Kaleidoskop Sepak Bola 2016: Tahun yang Aneh

Saya selalu menduga dan merasa, 2004 adalah tahun yang aneh bagi sepak bola. Saat FC Porto dan Jose Mourinho mengangkangi banyak unggulan untuk menjuarai Liga Champions Eropa dan beberapa bulan setelahnya, mendeklarasikan diri sebagai The Special One.

Juga saat secara ajaib, Yunani dan Otto Rehagel mempecundangi tuan rumah Portugal dua kali di babak putaran grup dan laga final untuk membawa negeri para filsuf menjadi jawara Eropa.

Dugaan itu, kawan-kawan, ternyata salah. Dan kalau Anda bertanya-tanya tahun mana dalam rentang satu dekade terakhir yang layak dilabeli tahun surealis, saya akan dengan lantang menyebut 2016 sebagai jawaban mutlak.

Andai Pablo Picasso masih hidup, tahun 2016 adalah cara terbaik untuk merayakan surealisme hidup yang terjadi di sepak bola.

Saya akan merunut beberapa hal yang terjadi secara surealis dan setengah ajaib di jagat sepak bola titimangsa 2016, satu per satu. Kejadian-kejadian ini, pembaca sekalian, tentu saja murni opini dan penilaian saya pribadi, tanpa perlu diperdebatkan berlebih dan dikritisi dengan cara yang bebal dan banal.

Leicester City juara Liga Primer Inggris 2015/2016

Kalau kesuksesan Porto dan Yunani terasa ajaib, apa jadinya jika tim non-tradisi di Inggris seperti Leicester City, yang di musim sebelumnya finis satu tingkat di atas zona degradasi, tampil mengilap dan sukses menjadi juara dengan selisih poin yang besar?

Sepanjang musim lalu, Leicester City hanya tiga kali kalah, dan sukses mengakhiri musim dengan selisih sepuluh angka dari Arsenal, yang secara surealis pula, menjadi satu-satunya tim yang mampu mengalahkan sang juara secara back to back dan masih harus puas finis di posisi kedua.

Yang membuatnya makin aneh, Leicester tidak dinahkodai pelatih jempolan yang mumpuni, bahkan, ia dilatih manajer yang dilabeli dunia sepak bola modern sebagai orang kuno dan pecundang sejati. Claudio Ranieri bukan nama besar, walau tak bisa disebut pelatih dengan reputasi kecil.

Tapi kalau boleh jujur, capaian magisnya bersama Leicester akan selamanya dikenang sebagai sesuatu yang ajaib, juga aneh. Sama anehnya dengan daftar puncak pencetak gol terbanyak Liga Inggris yang untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir, dikuasai penyerang lokal berkat gelontoran gol Harry Kane dan si chat shit get banged, Jamie Vardy.

Johan Cruyff berpulang

“Sepak bola telah kehilangan sosok yang membuat permainan ini menjadi jauh lebih cantik dari yang bisa dilakukan siapa pun sepanjang sejarahnya”, ujar Gary Lineker mengomentari berpulangnya legenda Ajax yang menjadi kaisar di kerajaan agungnya di Catalan.

Cruyff adalah nama lain bagi sepak bola. Bagi beberapa penikmatnya, seperti saya, sepak bola tidak bisa dilepaskan dari Johan Cruyff. Ia mati-matian mempertaruhkan ego dan harga dirinya yang tinggi demi sepak bola indah dan megah yang diangankan semasa hidup dan kemudian, ia wariskan ketika berpulang.

BACA JUGA:  Mengenang Cristiano Ronaldo Terbaik saat Meraih Ballon d'Or 2008

Cruyff tidak hanya mewariskan pandangan populer seperti “memainkan sepak bola yang sederhana adalah rumit”, namun juga turut memanifestokan golongan para moralis di sepak bola yang berpatokan sederhana, bahwa cara bermain lebih penting dari hasil.

Cara Cruyff memandang sepak bola memang klise dan absurd. Orang utopis macam mana yang bisa dengan bangga percaya bahwa cara bermain yang indah bisa lebih penting dari hasil dan trofi? Juara tanpa mahkota? Istilah itu akan terdengar nonsense jika dunia tidak mengenal ayah dari Jordi Cruyff ini.

Tapi dengan cara itulah, legenda Ajax ini bisa lekang di ingatan, sebagai orang yang tidak hanya membuat sepak bola dimainkan dengan kaki dan otak saja, tapi juga ditulis dengan hati menggebu dan ditonton dengan gairah yang menyala.

Selain Jerman Barat dan AC Milan, ternyata, kanker paru-paru adalah musuh terakhir yang sukses mengalahkan hidup Cruyff di dunia fana. So long, Meneer!

Viking Clap dan gebrakan timnas Islandia di Euro 2016

Hal ini mungkin biasa bagi Anda, tapi bagi saya, Viking Clap yang diperagakan delapan ribu suporter Islandia selama pagelaran Piala Eropa 2016 adalah kenikmatan tersendiri untuk ditonton sekaligus menunjukkan sisi lain yang menarik dari sepak bola.

Tujuh tahun lalu, sekelompok pengurus federasi sepak bola Islandia terbang ke Inggris dan menetap selama lima bulan untuk belajar tata kelola kompetisi dan pengembangan pemain muda.

Misi yang mulia bagi negara yang sehari-hari lekat dengan letusan gunung berapi dan kegelapan panjang sepanjang hari karena letak geografisnya yang dekat Kutub Utara.

Tujuh tahun berselang, Islandia secara ajaib dan surealis menyingkirkan Inggris, yang notabene adalah guru mereka dalam pengembangan sepak bola, sekaligus menancapkan diri sebagai sensasi terbaik di Piala Eropa 2016 di bawah Wales yang sukses melaju hingga semifinal.

Piala Eropa 2016 menjadi penegasan bahwa dunia akhirnya tahu, sepak bola Islandia tak hanya melulu soal Eidur Gudjohnsen dan Gylffi Sigurdsson semata.

Air mata si megalomaniak, Cristiano Ronaldo

Sahih untuk menyebut tahun 2016 sebagai tahunnya Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro. Pria kelahiran Madeira ini menyabet beberapa gelar bergengsi seperti Liga Champions Eropa, Piala Eropa 2016, Ballon d’Or 2016, dan ditutup Piala Dunia Antarklub bersama Real Madrid. Akhir sempurna untuk tahun yang sempurna.

Namun andai boleh menebak, capaian juara bersama Portugal di Piala Eropa tahun ini adalah titik tertinggi karier Ronaldo yang saya yakin, tidak akan rela ia tukar dengan apa pun dan berapa pun gelar individu yang diraihnya selama ini.

BACA JUGA:  Menikmati Sepak Bola

Capaian Ronaldo bersama Portugal adalah puncak karier yang tepat diraihnya di usia yang sangat matang, 31 tahun.

Wajar kemudian kenapa si megalomaniak tersebut menangis haru seusai final melawan tuan rumah Prancis. Wajar pula kenapa kemudian secara surealis, ia yang ditarik keluar lapangan lebih awal karena cedera di partai final, mendadak menjelma menjadi sesosok asisten manajer yang vokal bagi Fernando Santos dan kawan-kawannya di menit-menit akhir babak perpanjangan waktu.

Gelar yang pantas untuk pemain yang pantas. Banyak orang sanksi dengan capaian Portugal di Piala Eropa lalu. Undian yang menguntungkan, gaya bermain yang tidak sedap dipandang, hingga taktik Santos yang dicap tidak atraktif seperti ciri khas Portugal yang kerap disebut sebagai Seleccao das Quinas (Brasil-nya Eropa).

Tapi air mata dan ekspresi Ronaldo di partai final adalah jawaban mutlak, gelar datang untuk orang yang benar-benar menginginkannya sepenuh hati. Vamos y Cristiano!

Surealisme Indonesia di Piala AFF 2016

Ketika membaca poin terakhir ini, lepaskan sebentar status kita sebagai penikmat sepak bola dunia dan untuk sekejap memakai kembali jubah nasionalisme sebagai warga negara Indonesia. Lalu jawab pertanyaan ini, “Bagaimana menurut Anda tentang capaian timnas Indonesia di Piala AFF 2016?”

Saya bisa memberi Anda jawaban panjang lebar tentang analisa taktik timnas, isu pengembangan pemain muda, hingga urgensi darurat federasi untuk segera berbenah, tapi sayang sekali, itu semua percuma.

Indonesia, yang tampil dengan semangat militan dan daya juang tinggi, lolos ke final kelima dalam sejarah sepak bola mereka, sempat mengalahkan tim kuat Thailand di final pertama di Pakansari, kembali gagal dan pulang dengan air mata sendu yang memilukan.

Lolos ke final adalah keajaiban di tengah kompetisi yang amburadul dan federasi yang arah organisasinya terasa tidak jelas. Lolos ke final adalah capaian surealis mengingat baru pertengahan tahun ini, sepak bola negara kita lepas dari sanksi FIFA dan bisa kembali berkompetisi di kancah sepak bola internasional.

Klimaks dari semua surealisme itu, Indonesia lagi-lagi gagal dan kita, kembali dipaksa mencicipi tetes air mata yang turun mengalir dari mata, menyusuri pipi dan singgah di bibir, ternyata, rasanya masih asin.

Kegagalan Indonesia di final AFF adalah penutup yang sendu bagi tahun 2016 yang luar biasa aneh. Saya dibuatnya menangis.

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.