Jorginho: Pelayan yang Dibutuhkan Kai Havertz

Bersama sang ibu, Jorge Luis Frello Filho atau akrab disapa Jorginho pindah dari Brasil menuju Italia saat usianya menginjak 6 tahun. Kisah pilu berupa perceraian bikin ibunya, Maria Tereza, bertekad untuk meninggalkan Negeri Samba demi meraih harapan baru di Negeri Pizza. Terlebih, keluarga mereka memang punya garis keturunan Italia dari sang kakek buyut, Giacomo Frello.

Ibu Jorginho adalah bekas pesepakbola amatir di Brasil. Dirinyalah yang mengenalkan sepakbola kepada sang anak dan ingin putranya menjadi pesepakbola profesional ketika dewasa. Asa itu sendiri terwujud karena Jorginho memiliki ketertarikan yang luar biasa terhadap si kulit bundar. Menjadi wajar kalau dalam setiap wawancara, pria kelahiran Imbituba itu selalu menyebut sang ibu sebagai penyebab ia jatuh cinta kepada sepakbola.

Di tim junior kesebelasan yang merebut Scudetto musim 1984/1985, Hellas Verona, Jorginho menimba ilmu dan mematangkan kemampuannya. Sedari belia, ia memperlihatkan kapabilitas yang ciamik sebagai gelandang. Debutnya bareng I Gialloblu sendiri terjadi pada 4 September 2011 silam.

Semenjak saat itu, ada jutaan impresi yang sukses Jorginho buat. Tak heran bila sejumlah klub mapan tertarik akan jasanya. Mujur bagi Napoli, mereka jadi pihak yang sukses mengamankan jasa Jorginho pada 2014 silam. Bareng I Partenopei juga, khususnya saat dilatih Maurizio Sarri, kiprah pemain yang sekarang berusia 28 tahun tersebut melesat bak roket.

Dalam kolomnya di Sky Sports, James Walker-Roberts menerangkan bahwa Jorginho adalah gelandang dengan visi brilian dan punya akurasi umpan presisi. Ia bisa melihat celah di lini pertahanan lawan yang gampang dieksploitasi. Gaya mainnya bakal mengingatkan kita kepada sosok Andrea Pirlo dan Xavi Hernandez.

“Aku suka memegang bola dan menganalisis permainan. Aku tumbuh di mana Pirlo dan Xavi menarik atensi khalayak. Aku menyaksikan bagaimana mereka beraksi dan mempelajarinya”, papar Jorginho.

Tatkala Sarri didapuk sebagai pelatih Chelsea di tahun 2018, Jorginho jadi sosok pertama yang diinginkan sang pelatih. Manajemen The Blues yang punya duit berlimpah pun rela merogoh kocek senilai 57 juta Poundsterling guna mengangkutnya ke Stadion Stamford Bridge.

Akan tetapi, Jorginho memilih bertahan di London Barat ketika Sarri memutuskan pulang ke Italia buat menangani Juventus per 2019 silam. Sosok setinggi 180 sentimeter ini coba merebut hati sang pelatih anyar sekaligus legenda hidup Chelsea, Frank Lampard.

BACA JUGA:  Lekas Pulih, Zaniolo

Pelayan Ideal bagi Kai Havertz

Sejak Kai Havertz menginjakkan kaki di Inggris dengan harga tebus 72 juta Poundsterling dari Bayer Leverkusen, Lampard terus berupaya memaksimalkan kemampuan sang pemain. Sang pelatih coba memainkan pemuda Jerman itu di sejumlah posisi berbeda. Mulai dari penyerang tengah, winger kanan, hingga gelandang serang. Sayangnya, sampai sejauh ini Havertz belum menunjukkan kualitas terbaiknya.

Sedari awal, saya sendiri sudah curiga bahwa bahwa Havertz cenderung sulit beradaptasi dengan sepakbola menyerang racikan Lampard yang gemar bermain direct. Pasalnya, pemuda berumur 21 tahun tersebut bertipe flamboyan dan tidak mengandalkan kecepatan lari seperti Callum Hudson-Odoi atau Willian Borges (sekarang di Arsenal).

Trigol yang dibuat Havertz dalam laga kontra Barnsley di babak ketiga Piala Liga 2020/2021 juga belum cukup dijadikan legitimasi sebab sang lawan hanyalah kesebelasan kasta kedua. Artinya, kekuatan mereka masih satu level di bawah Chelsea.

Mengingat banderol Havertz yang sundul langit, tentu saja Lampard beroleh tekanan untuk segera memaksimalkan segala potensi yang ada padanya. Seperti halnya Carlo Ancelotti, Andre Villas-Boas, dan Roberto Di Matteo yang dahulu berjuang keras supaya pembelian mahal The Blues di musim dingin 2011, Fernando Torres, dapat mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Lumrah apabila kepindahan Torres ke London Barat sangat diantisipasi banyak orang.

Namun seiring berjalannya waktu, performa Torres terlihat tidak sebombastis nominal transfernya. Ketiadaan pelayan yang mumpuni di Chelsea ditengarai jadi penyebab utama seretnya keran gol pria kelahiran tahun 1984 tersebut. Torres dinilai tak mendapat servis sepadan dari rekan-rekannya di Chelsea seperti yang ia dapatkan dari Xabi Alonso dan Steven Gerrard di Liverpool.

Sudah menjadi tugas yang tak tertulis bagi pelatih untuk mengeluarkan penampilan terbaik dari pemain yang dibeli dengan mahar fantastis. Tuntutan bagi Lampard untuk memacu performa Thiago Silva yang didatangkan secara gratis jelas tak sebesar tekanan untuk bikin Havertz atau Timo Werner nyetel sesegera mungkin.

Guna mewujudkan itu, Lampard membuang sedikit idealismenya saat Chelsea berjumpa Crystal Palace akhir pekan lalu (3/10). Alih-alih bermain dengan formasi 4-3-3, sang gaffer mencoba skema 4-2-3-1 dan menempatkan Havertz di belakang striker tunggal. Harapannya jelas, penggawa mahalnya bisa tampil lebih baik. Apalagi sang pemain menyebut jika ini merupakan posisi favoritnya.

Walau asing melihat Chelsea di bawah arahan Lampard banyak menguasai bola, tetapi mereka sukses tampil elok dengan mereguk kemenangan telak 4-0. Dilansir dari WhoScored, kampiun Liga Champions 2011/2012 tersebut bahkan mencatat penguasaan bola sampai 70,9 persen.

BACA JUGA:  Roberto Mancini dan Misi yang Belum Selesai

Kendati belum signifikan, tapi penampilan Havertz jauh lebih baik dalam laga tersebut. Ia terlihat lebih nyaman dalam beraksi. Bersama Ben Chilwell, Havertz mengukir tiga umpan kunci yang krusial bagi The Blues dalam fase ofensif. Paling tidak, Lampard memiliki referensi baru agar timnya dapat memetik hasil positif secara kontinyu.

Gaya main yang menonjolkan penguasaan bola tentu melambungkan Jorginho sebagai figur vital. Di laga itu sendiri, sang gelandang membukukan 68 umpan sukses dengan 34 di antaranya mengarah ke depan. Seolah belum cukup, Jorginho mengukir rasio keberhasilan operan sebesar 92 persen, bikin dua umpan kunci, enam kali mencatatkan pemulihan penguasaan bola, tiga kali intersep, dan brace via titik penalti.

Lihai berperan sebagai deep-lying playmaker, Jorginho memang lekat dengan status gelandang jenius yang mampu mendikte permainan sejak area depan pertahanan. Di Inggris sendiri, ia sempat terkendala adaptasi karena sepakbola di tanah Britania lebih menuntut ketahanan fisik. Namun seiring waktu, setelah adaptasinya mencapai titik optimal, Jorginho sukses menjadi maestro di sektor tengah Chelsea.

Baik era Sarri maupun Lampard kini, presensi Jorginho sangat penting. Dirinya merupakan inisiator serangan, distributor bola sekaligus pengatur ritme permainan. Ditunjang visi dan akurasi umpan yang paripurna, Jorginho bisa jadi pelayan yang sempurna bagi Havertz supaya bersinar.

Saat bola ada di kakinya, Jorginho bisa mendorong Havertz untuk lebih awas dengan ruang yang tersedia ketika Chelsea melancarkan serangan. Entah menjadi opsi umpan sang wakil kapten atau tidak, tapi Havertz punya kans lebih besar untuk menonjolkan kelebihannya karena bergerak tanpa bola sekalipun, ia pasti mendapat perhatian khusus dari bek-bek lawan.

Patron penguasaan bola yang tengah dicoba Lampard membutuhkan gelandang kreatif yang bisa melihat apa yang tak terlihat oleh pemain lain dan Jorginho menjawab kebutuhan sang pelatih secara tegas. Keahlian sosok bernomor punggung 5 itu untuk melihat ruang di pertahanan lawan seraya melakukan progresi permainan dari kedalaman amat menguntungkan bagi Havertz yang memiliki kebebasan dalam bermain, baik terlibat aktif dalam melancarkan serangan atau justru bertindak sebagai penyelesai di depan gawang.

Komentar
Sesekali mendua pada MotoGP dan Formula 1. Bisa diajak ngobrol di akun twitter @DamarEvans_06