Pendukung Manchester United memang manja. Terbiasa dengan kepastian akan gelar juara selama klub berada di bawah kendali Sir Alex Ferguson membuat sumbu pendukung United menjadi pendek.
Tapi jangan salah, ini bukan hal buruk. Hal ini justru menunjukkan klub seperti apa Manchester United ini sesungguhnya, dan ketika Louis van Gaal, dalam wawancara usai kekalahan 2-3 kontra West Ham mengatakan bahwa ekspektasi pendukung Manchester United terlalu tinggi, di situlah ia sudah gagal.
Sebenarnya apa yang dikatakan Van Gaal memang masuk akal. Terhitung sejak era manajerial Sir Alex mendekati akhir, ada bom waktu yang diam-diam menghantui klub ini: ketergantungan terhadap Sir Alex itu sendiri.
Di bawah manajer legendaris tersebut, Manchester United sudah berulang kali memiliki skuat compang-camping dan bermain bak ayam tanpa kepala, namun akhirnya mampu meraih kemenangan, bahkan gelar juara. Ketergantungan terhadap “Faktor X” itu yang kemudian di-underestimate oleh semua pihak yang mendukung United.
Namun tetap saja, Van Gaal tidak punya hak untuk berbicara semacam itu. Seorang manajer yang sudah sudi menerima pinangan United seharusnya tahu “jebakan” macam apa yang menantinya di kursi manajer.
Ia boleh berdalih bahwa Manchester United sedang berada dalam masa transisi, tetapi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bertransisi? Haruskah, dan akankah Manchester United menjadi seperti seteru abadi mereka, Liverpool, yang sudah hampir tiga dekade puasa gelar (liga)?
Hal inilah yang sebenarnya paling ditakuti oleh para pendukung dan mereka ingin agar fase transisi ini dijalani dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Lalu ketika “Pewaris Takhta Ferguson” dan “Sang Filsuf Sepak Bola” telah terbukti gagal menyingkirkan awan mendung dari Old Trafford, pihak Manchester United pun siap untuk mengambil langkah drastis.
Tak peduli omongan orang, mereka pun siap untuk bersekutu dengan iblis menggaet Jose Mourinho, sosok yang konon sampai menangis ketika Sir Alex menunjuk David Moyes untuk menjadi suksesornya.
Entah ada hubungannya dengan keputusan Manchester City untuk mengontrak Pep Guardiola atau tidak, yang jelas, sudah sejak lama Jose Mourinho ini diasosiasikan dengan Manchester United.
Sejak ia pertama kali menjejakkan kaki di tanah Inggris, suami Matilde Faria ini sudah digadang-gadang bahwa suatu hari kelak ia akan duduk di bangku cadangan Manchester United dan mengomando tim tersebut. Seakan-akan, ini semua sudah ditulis di langit sejak zaman azali.
Sepintas, Mourinho memang sosok yang sempurna untuk Manchester United. Dengan rekam jejak yang berkilau, manajer berusia 53 tahun ini seakan memang didesain untuk menangani klub-klub haus gelar.
Di bawah Sir Alex, Manchester United memang kerap menunjukkan penampilan atraktif yang membuat Old Trafford dijuluki Teater Mimpi, akan tetapi bukan sekali dua kali pula Setan Merah harus tampil pragmatis demi meraih kemenangan. Mourinho dirasa mampu untuk memenuhi ekspektasi para pendukung yang tidak ingin klub kesayangan mereka terjerembab terlalu dalam.
Meski begitu, bukan Jose Mourinho namanya jika tidak mendatangkan masalah. Manusia satu ini memang merupakan salah satu manajer paling tidak disukai di dunia sepak bola.
Mulai dari perang mulut dengan manajer klub lain, serangan fisik terhadap staf klub rival, hingga perilaku seksis yang menjadi cerita utama comeback-nya ke Chelsea. Sudah menjadi klub paling dibenci di Inggris, kini Manchester United pun menunjuk sosok paling tak disukai pula untuk menjadi manajernya. Waduh!
Namun bukan perilaku menyebalkan lah yang menjadi ancaman tersembunyi seorang Jose Mourinho. Semua orang sudah tahu bahwa ia adalah sosok tak menyenangkan dan asalkan lemari trofi terus terisi, ya peduli setan.
Lagipula, Sir Alex Ferguson sejatinya juga merupakan sosok yang kerap dianggap arogan dan menyebalkan. Adapun, ancaman tersembunyi dari seorang Mourinho adalah bahwa sesungguhnya ia hanya merupakan solusi jangka pendek.
Mourinho memang bertangan dingin, akan tetapi, sejak ia menangani Chelsea pada 2004, Mourinho sudah dipecat sebanyak tiga kali dari pos manajerial. Hanya di Internazionale-lah eksmanajer Uniao Leiria ini mampu berpisah dengan baik-baik dengan klubnya.
Ia ditendang dari Real Madrid dan di-PHK dua kali oleh Chelsea. Inilah yang entah mengapa kerapkali luput dari perhatian orang. CV-nya boleh jadi menterang, akan tetapi, dalam perjalanannya menangani sebuah klub, ia selalu kehilangan kontrol hingga kemudian harus dipaksa angkat kaki.
Semua orang kemudian menunjuk ego Jose Mourinho sebagai kambing hitam, akan tetapi, bukan Mourinho saja sosok manajer hebat yang merupakan seorang egomaniak.
Pep Guardiola adalah seorang egomaniak, begitu pula dengan Alex Ferguson, Arsene Wenger, atau Louis van Gaal. Rasanya, semua manajer tersebut tidak akan besar namanya tanpa menjadi seorang egomaniak dan Manchester United sendiri adalah sebuah klub dengan ego tersendiri yang pada akhirnya membuat ia begitu dikagumi sekaligus dibenci.
Namun kemudian yang menjadi masalah adalah soal bagaimana Louis van Gaal mengakhiri hari-harinya di Old Trafford. Dalam laporan terkini disebutkan bahwa Van Gaal kehilangan respek dari para pemain karena beberapa hal, di antaranya: kritik yang terus menerus, rezim latihan yang kelewat batas, perlakuan “spesial” terhadap Bastian Schweinsteiger, hingga kegagalan mengangkat potensi Memphis Depay ke permukaan.
Hal seperti ini yang sebenarnya kerap terjadi pada sebuah tim yang diasuh oleh Jose Mourinho.
Kita semua tentu masih ingat dengan apa yang terjadi antara Mourinho dengan kapten sekaligus legenda Real Madrid, Iker Casillas. Terlepas dari perlakuan suporter Real Madrid yang juga kurang menyenangkan terhadap legendanya, performa Casillas terus menurun terutama sejak mulai berseteru dengan Mourinho.
Pun begitu pula dengan apa yang terjadi di Chelsea. Menyalahkan staf medis atas penampilan tim yang memprihatinkan jelas tidak membantu siapa pun, apalagi dalam situasi kritis. Entah benar atau tidak, tetapi Mourinho hanya mampu membawa klub asuhannya tampil bagus paling banter tiga musim, sebelum kemudian krisis melanda dan semuanya bubar jalan.
Manchester United adalah klub yang dikenal dengan sustainabilitas. Untuk mencapai sustainabilitas tersebut, klub kelahiran 1878 tersebut selama hampir tiga dekade di bawah Sir Alex, selalu dijalankan dengan tangan besi.
Akan tetapi, untuk bisa memerintah dengan tangan besi di Manchester United, syarat utamanya adalah harus ada gelar dulu. Seorang manajer tak bisa berbuat seenak perut kalau gelar juara tidak ada di tangan. Jika Anda ingat cerita tentang David Moyes yang melarang para pemain mengonsumsi fish and chips, Anda pasti paham apa yang sedang dibicarakan.
Namun, suka tidak suka, Manchester United sudah menjadi “klub biasa” saat ini. Mereka tak lagi spesial, dan siapa pun yang mendukung Manchester United sudah selayaknya menyadari hal ini, karena hal ini akan berpengaruh besar terhadap jalannya klub ini ke depannya.
Mengulang apa yang diraih Sir Alex memang bukannya tidak mungkin, akan tetapi, iklim persepakbolaan modern tampaknya takkan mengizinkan hal serupa untuk terulang. Kesabaran dan sifat permisif adalah kemewahan yang tak bisa lagi dimiliki sebuah klub pada zaman sekarang. Salah salah, Manchester United malah bisa jadi seperti Liverpool.
Jika memang para pendukung United ingin klub kesayangannya berjaya seperti era Fergie, maka Jose Mourinho bukan jawaban yang tepat, akan tetapi jika mereka kemudian sudah sadar bahwa klub ini sudah tak lagi spesial, maka The Special One-lah sosok yang mereka cari.
Risikonya adalah, di bawah Mourinho, pemuda-pemuda macam Jesse Lingard, Marcus Rashford, Timothy Fosu-Mensah, atau Cameron Borthwick-Jackson rasanya akan sulit untuk tampil secara reguler.
Persoalan pemain muda di atas akan erat kaitannya dengan risiko kedua, yakni besarnya jumlah uang yang akan kembali dihamburkan. Menilik skuat United saat ini, rasanya overhaul akan kembali dilakukan.
Kalau kita ingat, Mou-lah yang menendang Juan Mata dari Chelsea, dan ia juga tidak pernah tertarik terhadap Morgan Schneiderlin saat namanya ramai dibicarakan usai tampil gemilang di Southampton. Manajemen United pun rasanya akan nyah nyoh saja apabila Mourinho meminta pemain A, B, C, D untuk didatangkan, karena Mourinho adalah, well, Mourinho.
Meski begitu, Mourinho berpotensi besar untuk mempersembahkan gelar bagi Manchester United, apalagi ia juga memiliki setidaknya tiga motivasi untuk melakukan hal tersebut.
Pertama, pria Portugal ini memang sudah ngebet melatih United sejak belasan tahun silam. Kedua, faktor Pep Guardiola yang menjadi manajer tim tetangga, dan terakhir, keinginannya untuk memperbaiki reputasi yang luluh lantak usai kegagalan di Chelsea.
Tidak ideal memang, mengingat standar ideal Manchester United adalah era Sir Alex, akan tetapi, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Manchester United tak lagi spesial, dan Jose Mourinho boleh jadi merupakan sosok yang tepat untuk segera mengangkat Manchester United di era baru penuh ketidakpastian ini.