Jalan Wates, sebutan warga DIY untuk jalan utama yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Kulonprogo, memang memanjang sekitar 30 kilometer dari pusat kota. Namun, bagi pengguna bus Jogja-Wates, di jalan sepanjang itu, hanya ada dua nama yang kekal dalam ingatan: Masiyo dan Mukri.
Jika mengatakan kepada kernet bus untuk turun di Mukri, Anda akan diturunkan di daerah Klangon, hanya selemparan batu dari perbatasan Bantul dan Kulonprogo. Sedangkan jika meminta turun di Masiyo, bus akan berhenti di Jalan Wates kilometer 8, tepatnya di pertigaan depan SPBU Balecatur.
“Itu simbah saya,” ujar seorang lelaki berusia sekitar 29 tahun itu. Tak kalah dengan sang kakek, nama pria itu juga cukup terkenal setidaknya di kalangan suporter PSIM Yogyakarta. Ia adalah Johan Arga, cucu dari Masiyo yang terkenal di kalangan pengguna bus Jogja-Wates itu.
Johan, begitu biasa ia dipanggil, merupakan mantan kapten Laskar Mataram saat mengarungi kompetisi ISC B pada tahun 2016. Kami membuat janji untuk bertemu di salah satu outlet makaroni miliknya. Ia datang menggunakan topi khasnya dengan menenteng kantong plastik putih berisi nasi ayam. “Saya sambi makan ya,” ujarnya.
Setengah jam lebih bercakap-cakap, obrolan kami sampai pada cerita tentang sanksi FIFA kepada PSSI pada tahun 2015 yang berimbas kepada ketiadaan liga. Saat itu, Johan sedang membela PSS Sleman dan karena liga tidak berjalan, maka skuad Super Elja dibubarkan.
Para pemain termasuk dirinya kelimpungan mencari nafkah. Hingga datanglah jalan rezeki selain bermain sepakbola di Indonesia. Melalui rekannya yang merupakan kiper dari tim lokal di Sleman, pemain berposisi winger itu mendapat tawaran bermain di Timor Leste.
“Pertama itu, tawarannya cuma tarkam,” ucap Johan. Ia yang diminta mencari pemain mengajak Angga Setiawan, Nurdin, dan Yosi Kurniawan. Ketiganya merupakan pemain yang saat itu sedang berkarier di Jogja. Setelah sehari mengurus paspor dengan modal menembak, berangkatlah mereka ke Dili.
Sampai di Timor Leste, rombongan tenaga kerja Indonesia tersebut diliputi rasa tidak percaya. “Ternyata ada timnya, ada mess-nya, ada manajernya, lalu negosiasi. Kok tarkam ada negosiasi gaji,” ujarnya menceritakan kebingungan. “Oh, mungkin tarkam kelas atas,” kiranya saat itu.
Sampailah pada hari pertandingan. Skuad mereka berangkat dari mess menggunakan mobil pribadi. Kebingungan para pemain Indonesia tersebut semakin menjadi-jadi ketika melihat Stadion Municipal Dili tempat nantinya mereka bermain.
“Sampai stadion ternyata ramai. Ada yang jualan merchandise. Ada penjagaan dari polisi. Masuk ke stadion dibagi co–card,” ucap Johan sambil mengusap-usap tattoo di lengan kirinya.
Di tanda pengenal yang mereka pakai tertulis “Liga Amadora”. Baru saat itulah pemain-pemain impor tersebut tahu bahwa mereka akan bermain di liga resmi Timor Leste. “Wooo, edan,” ujar Johan menirukan perkataaan yang ia ucapkan saat kaget ternyata ia tidak hanya akan sekadar bermain tarkam.
Yang terjadi sebenarnya pada tahun 2015 itu adalah Timor Leste sedang ingin mengadakan liga sepakbola. Lalu diadakan turnamen semacam kualifikasi untuk membagi 24 tim menjadi dua divisi yang nantinya menjadi cikal bakal liga sepakbola profesional Timor Leste. Salah satu dari tim tersebut adalah Kablaki FC, kesebelasan yang mewakili Kota Same, tempat di mana Johan dan kawan-kawannya bermain.
Pada saat turnamen tersebut dilangsungkan, stadion yang dipakai hanya dua. Stadion yang digunakan untuk pertandingan adalah Municipal Dili yang merupakan stadion utama di Timor Leste. Sedangkan satu stadion lainnya yang dibangun dengan dana bantuan FIFA dan berumput sintesis digunakan semua tim untuk latihan.
“Lapangan latihan dibagi untuk 24 tim, yang (berumput) sintetis. Ada yang dapat pagi, ada yang dapat sore. Kalau mau punya lapangan sendiri bisa menyewa. Ada tim yang latihannya di pinggir pantai terus dengan ukuran (lapangan) yang tidak standar,” ungkap mantan pesepakbola berambut cepak tersebut.
Berada di daerah bekas wilayah Indonesia membuat komunikasi tak terlalu menjadi masalah. “Kalau kelahiran tahun 2000 ke atas pasti tidak bisa bahasa Indonesia, tetapi kalau yang kelahiran tahun 1990-an atau 1980-an, ya, bisa. Komunikasi tetap pakai bahasa Indonesia karena mayoritas seumuran,” tutur pemain yang kini menekuni bisnis makaroni itu tentang bahasa yang digunakan di Timor Leste.
Salah satu hal yang tertancap dalam ingatan Johan tersebut adalah kebiasaan unik masyarakat Timor Leste ketika mendengar suara sirine ambulans yang menurutnya sudah menjadi budaya setempat. Ia bercerita bahwa orang-orang Timor Leste akan menghentikan kegiatannya, lalu berdiri menghadap sumber suara ketika mendengar sirine ambulans sebagai bentuk solidaritas kepada orang yang sakit.
“Seperti itu. Ketika ada ambulans lewat, semua berhenti dan berdiri begini,” ujar Johan sambil berdiri menirukan budaya mereka. “Dan itu yang tidak terjadi di Indonesia. Kalau ada ambulans malah naik motornya ke tengah-tengah,” imbuhnya sambil berkelakar mengkritik kebiasaan masyarakat di negeri ini.
Ia menduga hal tersebut juga menjadi kebiasaan masyarakat Timor Leste sehari-hari. Karena sepakbola tak bisa lepas dari budaya yang tumbuh dalam masyarakat, maka kebiasaan unik tersebut juga dilakukan ketika laga berlangsung. “Kalau ada suara ambulans lewat, wasit meniup peluit dan semua menghadap ke arah sirine,” ujarnya dengan nada heran.
“Bahkan di tribun paling atas yang menghadap tembok, mereka menghadap tembok. Setelah suara sirine hilang, (pertandingan) lanjut lagi,” tambahnya menceritakan budaya masyarakat di negara tetangga itu. Menurut Johan, kultur yang mirip juga terjadi di Aceh karena wasit pasti akan menghentikan pertandingan saat terdengar suara adzan sebagai penghormatan.
Hal lain yang lekat dalam ingatan mantan pemain PSIM dan PSS itu adalah dua gol yang ia cetak pada pertandingan pertamanya di Timor Leste. “Langsung masuk media cetak di sana. Sampai saya bawa pulang itu korannya. Sudah saya pajang di rumah,” ungkap Johan. “Di sana, koran terbitnya tiga hari setelah kejadian. Jadi pertandingan sekarang terbitnya tiga hari lagi,” imbuhnya sembari tertawa.
Satu lagi yang berkesan tentu masalah pendapatan. Setelah bergurau tentang klub-klub Indonesia yang sudah terbiasa terlambat membayar gaji, Johan menceritakan upah yang ia dapat di sana. “Lancar kalau di sana, pakai dollar lagi. Nyenengke. Pertama dan terakhir (dibayar pakai dollar),” ungkapnya.
Jika kita terbiasa mendengar karier Patrich Wanggai, Titus Bonai, atau Toni Yuliandri di Timor Leste, ternyata mereka bukanlah yang pertama. Setahun sebelumnya, ada beberapa pesepakbola Indonesia yang tanpa sengaja mereka ikut merintis kompetisi sepakbola profesional di negeri tetangga tersebut. Salah satu dari mereka adalah mantan kapten PSIM Yogyakarta, Johan Arga.