Karma ‘Moneyball’ FSG di Liverpool FC

Fans Liverpool boleh senang saat ini setelah berita pemecatan Brendan Rodgers. Mengagetkan memang, karena jika melihat bahwa FSG mempertahankan Rodgers pada musim panas lalu. Namun, hal ini kemudian dilakukan. Mengingat kemudian hal ini berdampak kepada kosongnya kursi-kursi di Anfield hingga atmosfir Anfield yang buruk, seperti musim 2010/2011 saat Liverpool di bawah asuhan Roy Hodgson. Akan tetapi, pemecatan ini masih jauh dari penyelesaian masalah. Pemecatan Rodgers sendiri hanyalah satu langkah awal dari solusi permasalahan Liverpool.

Beberapa hari sebelum pemecatan Rodgers, Jurgen Klopp, sang idola yang diharapkan Kopites, dikabarkan bahwa ia ingin transfer committee dibubarkan seperti yang dilansir oleh Liverpool Echo andaikata FSG memang serius ingin meng-hire-nya. Dengan kata lain, FSG kemudian dipaksa harus merevisi segala metodologinya. Moneyball, yang sebenarnya merupakan ide curian FSG dari Oakland Atlhetic, seolah menjadi karma bagi bisnis Fenway Sports Group di bidang sepak bola. FSG kemudian dipaksa merasakan situasi Billy Bean, GM Oakland Athletics, dengan segala konfliknya di Oakland Athletics di dalam diri Brendan Rodgers.

Awal mula moneyball

Moneyball sendiri muncul di dalam kesulitan yang dialami Billy Bean, sang GM Oakland Athletics. Saat itu, Jason Giambi, Johnny Damon, dan Jason Isringhausen, yang merupakan pemain bintang Oakland Atheltics ia ingin jual karena merasa tak sesuai dengan taktiknya pada tahun 2001. Ia kemudian menawarkan nama-nama besar, namun tak dikabulkan manajemen karena persoalan finansial. Beruntung kemudian pertemuannya dengan Paul DePodesta membuahkan ide. DePodesta yang merupakan lulusan ekonomi bersama Bean kemudian melakukan pendekatan baru. Membeli pemain berdasarkan statistik (hal ini kemudian pula diterapkan pada sepak bola). Bean kemudian mendatangkan pemain yang secara statistik dapat melakukan tugasnya di posnya masing-masing dan tak ragu menjual pemain yang dianggap gagal meski dengan harga yang luar biasa.

Dengan cara tidak konvensional seperti ini, kemudian hal itu ditentang di dalam manajemen klub. Pemandu bakat milik klub merasa dilecehkan atas segala metodologi Billy Bean. Statistik dianggap tak menggambarkan apa pun. Bahkan, manajer Oakland-pun tak mau untuk mengikuti segala instruksi Billy Bean. Pada tahun 2001, cara ini gagal total. Namun ia kembali pada tahun 2002 dengan peruntungan yang berbeda. Ia berhasil meyakinkan manajemen untuk percaya kepadanya. Cara alternatif ini ternyata sukses.

BACA JUGA:  Arteri Arsenal Bernama Arteta

Terbukti dengan rekor unbeaten dalam 20 laga pada tahun 2002 dan membuat Oakland Atheltics menjadi tim yang dianggap sekasta dengan Yankee dan Red Sox. Moneyball, yang awalnya dianggap merupakan suatu hal yang nyeleneh dan meragukan, ternyata berhasil serta merevolusi olahraga ini. Meski pada akhirnya segala antusiasme fans Oakland Atheltics harus terhenti karena persoalannya mereka harus terpleset setelah kemenangan ke-20. Namun metodologi ini kemudian membuat FSG tertarik terhadap pendekatan Billy Bean. FSG, melalui John W Henry langsung berupaya untuk mendatangkan Billy Bean dengan mengundangnya ngobrol di markasnya Red Sox. Meski pada akhirnya Bean menolak karena ia ingin membesarkan Oakland Athletics dengan upayanya sendiri.

Meski gagal memiliki Bean sebagai GM mereka. Red Sox kemudian berhasil melakukan peniruan yang luar biasa berhasil dengan didukung staf yang lebih ahli dan teknologi termutakhir dibandingkan Oakland Athletics. Sehingga pada musim setelahnya, Red Sox berhasil menjadi jawara dengan metodologi Billy Bean. Dengan kekuatan finansialnya. Dan didukung dengan memiliki GM yang tipikal ‘yes man’, FSG dapat dengan mudah memberikan arahan terhadap jajaran stafnya terkait dalam menirukan apa yang Oakland lakukan. Sementara untuk Billy Bean, ia dipaksa harus mengaku kalah karena kalah saing dengan segala keuntungan yang dimiliki oleh Red Sox dan FSG.

Percobaan di Liverpool

Hal ini coba FSG lakukan terhadap Liverpool FC. Mulai dari Kenny Dalglish hingga Rodgers mereka selalu berupaya untuk melakukan hal ini. Mulai dari DoF yang dipimpin oleh Damien Commolli, hinga bertransformasi menjadi transfer committee yang diketuai oleh Ian Ayre. Tim ini sendiri bertujuan untuk melakukan scout berdasarkan statistik, seperti yang diterapkan di Red Sox.

Naasnya, kebijakan ini sejauh ini tak berhasil. Karma itu ternyata datang di klub bernama Liverpool FC. Sejak mereka mengakuisisi Liverpool pada tahun 2011 hingga saat ini, hanyalah soal buang-buang uang yang dilakukan FSG. Mulai dari persoalan Kenny Dalglish dan transfer yang membuang uang 100 juta lebih, akibat terlalu menuruti statistik (meski kemudian mendapatkan trofi Piala Liga). Hingga kepada kisah Brendan Rodgers yang membuang hampir 300 juta dalam empat musimnya di klub tanpa menghasilkan satu trofi pun dan penuh pertentangan. Khusus urusan yang kedua, karma dari kisah Billy Bean dan Oakland Athletics akhirnya harus dirasakan oleh Fenway Sports Group dengan Liverpool-nya.

BACA JUGA:  Juergen Klopp, Kick and Rush, Gegenpressing dan Efisiensi Permainan Liverpool

Rodgers sendiri harus merasakan betapa peliknya saat ia mencoba mempertahankan filosofinya dengan mendatangkan pemain-pemain pilihannya. Ia kemudian bersikeras terhadap pendiriannya dan menganggap bahwa manajemen mencoba mengekangnya dengan memberikan instruksi siapa yang harus diboyong bahkan memboyong pemain tanpa persetujuannya. Akibatnya, ia kemudian melakukan pembangkangan dengan mencadangkan, mengasingkan hingga “membuang” pemain-pemain pilihan transfer committee yang telah terlanjur masuk ke dalam skuat.

Rodgers seolah menjadi Billy Bean di Oakland Athletics. Tak ada yang percaya kepadanya di dalam manajemen. Lebih buruk lagi, ia kemudian harus merayakan mediokritas sebagai akibat dari retaknya hubungannya dengan FSG di dalam klub, yang kemudian membuatnya dipecat. Berbeda dengan Billy Bean yang kemudian dapat memutar segala beban menjadi peruntungannya, Rodgers sendiri malah terus terpuruk akibat hubungan yang pelik ini. Ia bahkan harus rela untuk, secara kasar, diusir.

Tentu segala karma ini kemudian harus diputuskan. FSG pula harusnya sadar bahwa menerapkan taktik moneyball secara angkuh dan menganggapnya akan sukses besar sejauh ini masih sebuah kesalahan. Mungkin ia akan berhasil dengan Red Sox. Akan tetapi, ini sepak bola. Pemainnya tak hanya dari satu liga seperti MLB, namun bisa saja datang dari liga-liga asing. Bukannya saya tak senang kemudian jika ada pemain antah berantah jika menjadi bintang di klub. Namun, hal ini tentu membutuhkan waktu, dan sepak bola modern sendiri seringkali bertindak kejam kepada waktu. Maka kemudian FSG juga harus melakukan revisi, sebagai upaya dalam pemutusan segala karma buruk yang sedang didera Liverpool. Mereka harus merevisi lagi sistem transfer committee agar siapa pun pelatih Liverpool bisa leluasa bekerja dan mampu membawa klub kembali ke jalur juara.

 

Komentar