Belakangan ini, Tottenham Hotspur kian sering jadi topik utama pembicaraan para penggemar sepakbola. Salah satu penyebabnya adalah moncernya duet Harry Kane dan Son Heung-min.
Penampilan apik keduanya membantu The Lilywhites nangkring di puncak klasemen sementara Liga Primer Inggris. Mengungguli nama-nama seperti Chelsea, Liverpool (meski punya koleksi angka yang sama), dan duo Manchester.
Bicara performa individu, duet Kane dan Son memang eksepsional sejauh ini. Berdasarkan statistik yang dihimpun dari Transfermarkt, nama pertama sudah mengoleksi 7 gol dan 9 asis. Sementara figur kedua menciptakan 9 gol dan 2 asis. Keduanya menjadi senjata andalan Jose Mourinho dalam meramu strategi. Sedangkan para manajer game Fantasy Premier League (FPL) mengandalkan keduanya buat mendulang poin.
Ada satu kesamaan yang menarik dari Kane dan Son yaitu sama-sama pernah diremehkan. Ya, keduanya sempat dipandang sebelah mata saat memulai kiprahnya bareng tim asal London Utara tersebut. Bahkan Kane sudah disepelekan oleh banyak orang sejak awal kariernya sebagai pesepakbola.
Akan tetapi, semua anggapan miring tentang dirinya justru dijadikan Kane sebagai motivasi untuk membuktikan bahwa pandangan mereka kepadanya salah.
Terbukti, sekarang dirinya merupakan striker yang sangat produktif dan digadang-gadang sebagai salah satu yang terbaik di generasinya. Gol begitu rajin lahir dari kepala maupun kakinya.
Siapapun tahu, ada proses teramat panjang yang kudu dilalui Kane sebelum melambung bersama Tottenham. Bila menengok perjalanan kariernya, mungkin tak ada yang menduga kalau lelaki kelahiran Walthamstow ini bakal menjadi bintang lapangan hijau.
Kane sendiri merupakan jebolan akademi The Lilywhites. Namun ia tak langsung menembus tim utama. Dalam rentang 2011 hingga 2014, Kane berpetualang ke seantero Inggris dengan status pinjaman. Tercatat, ada Leyton Orient, Millwall, Norwich City, dan Leicester City yang mengenakan jasanya.
Terus dipinjamkan demi mendapat pengalaman memang membentuk gaya bermain sang juru gedor. Sayangnya, hal itu tak berujung pada produktivitas yang mengagumkan. Bersama tim-tim di atas, Kane tak pernah mencetak dua digit gol dalam semusim.
Kedatangan pelatih berpaspor Argentina, Mauricio Pochettino, pada musim panas 2014 rupanya mengubah nasib Kane. Alih-alih meminjamkan Kane ke klub lain, Pochettino malah dijadikan tumpuan baru Tottenham di sektor depan.
Kesempatan tersebut tak disia-siakan Kane yang melesat sebagai penyerang trengginas dan mesti diwaspadai siapa saja. Bahkan di musim 2015/2016 dan 2016/2017, Kane sanggup merebut status pencetak gol terbanyak Liga Primer Inggris.
Bila perkembangan Kane terbantu urusan geografis karena selalu ada di Inggris, maka Son kudu melintasi benua untuk membuktikan kapasitasnya sebagai pemain jempolan.
Sempat membela tim junior FC Seoul, pria kelahiran Chuncheon ini lalu minggat ke Jerman demi mengambil kesempatan bergabung dengan akademi Hamburger SV. Padahal, ada sentimen negatif yang mengikutinya saat itu. Ya, bisa apa bocah asal Asia di pentas Eropa?
Walau terkesan nekat, tetapi keputusan Son berbuah manis. Performa bagusnya selama memperkuat tim junior bikin staf pelatih tim utama Die Rothosen mempromosikannya per musim 2010/2011. Bermodal kesabaran dan keuletannya dalam menempa diri, Son lantas jadi andalan baru klub yang kini berlaga di 2. Bundesliga tersebut.
Melihat performa ciamik Son, Bayer Leverkusen lalu datang membawa penawaran yang sulit ditampik Hamburg. Per musim 2013/2014, pria Korea Selatan ini pun resmi hijrah ke Stadion BayArena. Aksi-aksinya yang tak kenal lelah di lapangan bikin suporter Leverkusen menyukainya. Dua musim pertamanya mengenakan baju Die Werkself, Son selalu mengepak dua digit gol.
Penampilan heroik itulah yang menggoda Tottenham buat merekrutnya pada musim panas 2015 silam. Berbekal fulus 30 juta Euro, tanda tangan Son berhasil didapat The Lilywhites.
Transfer itu sendiri membuat Son memecahkan rekor transfer pemain Asia termahal milik Hidetoshi Nakata sebesar 25 juta Euro ketika pindah dari AS Roma ke Parma pada 2001 silam.
Persis seperti yang dialami Kane, Son juga tak langsung mendapat pos reguler di starting eleven Tottenham. Namun berkat usaha keras dan semangatnya, Son mampu mengubah pandangan Pochettino. Akhirnya, pemain bernomor punggung 7 ini kian paten mengisi salah satu slot di lini tengah maupun depan.
Peran Jose Mourinho
Saat Pochettino didepak dan digantikan Mourinho di pengujung tahun 2019 kemarin, ada begitu banyak keraguan yang menyeruak. Benar jika lelaki Portugal tersebut salah satu maestro di ranah taktik, tetapi belakangan ini ramuannya justru kerap macet dan monoton.
Banyak sekali pihak yang menilai Tottenham telah salah membuat keputusan. Apalagi gaya main khas Pochettino dan Mourinho laksana dua sisi mata uang.
Namun dengan kualitas, pengalaman dan pengetahuannya akan kelebihan skuad The Lilywhites, Mourinho berhasil membungkam suara-suara sumbang yang mengiringi kedatangannya di Stadion Tottenham. Sempat terseok-seok di awal musim, klub yang memiliki rivalitas sengit dengan Arsenal ini finis di peringkat enam Liga Primer Inggris musim kemarin.
Mereka juga mengakhiri kampanye di Piala FA pada babak kelima dan Liga Champions di fase 16 besar. Sebuah catatan yang lebih jeblok ketimbang sebelumnya, tetapi dianggap sebagai rapor yang cukup baik sebab Mourinho ada pada momen mereparasi tim.
Gebrakan yang dinantikan itu pun mulai tampak di musim 2020/2021. Sejauh ini, Tottenham berhasil memperlihatkan performa yang begitu konsisten. Khusus di lini serang, ada kedinamisan yang dimunculkan Mourinho. Hal tersebut bikin duet Kane dan Son punya ruang lebih untuk memamerkan kemampuannya.
Kane yang merupakan striker klasik tapi lihai melakukan link up play ditempatkan sang pelatih di pos striker tunggal atau penyerang tengah. Sementara Son diplot sebagai winger maupun gelandang serang.
Kendati demikian, kedua pemain ini acap melakukan permutasi posisi. Kane yang seharusnya ada di tengah dan jadi eksekutor, tiba-tiba bergerak menyisir area sayap atau malah berdiri di belakang Son yang maju ke depan serta mengisi ruang yang ditinggalkan Kane.
Pertukaran posisi itu juga yang membuat lini belakang lawan kebingungan lantaran para bek tengah yang ditugaskan menjaga Kane justru ikut tertarik dengan pergerakannya sehingga Son lepas dari kawalan dan jadi eksekutor peluang.
Begitu pula sebaliknya, kelebihan Son dalam memegang bola, menarik atensi lawan dan melepas umpan bikin Kane yang piawai mencari ruang bisa dengan mudah mencetak gol.
Duet Kane dan Son di Tottenham bak sepuhan Mourinho di Stadion Stamford Bridge pada pertengahan 2000-an silam dalam wujud Frank Lampard dan Didier Drogba. Saat itu, keduanya memang sangat pandai melakukan pertukaran posisi guna mencetak gol sebanyak-banyaknya untuk kesuksesan Chelsea.
Terlebih, Mourinho juga memiliki figur-figur semisal Hugo Lloris, Toby Alderweireld, Sergio Reguilon, Pierre-Emile Hojbjerg, dan Tanguy Ndombele yang jadi kunci menyempurnakan skema permainan kesukaannya.
Kendati begitu, Mourinho tak ingin besar kepala dengan performa tim besutannya. Dalam wawancaranya dengan BBC, eks pelatih Internazionale Milano dan Real Madrid itu tetap menyebut bahwa The Lilywhites tidak sedang bersaing memperebutkan gelar juara, tetapi berusaha memenangkan laga demi laga yang mereka jalani.
Meski demikian, berbekal mesin tempur beringas dalam wujud Kane dan Son, ada rasa wajar bila pendukung Tottenham mulai berani bermimpi melihat tim favoritnya bakal meraih sesuatu di pengujung musim ini. Baik yang prestisius maupun yang disebut piala ciki.