Seorang kawan terpana melihat kebesaran Stadion Camp Nou. Padahal stadion itu sudah terhitung uzur. Beberapa waktu kemudian ia kaget dengan kemegahan Santiago Bernabeu. Padahal ia merupakan suporter FC Barcelona.
Apa yang dilakukan teman penulis tidaklah heran. Manusia memiliki kecenderungan untuk terkagum-kagum dengan sesuatu yang berdimensi besar. Maka dari itu, muncul ungkapan size does matter. Padahal semakin besar tidak berarti kian baik juga.
Bagi sebuah klub sepak bola profesional, kehadiran stadion sangat lah penting. Saking pentingnya, beberapa pemain berlabel superstar kadang dijual agar pembangunan stadion berjalan lancar.
Tanya saja David Villa, David Silva, Nikola Zigic, dan Carlos Marchena yang harus dijual agar proyek Nou Mestalla bisa berlanjut. Meski sampai sekarang proyek tersebut terhenti karena kesulitan keuangan yang melanda Valencia. Padahal Nou Mestalla diproyeksikan akan menyaingi Santiago Bernabeu dan Camp Nou dengan kapasitas 73.200 kursi.
Arsenal merupakan contoh lain dari pentingnya sebuah stadion. Stadion Highbury dirasa terlalu kecil untuk klub sebesar Arsenal. Padahal pada awalnya stadion Highbury memiliki kapasitas 70.000 penonton, namun sejak kasus Hillsborough pada 1989 Arsenal dan stadion-stadion di Inggris diwajibkan seluruhnya memiliki kursi. Oleh karenanya kapasitas Highbury pun menurun menjadi 38.000 penonton.
Bagi klub seperti Arsenal, jumlah 38.000 kursi terlalu kerdil jika dibandingkan dengan Old Trafford yang dipugar menjadi 75.635 kursi pada 1996. Oleh karenanya, Arsenal membangun stadion baru di Ashburton Grove dengan biaya pembangunan sebesar 390 juta pounds pada 2004.
Pintarnya, Arsenal mendapatkan tambahan 100 juta pounds dari Emirates Airlines sebagai hak penamaan stadion. Kerja sama dengan Emirates disebut-sebut sebagai kerja sama terbesar sepanjang sejarah sepak bola Inggris, kala itu.
Granada Media mengambil lima persen saham klub dengan menginvestasikan sebesar 47 juta poundsterling. Lalu kerja sama dengan apparel Nike yang dilaporkan mencapai 130 juta pounds. Kini kostum Arsenal disediakan oleh Puma, setelah bekerja sama dengan Nike selama 20 tahun berakhir pada 2014.
Dengan total nilai kerja sama mencapai 277 juta pounds, tidak heran jika pada Januari 2014 Arsene Wenger mengumumkan jika Arsenal sudah membayar lunas pinjaman Stadion Emirates dan siap untuk mendatangkan pemain-pemain mahal.
Mesut Ozil, Alexis Sanchez, Danny Welbeck, dan Petr Cech adalah nama-nama yang telah dibeli. Tidak menutup kemungkinan pada masa mendatang Arsenal memboyong pemain berlabel superstar lainnya, dengan anggapan dan target menjadi juara Liga Inggris dan Liga Champions.
Pada zaman dahulu klub tidak pernah memperhitungkan pemasukan dari penjualan tiket stadion. Akan tetapi dengan terus naiknya kebutuhan klub agar dapat bersaing dengan tim lainnya, maka penjualan tiket serta penjualan makanan di stadion menjadi sebuah kewajiban.
Everton pun memiliki hasrat untuk memiliki stadion baru dengan kapasitas besar demi meraup keuntungan lebih. Maka tidak heran, kala Farhad Moshiri membeli 49,9 persen saham Everton, Bill Kenwright bermimpi memiliki stadion. Begitu pula dengan Evertonian.
Klub sadar, meski harga tiket dinaikan (seperti yang terjadi di Inggris saat ini), jumlah penonton tidak akan pernah surut. Klub tidak lagi mengarahkan tujuannya kepada (keloyalitasan) penonton lokal, yang jarak rumah dari stadion hanya selemparan batu.
Namun para turis dari luar negeri. Tengok saja, beberapa wajah Asia kerap terlihat di stadion-stadion, bahkan di tribun yang dekat dengan lapangan di mana harganya tentu saja sangat mahal. Singkat kata, klub mengkapitalkan globalisasi.
Tengok lah Leicester City. Klub semenjana yang kini berada dipuncak klasemen Liga Inggris ini sempat dijerat hutang sebesar 30 juta pounds pada 2002, pasca-Stadion The Walkers rampung. Alasannya karena Leicester terdegradasi dari Premier League kala itu.
Demi menyeimbangkan neraca keuangan, Leicester menjual hak stadion ke lembaga pensiunan Amerika, TIAA-CREF. Kelegaan muncul ketika King Power membeli The Walkers, stadion berganti nama menjadi King Power Stadium pada 2013. Di laporan keuangan 2015, Leicester menulis 10,7 juta pounds pada bagian penjualan tiket.
Saat ini sebuah stadion bukan saja sebagai tempat klub pemilik bertanding. Bayern Munchen adalah contohnya. Dengan kapasitas Allianz Arena yang hanya 67 ribu, kini Bayern menginginkan agar kursinya ditambah menjadi 75.000. Selain demi pemasukan kala Bayern bertanding, juga demi Euro 2020 yang dilaksanakan di 13 kota Eropa.
Kota Munchen melakukan penawaran Paket A, yang meliputi tiga laga fase grup dan satu laga 16 besar atau perempat final. Kemudian di Paket B, yang meliputi semifinal dan final. Namun terdengar kabar Munchen urung di Paket B.
Pentingkah bagi Bayern Munchen? Penting. Pemasukan sih sudah pasti. Namun tereksposnya nama stadion dan klub ke seluruh penjuru dunia menjadi iklan gratis (karena tidak melakukan pembayaran secara riil untuk hal itu).
Problem Bayern Munchen hanya satu, kapasitas yang disyaratkan UEFA adalah stadion dengan 70.000 kursi. Sedangkan Allianz Arena mengalami pengurangan kapasitas menjadi 67,812 untuk laga internasional dan kompetisi level Eropa.
Ide Real Madrid selangkah lebih maju dibanding kebanyakan klub. Santiago Bernabeu yang memiliki kapasitas 81.044 kursi akan dirombak menjadi 93.000 kursi sehingga menjadikannya sebagai stadion bintang lima terbesar ketiga, setelah Camp Nou dan Azteca Stadium.
Ambisi Florentino Perez tidak main-main. Selain penambahan kapasitas, Bernabeu pun akan menambahkan interior baru seperti ruang VIP yang lebih eksklusif, atap yang bisa dibuka-tutup, tampilan eksterior yang ditutupi lampu LED, perkantoran, restoran, mall, hotel, museum klub yang baru serta area parkir bawah tanah. Bukan main mewahnya!
Demi proyek tersebut, Real Madrid membutuhkan dana sebesar 400 juta euro. Agar bisa tercapai, maka Perez akan menjual penamaan stadion. Nama Petroleum Investment Company (PIC), Microsoft serta Coca-Cola sempat muncul ke permukaan.
Sialnya, Tio Flo harus lebih bersabar setelah ambisi besarnya dihentikan oleh Pengadilan Tinggi Kota Madrid. Pengadilan meminta agar Real Madrid menunda perombakan stadion karena Komisi Investigasi Eropa melakukan penyelidikan terhadap kecurigaan adanya bantuan ilegal dari pemerintah Kota Madrid.
Padahal sebelumnya Pengadilan Tinggi Madrid, Dewan Kota Madrid, serta Perencanaan Pembangunan Umum kota Madrid telah mengeluarkan persetujuannya.
Jika Real Madrid hanya memperbaharui stadion lama, lain lagi dengan sang rival, FC Barcelona. Barca memiliki ambisi membangun stadion baru, di tanah yang sekarang dibangun Camp Nou.
Jika Real Madrid lebih memilih sisi ekonomi dalam perencanaan, maka FC Barcelona lebih kepada sisi olahraga. Rencananya proyek yang dinamai Espai ini ditenggarai sebagai kompleks olahraga terbesar dan terbaik di dunia yang terletak di tengah kota.
Bayangkan, 105.000 penonton di stadion, 12.000 di Palau (semacam GOR), arena olahraga es, zona sosial dan komersial, perkantoran, akademi La Masia dan tempat parkir berkapasitas 5.000 mobil berada di satu tempat di pusat kota. Luar biasa kan? Eits, nanti dulu.
Dengan perkiraan menelan biaya sebesar 600 juta euro, FC Barcelona mengalami kesulitan dalam pembiayaannya. Maka dari itu, klub sudah mengumumkan akan memberikan hak penamaan kepada sponsor.
Qatar Sport Investment (QSI) sempat melirik terhadap penawaran tersebut. Akan tetapi klub asal Katalunya ini terkesan mau tidak mau kepada QSI. Alasannya sederhana, karena Qatar disinyalir menjadi pendukung dana kelompok teroris dan tindakan pemerintah di pembangunan stadion Piala Dunia. Keengganan ini pun menjalar kepada kerja sama sponsor di jersey yang akan habis sebentar lagi.
Kenapa klub-klub berlomba membangun stadion yang mewah, sementara di sisi lain hak siar televisi melonjak naik? Alasannya sederhana, seperti rekan saya di paragraf pertama tadi. Klub sepak bola sadar, meski mendapatkan hak siar yang besar, penonton akan tetap mau datang ke stadion untuk merasakan sensasi berbeda.
Menurut studi yang dilakukan Deloitte, menyebutkan jika pemasukan dari tiket stadion sangatlah vital bagi sebuah klub. “Sementara pemasukan dri TV terus menanjak di kebanyakan liga, ini tidak menolong tim sehubungan dengan skuat. Untuk memperbaiki kemampuan klub untuk bersaing secara finansial, stadion lah yang menjadi keuntungan terbesar,” kata Andrew Hampel, CEO ISG.
Lebih jauh lagi, Deloitte menemukan fakta jika sembilan klub top dunia berada di posisi sembilan teratas dalam pemasukan dari penjualan tiket.
“Meski tanpa perbaikan yang signifikan (yang penting ada renovasi, meski dalam skala minor), sangat memungkinkan bagi sebuah klub untuk memperbaiki pengalaman menonton pertandingan bagi konsumen (suporter) dan menaikan kemampuan pemasukan dari penjualan tiket,” lanjut Hampel.
Ya, stadion adalah sebuah panggung bagi skuat untuk menunjukan kebolehannya di hadapan suporter. Ini sebabnya ada ungkapan pertandingan home sering menentukan bagi pihak tuan rumah. Ada semangat yang dipacu oleh para fans yang hadir di stadion.
Para penonton pun tidak datang ke stadion untuk melihat kekalahan atau permainan monoton dari tim jagoannya. Tidak pula untuk melihat pemain kelas kelurahan atau amatiran bermain karena telah membayar tiket yang mahal.
Oleh sebabnya banyak klub mendatangkan pemain yang terkenal, bukan hanya untuk membantu kemampuan skuat tim utama dan penjualan merchandise, tapi juga untuk menarik minat penonton.
Lihat saja betapa penuhnya Santiago Bernabeau kala Cristiano Ronaldo diperkenalkan ke publik. Kala itu, CR meski dikawal oleh pihak keamanan dan acara dihentikan di tengah jalan sebab banyak fans yang memasuki lapangan.
Bagi sebuah negara, kehadiran stadion sangat lah penting. Hungaria ingin membangun kembali kekuatan sepak bola melalui pembangunan stadion-stadion agar tercipta reinkarnasi Mighty Magyars.
Lalu Soekarno berambisi membangun kompleks olahraga Senayan dengan menjadikan Gelora Senayan sebagai permatanya agar Indonesia tidak dipandang sebelah mata oleh negara-negara lain. Dengan meminjam uang dari Uni Soviet, Soekarno membangun stadion termegah di Asia Tenggara kala itu dan stadion terbesar se-Indonesia dengan kapasitas 100.000 orang.
Portugal pernah menghabiskan 732 juta dolar Amerika untuk membayar biaya konstuksi tujuh stadion baru demi Euro 2004. Jumlah ini masih kecil dibandingkan Piala Dunia 2002 Jepang Korea, di mana Jepang menghabiskan 4,5 miliar dolar Amerika untuk membangun tujuh stadion baru dan merenovasi tiga stadion lainnya.
Di Piala Dunia 2014 Brasil menghabiskan 14 miliar dolar Amerika dan dilaporkan 3,6 miliar dolar Amerika dihabiskan untuk bagian pembangunan dan renovasi stadion. Tentu saja tindakan pemerintah Brazil mendapatkan protes besar-besaran karena kondisi rakyat yang masih tergolong miskin.
Meski muncul kontroversi, pemerintah Brasil tidak hanya memikirkan citra negara semata.
Contoh yang paling menonjol adalah kala San Francisco 49ers membangun stadion baru pada 1997 dengan slogan “Build the Stadium-Create the Jobs!”. Betul, dengan pembangunan stadion maka akan tercipta lapangan pekerjaan di stadion dan area sekitaran stadion pun akan terbangun pula.
Lapangan pekerjaan yang muncul tidak membataskan diri pada sektor konstruksi stadion dan perumahan semata. Hotel, restoran, toko-toko cinderamata dan perkantoran di seputaran stadion akan membutuhkan SDM.
Kasus terbaru adalah pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah Qatar dalam pembangunan stadion Piala Dunia. Faktor keamanan para pekerja yang tidak mendapatkan perhatian, pemondokan pekerja yang jauh dari manusiawi, tanpa adanya air bersih, dan tidur berjejal serta gaji yang minim serta mesti dipotong untuk agen pembawa pekerja, mendatangkan simpati dari mata internasional.
Tapi pemerintah Qatar masih terus melanjutkan pembangunan stadion hingga saat ini. Ada lobi politik tertentu dan urgensi bagi Qatar untuk menghelat Piala Dunia. Bukan untuk alasan ekonomi jangka pendek, namun jangka panjang, dan citra negara. Akan tetapi sebelum citra tersebut diraih di Piala Dunia, nama Qatar sudah tercoreng merah darah.
Sebagai contoh lebih dekat, ketika Liga Indonesia distop, bukan hanya klub, pesepak bola dan suporter saja yang menyatakan nada protes. Pedagang asongan yang biasa masuk stadion dan para calo pun menyatakan keluh kesahnya. Meski dua pekerjaan terakhir tadi bukan termasuk pekerjaan formal, akan tetapi tetap saja menghidupi banyak orang.
Kini dengan adanya aturan Financial Fair Play (FFP), seharusnya membuat klub bisa lebih santai dan tidak khawatir terjadi kesenjangan skuat. FFP sedikit banyak mengekang klub-klub untuk menghabiskan dana untuk membeli pemain terbaik, tanpa memperhitungkan kerugian.
Oleh karenanya, klub yang kurang mapan bisa fokus ke pembangunan stadion untuk menciptakan pemasukan ekstra di masa mendatang.
“Di era Financial Fair Play, kemampuan klub untuk meningkatkan pengalaman menonton bagi suporter telah naik. Pemasukan jangka panjang yang stabil sangatlah vital dan stadion adalah opsi yang terbaik,” kata Richard Cheesman, direktur Pembangunan Bisnis dan Pembiayaan ISG.
Betul apa kata Cheesman. Galatasaray yang telah menjadi klien ISG berada di 18 klub yang mendapatkan pemasukan dari tiket stadion. Padahal Galatasaray berada di luar lima liga top Eropa.
Lalu ada Atletico Madrid yang naik menjadi posisi 15, Tottenham Hotspur di peringkat 13. Lalu ada FC Barcelona yang menjadi satu-satunya klub dari empat klub penghuni posisi empat besar yang meraih pemasukan penjualan tiket lebih dari 100 juta euro pertahunnya.
Itu sebabnya pada Liga Indonesia disebutkan jika stadion sebagai salah satu poin verifikasi infrastruktur yang cukup penting bagi keprofesionalan klub. Sayangnya, atas dasar beragam alasan, masih banyak klub yang nomaden alias tidak memiliki kandang yang pasti. Padahal selain demi pemasukan dari penjualan tiket, klub pun akan bisa membangun basis massa supporter secara terencana.