Memaknai Kesuksesan Verstappen sebagai Klimaks Evolusi F1

Uni Emirat Arab merupakan salah satu negara dengan curah hujan paling rendah di dunia. Akan tetapi, langit di sana tampak murah hati ketika mencurahkan keajaiban dalam prosesi pengukuhan Max Verstappen sebagai juara dunia Formula 1 (F1) di Sirkuit Yas Marina pada Ahad (12/12) lalu.

https://twitter.com/redbullracing/status/1470041595898699783?s=20

Verstappen merengkuh gelar dengan cara paling dramatis yang bisa dilakukan. Ia menyalip rivalnya dalam perebutan titel, Lewis Hamilton, tepat di putaran terakhir balapan.

Padahal sepanjang lomba terlihat jelas kalau mobil Red Bull RB16B yang dikemudikan pembalap asal Belanda itu kesulitan mengimbangi mobil Mercedes W12 tunggangan Hamilton.

Jika saja dalam lima putaran terakhir safety car tak diterjunkan ke arena akibat mobil Williams FW43B yang dikendarai Nicholas Latifi menabrak dinding dan menutupi trek, Verstappen takkan bisa mencuri kesempatan untuk memasang satu set ban soft baru sebagai senjata penghabisan untuk menghajar Hamilton di detik-detik akhir balapan.

Arah angin memang berbalik cukup ekstrem sore itu. Mungkin saja terdapat andil dari kincir De Gooyer di kota Amsterdam yang tersohor itu.

Keberhasilan Verstappen menjadi juara dunia tak hanya merombak peta kekuatan F1 yang tadinya dikuasai oleh Hamilton dan Mercedes sejak diterapkannya regulasi mesin hibrida, melainkan juga menjadi tonggak penting dari segenap transformasi yang dilancarkan ajang balap kursi tunggal itu semenjak diakuisisi oleh Liberty Media pada 2017 lalu.

Liberty Media yang merupakan perusahaan asal Amerika Serikat, menginginkan F1 dikelola dengan menggunakan cara-cara Amerika yang mengedepankan hiburan ketimbang aspek-aspek tradisional dalam olahraga.

Tujuannya adalah menjaring segmen audiens yang lebih besar, terutama dari kelompok usia muda yang esensial untuk menopang kontinuitas F1 dalam jangka panjang.

Salah satu perbedaan mencolok yang terjadi pada F1 era Liberty adalah optimalisasi penggunaan media sosial. Tak hanya akun resmi F1, tim-tim seperti Mercedes, Aston Martin, dan McLaren juga turut membentuk iklim digital yang bikin F1 kini punya daya tarik tinggi di mata penggemar muda.

https://twitter.com/McLarenF1/status/1462426757861150724?s=20

https://twitter.com/MercedesAMGF1/status/1469979215391080451?s=20

https://twitter.com/AstonMartinF1/status/1470052673072283661?s=20

Saat F1 masih dipimpin oleh konglomerat Inggris, Bernie Ecclestone, semua orang yang terlibat di sana dilarang untuk mengunggah potret apapun di media sosial mereka dengan alasan eksklusivitas yang telah diperoleh pemegang hak siar.

Bahkan, pada musim 2016, Hamilton pernah diberikan teguran karena mengunggah aktivitas paddock tim Mercedes di akun Snapchat.

Padahal, media sosial adalah corong utama bagi juara dunia tujuh kali tersebut untuk mengaktualisasikan kehidupannya yang glamor, tapi juga inspiratif.

Bandingkan dengan yang terjadi saat ini, setiap detail yang terjadi di trek maupun di garasi bisa disulap menjadi konten yang simpatik lewat jemari terampil pengurus media sosial masing-masing tim dan pembalap.

BACA JUGA:  Akhir Pekan yang Vital untuk Vettel

Akan tetapi, prestasi terbesar Liberty Media disebutkan terdapat dalam kesepakatan dengan penyedia layanan hiburan asal AS, Netflix.

Netflix mendapatkan hak eksklusif untuk mempoduksi seri dokumenter terkait jalannya musim Formula 1 sejak musim 2018 lalu dengan judul Drive to Survive.

Kesuksesan Drive to Survive seakan membuka jalan masuk bagi publik global untuk mendalami F1 lebih jauh, dan juga membuka keran eksposur bagi tim untuk memperoleh sponsor. Hal ini diamini oleh bos tim Red Bull Racing, Christian Horner.

“Imbas dari populernya Drive to Survive bagi tim kami dari segi komersial sangatlah signifikan. Kami memperoleh lima sponsor. Saya tidak serta merta menyebut Netflix memengaruhinya secara langsung, tapi tetap saja itu berkontribusi, terutama karena tiga sponsor diantaranya berbasis di Amerika,” ujar Horner kepada The Athletic.

Kepribadian para pembalap adalah pionir utama bagi serial Drive to Survive untuk menggambarkan kondisi di balik layar F1.

Terutama, mereka yang usianya di bawah 30 tahun seperti Daniel Ricciardo, Verstappen, Lando Norris, Carlos Sainz, Charles Leclerc, atau George Russell.

Penonton dari serial Drive to Survive akan diajak mengenal sosok-sosok tersebut secara personal sehingga timbul keterikatan perasaan antara penggemar dengan para pembalap.

John McKenna, Chief Executive Officer (CEO) Noah Media Group, menjelaskan fenomena tersebut kepada The Athletic.

“Drive to Survive telah membawa audiens baru pada F1 dengan cara yang benar-benar baru dalam industri ini. Serial itu memunculkan karakter dari semua yang terlibat di F1 yang selama ini tersembunyi di balik helm dan kokpit mobil, dan itu mengundang banyak penggemar baru yang ingin menyaksikan idola mereka di trek,” terang McKenna.

Buah dari langkah yang ditempuh Liberty Media benar-benar menuai hasil nyata berdasarkan survei yang diselenggarakan F1 bersama-sama dengan media Motorsport dan firma penyedia data, Nielsen.

Survei tersebut menjaring 175 ribu penggemar F1 dari 187 negara yang dilakukan pada bulan Agustus hingga Oktober tahun ini.

Menurut survei tersebut, kelompok usia 16 hingga 24 tahun mendominasi jumlah penggemar F1 dengan persentase 34%, diikuti dengan kelompok usia 25 hingga 34 tahun dengan persentase 28%.

Hal di atas seakan menjamin keberlangsungan ajang balap mobil Formula paling prestisius ini untuk jangka waktu yang panjang.

Manuver yang dilakukan F1 dalam segi penetapan segmentasi penggemar terbilang cukup ekstrem jika dibandingkan dengan pendekatan yang dilakukan selama masa kepemimpinan Ecclestone.

Pada tahun 2014, pria gaek tersebut mengungkapkan jika tak ada gunanya bagi F1 untuk mengejar fans muda, karena mereka dianggap tidak cocok dengan target demografi sponsor F1.

BACA JUGA:  Arsenal dan Narasi Tentang Krisis Identitas

“Saya tidak tertarik pada Twitter, Facebook, dan segala hal tidak masuk akal ini. Saya lebih suka menyasar pria 70 tahun yang punya banyak uang. Jadi, saya kira tidak ada gunanya menjangkau anak-anak ini karena mereka tidak akan mampu membeli produk sponsor kami. Mereka bisa melihat Rolex, tapi tak bisa membelinya,” ucap Ecclestone pada Autosport.

Sikap kolot Ecclestone tersebut pada akhirnya menyediakan ruang yang begitu luas bagi Liberty Media untuk melakukan koreksi langkah pemasaran. Namun selain itu, para pembalap muda juga punya peran signifikan tersendiri.

Lewat media sosial, masing-masing dari mereka melakukan usaha penarikan engagement dengan caranya masing-masing.

Personal branding mereka semakin membuat anak-anak muda merasa relate dengan idola mereka yang memacu mobil dari balik kemudi.

Misal, Ricciardo dan Norris yang mengusung persona lucu dan humble, Verstappen yang cuek dan bengal, atau Leclerc yang good boy dan kalem.

Semua itu terjadi secara alamiah dan berada dalam lingkaran pertemanan kelompok usia muda, di mana selalu ada orang-orang dengan kepribadian seperti yang dipunyai para pembalap tadi.

https://twitter.com/LewisHamilton/status/1433436107329392644?s=20

Mengutip Azrul Ananda dalam podcast Main Balap, komparasi tampilan Norris dan Hamilton adalah contoh nyata dari adanya perbedaan pola pikir antar generasi bentukan F1 lama dan F1 era baru.

Hamilton adalah bentukan F1 era mewah, terpampang dari penampilannya yang begitu necis dan glamor. Sedangkan Norris yang naik daun di F1 era baru, memilih tampilan yang kasual dan lebih merepresentasikan anak muda secara general.

Karenanya, kemenangan Verstappen atas Hamilton sejatinya merupakan sesuatu yang sarat akan makna simbolik terkait dengan pertukaran generasi yang berkuasa.

Satu-satunya hal yang kurang dari segala macam langkah peremajaan yang dilakukan F1 hanyalah hasil di trek, dan Verstappen berhasil mewujudkan cita-cita itu dengan paripurna.

Penobatan Verstappen sebagai juara dunia baru dengan cara yang dramatis, sekilas terlihat seperti puncak dari proses restorasi yang dilakukan Liberty Media dalam empat tahun terakhir.

Akan tetapi, sesungguhnya ini hanyalah permulaan dari demonstrasi kepiawaian bakat-bakat muda lainnya yang bakal terus bermunculan ke permukaan mengikuti hukum alam.

Tanpa mengesampingkan kedigdayaan Hamilton sebagai juara dunia tujuh kali yang masih berambisi menambah jumlah gelarnya selagi aktif, sejatinya Verstappen telah mengetuk gerbang evolusi bagi F1.

Ia membuka kesempatan kepada para pembalap muda di generasinya bahwa mereka bisa bersaing menjadi yang terbaik di dunia.

Sebab merekalah yang pada masa depan menjadi bintang utama persaingan di atas aspal panas sirkuit dan menjadi tontonan publik seantero Bumi.

Komentar
Sesekali mendua pada MotoGP dan Formula 1. Bisa diajak ngobrol di akun twitter @DamarEvans_06