Mengapa Selalu Balotelli?

Usai jeda sekitar dua pekan, lanjutan Serie A musim 2019/2020 dimulai dengan pertandingan antara Brescia yang menjamu Lazio di Stadio Mario Rigamonti (5/12). Pertandingan ini sendiri berakhir dengan skor 1-2 untuk kemenangan I Biancoceleste. Gol kemenangan sang tamu yang dicetak Ciro Immobile pada menit-menit akhir memang menarik atensi, tapi gol yang dibukukan tuan rumah juga bikin publik antusias sebab pengukirnya adalah sosok nyentrik, Mario Balotelli.

Keberhasilan Balotelli mencetak gol di laga tersebut menahbiskannya sebagai pemain pertama yang mengoyak jala lawan di ajang Serie A pada dekade ini. Menariknya, sosok yang dianggap badung ini juga melakukan hal serupa sedekade silam. Pada 6 Januari 2010, Balotelli yang saat itu masih bermain untuk Internazionale Milano, membobol gawang Chievo Verona sekaligus mengunci kemenangan tipis 1-0 bagi I Nerazzurri.

Setelah pertandingan, Balotelli mengunggah cuplikan video gol yang dia cetak ke gawang Lazio. Ada yang menarik dalam keterangan yang ditulis sosok berjuluk Super Mario tersebut. “Untuk pendukung Lazio yang datang ke stadion hari ini, kalian semua memalukan!”.

Hal ini diungkapkan Balotelli setelah dia mendapat ejekan rasis dari pendukung Lazio. Selama pertandingan berlangsung, penyiar di stadion beberapa kali meminta fans sang tamu buat menghentikan nyanyian rasis yang ditujukan kepada Balotelli. Bahkan pelatih Lazio, Simone Inzaghi, lewat gestur tubuhnya juga berulangkali meminta suporter dari timnya untuk tak melakukan tindakan tercela tersebut.

BACA JUGA:  Menunggu Sentuhan Magis Sarri di Lazio

Mesti diakui bahwa rasisme masih susah dihilangkan dari sepakbola Italia. Korbannya pun bukan Balotelli seorang, melainkan mayoritas pemain dengan kulit berwarna atau berbeda etnis. Pada November 2019 lalu, dia menendang bola ke arah suporter Hellas Verona karena terus-terusan mendapat ejekan rasis.

Alih-alih meminta maaf karena perbuatan buruknya, dalam salah satu kesempatan wawancara dengan radio lokal, pimpinan ultras Verona, Luca Castellini, menyebut bahwa Balotelli tidak sepenuhnya bisa disebut sebagai Italiano (orang Italia). Pernyataan ini merujuk pada latar belakang pemain berusia 29 tahun tersebut yang anak imigran asal Ghana.

Ucapan ofensif yang dilontarkan Castellini membuat manajemen I Gialloblu mengambil sikap tegas. Mereka melarang Castellini buat memasuki Stadion Marc’Antonio Bentegodi, markas Verona, selama sebelas tahun atau sampai tahun 2030.

Salah satu borok yang sulit diselesaikan dari Serie A adalah kasus-kasus rasisme yang masih marak terjadi saban musim. Apesnya, sikap federasi sepakbola Italia (FIGC) juga tidak serius dalam menangani masalah ini. Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku rasisme tidak menimbulkan efek jera. Bahkan di sejumlah momen, FIGC seperti membela tindakan rasisme yang dilakukan suporter kepada pemain-pemain dengan kulit berwarna atau berbeda etnis.

Tak perlu heran kalau sepanjang musim ini, Franck Kessie, Kalidou Koulibaly, Romelu Lukaku sampai Miralem Pjanic, menjadi korban rasisme nan biadab itu.

Beberapa waktu lalu, Lukaku via akun instagram pribadinya menyampaikan, “Sepakbola harusnya bisa dinikmati semua orang tanpa diskriminasi yang membuat olahraga ini terasa memalukan.”

 

Lihat postingan ini di Instagram

 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Romelu Lukaku (@romelulukaku) pada


Tindak rasisme yang menerpa Balotelli sungguh disayangkan. Keputusan sang pemain untuk mudik ke Italia dan memperkuat Brescia didasari oleh niat tulus mencari ketenangan karena lebih dekat dengan keluarga. Sebuah hal yang mungkin tidak dirinya temukan dalam kurun sepuluh tahun pamungkas ketika berkelana ke berbagai negara.

BACA JUGA:  Menanti Zlatan Ibrahimovic Kembali

Pasca-menanggalkan baju Inter, Balotelli hijrah ke Inggris guna merumput bersama Manchester City. Sifat nomaden Balotelli menguat selepas itu karena rajin berpindah klub, mulai dari AC Milan, Liverpool, OGC Nice hingga Olympique Marseille.

Sebelum menyetujui tawaran Brescia, sebetulnya Balotelli punya kesempatan untuk bergabung dengan Flamengo atau sejumlah klub Liga Super Cina yang menjanjikan bayaran selangit. Namun Balotelli menepikan itu semua demi memakai seragam I Rondinelle, kendati harus memangkas permintaan gajinya. Di sisi lain, ayah Balotelli ingin melihat putranya membela klub yang berdiri tahun 1911 itu.

Meski memperlihatkan performa yang cukup bagus selama bermain untuk Brescia, Balotelli seolah membuka lagi pekatnya kasus rasisme di Italia. Kemasan kompetisi yang makin apik seiring waktu, nyatanya tak diikuti dengan hilangnya masalah-masalah sejenis.

Persoalan rasisme di sepakbola Italia kudu dibereskan sesegera mungkin. Sudah terlalu banyak pemain-pemain berkemampuan apik yang merumput di Serie A menjadi sasaran empuk perilaku rasis para supoter.

Pihak yang wajib dimintai keseriusannya tentu saja FIGC karena merekalah pemegang kendali sepakbola di Negeri Pizza. Mereka bisa membuat aturan jelas terkait perilaku rasisme yang masih marak. Hukuman-hukuman yang dapat dijatuhkan pun wajib menimbulkan efek jera. Bila FIGC senantiasa menganggap bahwa rasisme adalah masalah sepele, ketertinggalan sepakbola Italia dari negara-negara yang lain adalah keniscayaan.

 

Komentar
Masih menjadi fans Juventus sampai saat ini, entah besok. Sering menjadi komentator dadakan tentang sepak bola dan berbagi foto makanan di akun twitter @briand_fergie.