Usai memastikan menjadi juara Liga Inggris musim 2015/2016 berkat hasil imbang Tottenham Hotspurs saat melawan Chelsea (3/5), Leicester City adalah fenomena terbaik yang pernah dirasakan para penikmat sepak bola yang hidup di zaman ini.
Leicester tidak hanya memberi inspirasi, tapi ia memberi bahan untuk membuka obrolan manis yang bisa kita tuangkan bersama-sama dengan para kawan di kedai kopi, warung makan pinggir jalan, minimarket pinggir jalan, atau resto mahal di pusat kota.
Leicester musim ini adalah berkah paling nikmat yang patut kira rayakan semeriah mungkin. Dengan cara membicarakannya dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu orang ke orang yang lain.
Meminjam kata pengantar dari Mahfud Ikhwan di buku Tamasya Bola karya Darmanto Simaepa, sepak bola harus ditulis atau dikisahkan (dalam konteks tulisan ini) dengan badan demam, hati berdebar dan tangan gemetar.
Leicester, layak dikisahkan dan dinarasikan dengan sebaik-baiknya dan selama-lamanya. Ia menjadi bagian terbaik dari sepak bola yang terlampau sayang untuk dilewatkan kisahnya.
Catatan gemilang Leicester musim ini harus kalian pahami sebagai narasi terbaik sepak bola yang patut diceritakan nanti ke anak-cucu kita dengan cara yang bombastis, dan bila perlu, gunakan kalimat yang hiperbolis dan luar biasa dahsyat.
Karena capaian Leicester sudah begitu luar biasa, mengingat mereka berada di liga yang bagi sebagian besar orang dirasa cukup sulit untuk dijuarai oleh tim yang tidak belanja pemain dengan jor-joran pada awal musim.
Leicester hanya kalah tiga kali sepanjang musim ini, catatan surealis yang menandakan bahwa beberapa tim besar tidak tampil selayaknya status mereka. Juga menandakan bahwa secara statistik dan uji kepantasan dengan berbagai cara, Leicester adalah selayak-layaknya tim yang berhak menjuarai Liga Inggris musim ini.
Jangan dengarkan orang sinis yang menyangsikan kesuksesan Leicester musim ini. Jangan tanggapi suporter tim lain yang meramalkan Leicester akan degradasi musim depan.
Apa pun capaiannya musim depan dan seterusnya, tim yang dimiliki pengusaha dari Thailand ini adalah juara yang sah dan pantas. Setidaknya, mereka sudah juara liga.
Sesuatu hal penting yang tidak dilakukan Arsenal sejak 12 tahun lalu, dan tidak dirasakan Steven Gerrard sepanjang kariernya bersama Liverpool. Surealis? Mungkin. Menakjubkan? Pasti.
Tapi yang jelas, Leicester adalah kabar baik. Leicester menjadi kabar baik di tengah sepak bola modern yang rentan dengan hegemoni dan dominasi panjang yang tak berkesudahan.
Mari berwisata ke Italia, di mana Juventus baru saja merayakan gelar juara liga untuk kelima kali beruntun. Catatan hebat bagi Si Nyonya Tua, tapi juga tanda tanya besar bagi kapabilitas tim di luar Juventus tentang kesanggupan dan kepantasan mereka bersaing dengan Juventus tiap musimnya.
Kalau tiap musim, tidak ada yang mampu menghentikan Juventus dari tampuk juara, di mana sisi menariknya Liga Italia sebagai sebuah tontonan sepak bola yang menarik?
Nilai kompetitif diperlukan untuk memelihara sisi menghibur sebuah tayangan, apa rasanya membayangkan sebuah tim mampu dominan selama bertahun-tahun tanpa ada pesaing?
Lagipula, sebuah kompetisi butuh nilai kompetitif yang menarik dan menegangkan. Yang membuai imaji penonton sampai ke titik paling gila di dalam benak kepalanya.
Sedikit bergegas ke Jerman, Bayern Munchen baru saja memastikan gelar juara Bundesliga. Kedigdayaan The Bavarian sepanjang musim ini telah memastikan mereka meraih gelar untuk empat kali beruntun dalam empat musim terakhir.
Selanjutnya, mari tamasya ke Prancis di mana klub kaya raya dari ibukota, Paris Saint-Germain sudah memastikan gelar keempatnya dalam empat musim beruntun dengan jarak poin yang terbentang dari peringkat kedua sebanyak 27 poin (terhitung sejak pekan ke 35 musim 2015/16).
Bukankah jarak poin yang terbentang dari PSG dengan peringkat kedua, yakni Olympique Lyon, adalah justifikasi mutlak bahwa Ligue 1 sejatinya mutlak milik Le Parisien? Mengingat kekuatan sumber daya dan materi pemain milik PSG tidak akan mampu disamai dan dikejar oleh para pesaingnya dalam empat tahun terakhir.
Kalaupun Anda mau ikut piknik berlanjut ke Semenanjung Iberia, narasinya tidak akan berbeda jauh dengan liga lain di luar Inggris. Siapa bisa membantah bahwa La Liga sebenarnya adalah medan perang antara dua poros di dua kubu antara poros Catalan (Barcelona) dengan poros Madrid (Real dan Atletico)?
Sekelumit fakta yang tersaji itu adalah contoh nyata bahwa sepak bola yang dibuai dengan hegemoni satu klub tertentu adalah kebosanan yang mematikan euforia di dalam tubuh manusia para penikmat sepak bola.
Hegemoni akan mematikan nalar dan kenikmatan menonton sepak bola, karena kejutan akan selalu menarik untuk dinanti. Tidak hanya perempuan yang menyukai kejutan, para penonton dan penggila sepak bola pun selalu menantikan narasi kejutan dari sepak bola dunia tiap musimnya, dan Leicester City memberikan kenikmatan itu musim ini.
Leicester City, mengutip kembali kalimat di paragraf atas, membuat kita, saya dan Anda, harusnya mampu membicarakan (atau menulis) sepak bola dengan badan demam, hati berdebar dan tangan gemetaran.
Kita bisa membicarakan kesuksesan Claudio Ranieri musim ini dengan mulut berbusa-busa dan semangat meletup-letup dengan kawan di kampus, di warung kopi pinggir kampung, atau di mana pun juga Anda berada saat ini.
Dan hebatnya, kita tak perlu menjadi suporter Leicester City untuk melakukan itu, karena juaranya The Foxes musim ini adalah kemenangan bagi sepak bola.