Karena Andrea Pirlo dan Socrates Adalah Brahmana Sepak Bola

Benar jika, pada akhirnya, seorang penggemar, kelak akan kecewa dan dikecewakan.

Sampai saat ini, saya (masih) belum percaya kenapa Bob Dylan bisa memenangi Nobel Sastra 2016. Saya jelas mengidolai pemusik asal Minnesota, Amerika Serikat itu. Itu tak perlu diragukan lagi.

Meski tak terlalu banyak karyanya yang saya dengarkan – dan belum pernah menonton konsernya secara langsung — tapi musik gubahannya adalah salah satu yang saya dengarkan secara intens.

Tapi itu dulu. Sebelum Swedish Academy menganugerahi Dylan sebagai peraih Nobel Sastra 2016.

Alasannya sederhana saja: kecewa.

Bob Dylan adalah Bob Dylan. Bukan Dylan-nya Milea, atau Dylan Thomas. Bagi saya, Dylan adalah seorang musisi, yang musiknya sangat merakyat dan tak lekang oleh waktu.

Ia, meski lirik-lirik gubahannya sangat puitis, tetaplah seorang musisi. Yang saya rasa hendak – dan akan terus – bercerita tentang realitas sosial yang ada lewat musik, bukan lewat buku.

Benar kalau lirik-lirik dalam lagu ciptaan Dylan itu puitis dan menangkap semangat pemeberontakan dan perlawanan, juga kemerdekaan. Tapi, sekali lagi itu lirik, diksi-diksi yang tak bisa hidup sendiri. Diksi-diksi yang bisa memberi mood pada penikmatnya ketika ada musik yang menyertainya.

Pun setelah saya putar lagu-lagunya dengan lebih intens daripada biasanya. Hasilnya masih sama. Saya tak juga lantas paham dengan pertimbangan Panitia Nobel yang kemudian menetapkan Bob Dylan sebagai peraih Nobel Sastra 2016.

Keputusan panitia itulah kemudian menjadikan batasan-batasan literasi menjadi (semakin) sumir. Bagi saya, karya sastra adalah karya sastra. Sebuah karya yang tersusun dari dua puluh enam huruf alfabet yang disusun secara acak sedemikian rupa hingga memberikan kehidupan yang kekal pada yang hidup.

Lalu, apakah lirik masuk sebagai salah satu jenis kesusasteraan? Sampai batas tertentu, mungkin, iya. Akan tetapi, haruskah Dylan mendapat hadiah nobel karena dianggap memberi sentuhan baru bagi dunia kesusasteraan lewat liriknya yang puitis itu? Meski ia lebih dikenal sebagai musisi ketimbang sebagai seorang penyair?

Dan batasan menyangkut apa itu literasi pun akan menjadi semakin sumir.

Kesumiran inilah yang kemudian akan memberi kita ruang untuk berandai-andai. Apakah nantinya Socrates bisa meraih hadiah nobel, seperti yang didapatkan Bob Dylan?

Ketika batasan pertimbangan peraih Nobel Sastra begitu sumir, apakah pesepak bola juga mungkin berhak menerima nobel bergengsi tersebut?

Buah pikir Socrates jelas mengandung semangat perlawanan. Keberpihakannya pada rakyat juga sangat terang benderang. Lebih-lebih, semasa hidupnya, selain berprofesi sebagai dokter, ia juga rajin menulis di koran-koran.

Jadi, Socrates punya peluang untuk menerima Nobel Sastra, bukan? Toh, pemenang nobel tahun lalu, Svetlana Alexievich, juga merupakan jurnalis.

Atau mungkin kita bisa berandai, kalau nantinya Andrea Pirlo juga bisa memenangi Tony Award, semacam Piala Oscar-nya panggung teater Amerika Serikat, karena pemain Italia itu punya aksi panggung (lapangan hijau) yang luar biasa dan punya ciri khas.

Pirlo, mungkin juga, memenangi Grammy. Toh, ia telah menciptakan “musiknya sendiri”. Dalam keterasingannya, yang tak mampu berlari cepat di tengah tren permainan bola yang serba cepat, ia justru menari balet lewat “musik” yang ia gubah sendiri. Musik bikinan Andrea juga selalu mengena di mood para penontonnya.

Tapi, semoga perandaian ini tak akan pernah terjadi. Bagi saya, Pirlo dan Socrates adalah brahmana sepak bola. Orang-orang yang bertugas mengantarkan dharma untuk kesejahteraan titah.

Tak perlulah mereka mendaku diri sebagai yang terbaik lantaran bergelimang penghargaan perseorangan. Tak perlu juga mereka meminta pengakuan dari dunia setelah menunaikan dharma. Karena dunia akan mengakui mereka dengan sendirinya.

 

Komentar

This website uses cookies.