Piala AFF 2016 telah berakhir dengan menahbiskan Thailand sebagai juara. Tak hanya gelar juara, Thailand merebut segalanya pada gelaran ini.
Sang kapten, Teerasil Dangda, menjadi pencetak gol terbanyak dengan torehan 6 gol. Sementara Chanathip Songkrasin, diganjar gelar pemain terbaik. Ditambah lagi Fair Play Award juga jatuh pada Thailand.
Tidak heran apabila Thailand mampu merebut semua penghargaan yang ada karena sepak bola mereka bukan lagi Asia Tenggara, namun Asia. Dihiasi pemain-pemain seperti Charyl Chappuis, Theeraton Bunmathan, Tristan Do, dan pemain-pemain berkelas lainnya, mungkin hanya Australia yang dapat mengimbangi tim Gajah Putih.
Belum lagi, Thailand masih punya Adisak Kraisorn, penyerang andalan, yang entah mengapa tidak dibawa pada turnamen ini.
Lalu Indonesia dapat apa? Indonesia mendapat euforia, selain gelar juara tentunya. Di tengah panasnya politik dan isu keagamaan, kiprah Indonesia di Piala AFF 2016 bak oasis di padang gurun. Dukungan-dukungan kepada timnas menjadi sebuah penyegaran.
Sebelum Piala AFF 2016 dimulai, suhu politik Indonesia memang sedang panas. Ditambah lagi isu keagamaan yang membuat suasana semakin gaduh. Rakyat Indonesia seperti terpecah menjadi dua kubu yang siap beradu.
Di tengah suasana seperti inilah Indonesia berpartisipasi dalam gelaran Piala AFF. Kondisi tim sendiri juga tak kalah buruk. Hanya boleh memanggil dua pemain dari tiap kesebelasan dan waktu persiapan yang minim bukan modal yang ideal untuk menghadapi sebuah turnamen.
Namun, Dewi Fortuna agaknya masih sayang. Mengawali turnamen dengan kekalahan 4-2dari Thailand dan bermain buruk sepanjang fase grup, Indonesia tetap mampu lolos.
Euforia pecah ketika Stefano Lilipaly berhasil menjebol gawang Singapura yang meloloskan Indonesia ke babak semifinal. Rakyat Indonesia menyatukan dukungan dan mengesampingkan konflik politik serta agama untuk sementara.
Dukungan juga datang dari Radja Nainggolan dan Ezra Walian, pesepak bola berdarah Indonesia yang sedang bermain untuk AS Roma dan Ajax U-21. Tak ketinggalan, Kristian Adelmund, mantan pemain PSS Sleman, memberikan dukungannya.
Di Indonesia sendiri, saat semifinal leg I dan final leg I, puluhan ribu orang berbondong-bondong menuju Stadion Pakansari untuk menyaksikan timnas berlaga. Itu baru yang di stadion. Kafe, angkringan, hingga kamar kos mendadak menjadi tempat nonton bareng bagi suporter yang tidak dapat datang ke stadion.
Bahkan, di SMA Negeri 1 Yogyakarta, tempat saya pernah bersekolah, sebuah kelas disulap menjadi tempat nonton bareng menggunakan proyektor yang sejatinya digunakan untuk kegiatan belajar.
Menurut Franklin Poer, proses identifikasi diri, sosial, dan kebudayaan yang sama membuat manusia merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar di luar dirinya. Proses identifikasi diri inilah yang melahirkan identitas yang kemudian membangkitkan perasaan sebagai satu kesatuan, yaitu sebagai suporter Indonesia.
Individu-individu yang awalnya tak saling mengenal namun karena menjadi sesama pemuja timnas Indonesia, menjadi satu ikatan yang erat. Inilah yang kami rasakan, baik di stadion maupun tempat nobar. Kami tinggalakan atribut suku, ras, agama, demi satu keinginan, Indonesia juara.
Sebuah asa bagi saya untuk membuat rakyat Indonesia tetap dalam satu kesatuan dalam situasi seperti ini. Bagi kami, tidak masalah timnas Indonesia dipimpin Boaz Solossa, apa pun sukunya, apa pun agamanya.
Boaz juga menunjukkan bahwa ia berhati besar. Ketika banyak anak Papua tidak mendapat keadilan, Boaz masih mau memimpin Indonesia berlaga. Hitung saja, sudah berapa kali muka Indonesia diselamatkan anak Papua bernama Boaz Solossa, setidaknya dalam sepak bola. Sebuah apresiasi tersendiri bagi kapten Persipura.
Kami tetap bahagia bahkan jika diwakili oleh orang-orang dari suku yang berbeda di kejuaraan ini. Ferdinan Sinaga berdarah Batak, Boaz Solossa anak kebanggaan Papua, Manahati Lestusen asal Maluku, Lerby Eliandri dari Kalimantan, Bayu Pradana kelahiran Jawa, hingga Stefano Lilipaly yang besar di Belanda.
Timnas Indonesia merupakan potret kebhinnekaan.
Inilah yang akan saya rindukan dari gelaran Piala AFF 2016. Saya bakal rindu timnas Indonesia yang dapat menyatukan rakyat. Saya ingin duduk kembali bersama orang-orang yang awalnya tidak kenal untuk bersama-sama mendukung Indonesia. Saya ingin perasaan saya terikat lagi dengan jutaan orang yang ingin Indonesia juara.
Walaupun pada akhirnya gagal meraih juara. Timnas Indonesia akan tetap menjadi juara di hati para pendukungnya. Seperti kata Bayu Pradana lewat sebuah video garapan salah satu kanal futsal Indonesia, “Sejatinya tim ini sudah menjadi juara. Kami adalah pemenang. Kami telah memenangkan persatuan Indonesia.”