalangan suporter.
Para wasit dianggap bekerja bukan untuk menegakkan aturan serta keadilan melainkan bekerja karena adanya ‘pesanan’.
Tendensi bahwa wasit Indonesia berat sebelah karena berpihak pada salah satu tim yang bertanding takkan pernah sirna di benak publik.
Cerita soal klub tuan rumah yang rajin beroleh keuntungan dengan mendapat hadiah tendangan penalti setiap bertanding akan terus menghiasi persepakbolaan nasional.
Jangan pula terkejut andai wasit Indonesia menjadi korban teror dan perundungan di media sosial.
Sementara PSSI sendiri kerap alpa memberi sanksi kepada wasit yang tidak menjalankan tugasnya dengan paripurna.
Dalam perkembangannya, sudah bermunculan teknologi yang dapat membantu kinerja wasit di lapangan untuk meminimalisasi kesalahan-kesalahan mereka. Misalnya saja Goal Line Technology (GLT) dan Video Assistance Referee (VAR).
Ironisnya, kedua teknologi tersebut belum jua masuk ke tanah air guna membantu pekerjaan korps baju hitam.
Sampai saat ini juga belum ada penjelasan detail mengapa PSSI belum mau menggunakan teknologi di atas.
Alasan bahwa penerapan teknologi di atas membutuhkan biaya yang mahal rasanya terlalu klasik.
Modernisasi sepakbola terus terjadi dan masuknya teknologi dalam permainan ini adalah tandanya. Suka tidak suka, PSSI sebagai penggerak roda sepakbola Indonesia wajib mengikutinya.
Kualitas wasit nasional menjadi satu dari jutaan masalah yang bertumpuk dalam sepakbola Indonesia.
PSSI memiliki kewajiban untuk menyelesaikannya agar iklim sepakbola nasional kian membaik.
Sebab wasit yang baik, berpotensi membuat liga di tanah air juga membaik kendati sedikit (terlepas dari berbagai permasalahan lainnya).
Kecuali, federasi kita memang ingin persepakbolaan Indonesia begini-begini saja lantaran ada kepentingan lain yang mesti didahulukan.