Kecepatan Inggris dan Dongeng Piala Eropa

Minggu (27/3), timnas Inggris tampil militan dan spartan dengan menghantam juara dunia Jerman dengan skor 2-3 di Olympia Stadion, Berlin. Tertinggal dua gol lebih dahulu, disusul cedera Jack Butland jelang gol Toni Kroos di penghujung babak pertama, Inggris mampu bangkit dan menyusul ketinggalan dengan gol dari Harry Kane dan Jamie Vardy, sebelum memenangi laga lewat sundulan Eric Dier di penghujung laga.

Kemenangan ini hanya terjadi dalam sebuah laga persahabatan memang, tapi momentum ini saat yang pas untuk menilai kesiapan timnas Inggris dalam persiapan jelang Piala Eropa 2016 nanti di Prancis.

Ada beberapa poin yang perlu dilihat dari kemenangan ini, utamanya, bagaimana Inggris dan Roy Hodgson tampil spartan dan sangat tajam ketika menyerang dengan kecepatan.

Ada beberapa lubang di lini belakang, sedikit bisa dimaklumi karena kuartet bek pun merupakan komposisi baru. Danny Rose baru memulai debut pertamanya. Duet Chris Smalling dan Gary Cahill juga jarang bertandem di Inggris, karena biasanya, Hodgson memainkan Phil Jagielka dan John Stones juga dengan sistem rotasi.

Ditambah, Inggris sedang krisis kiper saat ini. Tapi dua hal penting yang bisa disoroti dari kemenangan Inggris atas Jerman akhir pekan kemarin adalah kecepatan dan fleksibelnya formasi di atas lapangan.

Terlepas tidak adanya Wayne Rooney dan kontroversi dipanggilnya Theo Walcott, sesuatu yang patut diberi kredit penting adalah kemampuan Inggris mengubah strategi tim saat transisi dari menyerang dan bertahan. Utamanya, kemampuan brilian Inggris dalam mengeksploitasi sisi kanan Jerman yang pos bek kanannya diisi oleh Emre Can.

Can adalah pemain bagus, kalau bermain di tengah. Ia dominan sebagai pemain tengah yang piawai mengatur tempo dan memiliki kapabilitas mumpuni membagi bola.

Ketika dipasang di bek kanan, otomatis hal itu sia-sia. Dan itu dimanfaatkan dengan baik oleh Duo Danny, Rose dan Welbeck. Selain itu, ada beberapa hal penting yang asyik untuk dicermati sebagai bekal menikmati Inggris di pagelaran Piala Eropa pertengahan tahun nanti.

Kecepatan

Kecepatan tidak akan berguna sama sekali di sepak bola apabila dieksekusi tanpa taktik yang pas dan momen yang tepat. Tapi, era saat ini, dalam skuat timnas Inggris proyeksi Piala Eropa ini, kecepatan bisa menjadi senjata mematikan yang akan menyengat lawan dengan sangat keras. Salah satu yang menjadi buktinya, adalah gol backheel Jamie Vardy yang diawali tusukan Nathaniel Clyne di sisi kiri pertahanan Jerman.

Blitzkrieg ala Jerman, yang sialnya, dilakukan dengan baik oleh Inggris adalah bukti mutlak bahwa timnas paling overrated di Eropa ini mulai menunjukkan tajinya apabila diberi peluang untuk mencetak gol melalui skema serangan cepat.

Melihat komposisi bayangan skuat yang akan dibawa Hodgson tengah tahun nanti, ada beberapa nama yang bisa diproyeksikan untuk menampilkan Inggris yang taktis dan cepat.

Dari pos belakang, kalau siap bermain dengan serangan balik cepat yang menyengat, ada beberapa bek sayap cepat yang siap dimasukkan ke skuat inti, semisal Clyne di pos kanan dan Rose di bek kiri. Untuk pelapis, masih ada Kyle Walker di pos kanan.

Untuk bek tengah, nama John Stones dan Chris Smalling jadi opsi terbaik. Stones nyaman dengan bola dan Smalling cukup tangguh sebagai karang. Kemampuan Stones membagi bola sangat esensial untuk mengawali serangan cepat ketika mengalirkan bola dari bawah.

Maju ke sektor tengah, nama Dele Alli, Danny Welbeck dan Ross Barkley bisa dikedepankan untuk bermain dalam skema 4-2-3-1, dengan komposisi gelandang pivot berisi Jordan Henderson dan Eric Dier, yang bisa dilapis bergantian dengan Fabian Delph atau James Milner.

Di tiga gelandang serang, fleksibelnya Welbeck yang bisa dimainkan di sayap atau sebagai penyerang tengah akan sangat membantu transisi formasi Inggris seperti melawan Jerman. Untuk pelapis, nama Adam Lallana dan Alex Oxlade-Chamberlain bisa dikedepankan.

Di lini depan, harus disepakati bersama, Harry Kane adalah nama terdepan yang harus dimainkan sebagai penyerang utama di Prancis nanti. Penyerang tipikal all round player. Ia bisa ada di mana saja untuk mengganggu pola kompaksi pertahanan lawan. Dan ketika mendapat bola di dalam kotak penalti, Kane adalah predator yang tajam. Jerman dan Manuel Neuer sudah merasakannya akhir pekan lalu.

Tapi, bayangan proyeksi skuat ini menimbulkan banyak dilema, dan salah satunya, kita bahas di akhir artikel, ya.

Taktikal

Saat melawan Jerman, Inggris turun dengan formasi dasar 4-2-3-1, satu formasi umum yang dipakai hampir sebagian besar tim di Liga Inggris. Tapi ada yang menarik, dalam beberapa kali serangan, utamanya ketika serangan balik, Inggris bertransisi menjadi 4-4-2 dan menampilkan skema serangan balik ala Leicester City musim ini tapi menggunakan pendekatan taktikal ala Diego Simeone di Atletico Madrid. Kok bisa, ya?

Jadi begini, kekuatan terbesar Leicester musim ini adalah serangan balik, utamanya dari sayap, lewat Riyad Mahrez, ditopang dengan lini tengah tangguh bersama N’Golo Kante dan Danny Drinkwater.

Hal itu coba diadaptasi dengan baik oleh Hodgson dengan instruksi menaikkan Welbeck bersanding bersama Kane di sebuah skema serangan balik, utamanya, ketika lini belakang atau lini tengah mampu mencuri bola dari gelandang Jerman.

Yang ditiru dari Leicester adalah kerapatan di lini tengah yang sigap dalam menjaga kedalaman dan kompaksi. Itu masih dibantu dengan Welbeck, Kane dan Dele Alli yang rutin mengganggu para pemain Jerman di lini belakang dalam mengalirkan bola. Inggris tidak tampil dengan sistem high pressing yang sedang menjadi tren saat ini, sebaliknya, Hogdson menampilkan Inggris yang lebih taktis, cepat dan kuat.

Sedangkan yang coba ditiru dari Atletico-nya Simeone, adalah penggunaan komposisi pemain dalam skema 4-4-2. Di zaman Atletico menjuarai La Liga musim 2013/2014, formasi 4-4-2 Atleti sering menggunakan empat gelandang tengah yang sama-sama tidak ada bertipe pemain sayap.

Ia memainkan Tiago, Gabi/Mario Suarez di sentral, bersama Arda Turan dan Koke/Raul Garcia sebagai pemain sayap. Enam pemain itu tidak ada satu pun yang bertipe pemain sayap, dan itu mutlak membantu Atletico untuk bermain rapat sejak di lini tengah. Sama seperti Leicester, mengedepankan kerapatan di lini tengah dan menjaga kompaksi pertahanan, bedanya Leicester memaksimalkan sayap lewat Marc Albrighton dan Mahrez.

Ketika bertransformasi ke 4-4-2, dua gelandang sentral diisi oleh Dier dan Henderson, sedangkan untuk pos sayap ditempati Lallana di kiri dan Alli di kanan. Welbeck otomatis naik ke depan mendampingi Kane.

Ketika serangan balik, Alli dan Lallana masuk ke tengah di sepertiga akhir serangan Inggris sedangkan Clyne dan Rose merangsek naik untuk mengisi posisi sayap yang ditinggalkan dua gelandang serang itu. Jadilah ini seringkali mengancam Jerman, utamanya dalam skema serangan balik dan saat Inggris melancarkan serangan tepat setelah mereka merebut bola dari lini tengah.

Inggris bermain eksplosif di laga melawan Jerman, dan entah kenapa, itu menyenangkan sekali untuk ditonton. Sebuah timnas berisi kumpulan pemain yang di liganya kerapkali diolok-olok buta taktikal tapi kemudian mampu menyuguhkan sepak bola dengan aroma taktikal ciamik sepanjang 90 menit adalah sebuah kebahagiaan sendiri.

Bahkan, kalau boleh jujur, formasi 4-2-3-1 yang ditampilkan Hodgson dalam teamsheet Inggris adalah upaya kamuflase. Mungkin semacam kedok untuk menipu Loew dan para ras Arya-nya yang selalu superior dan berstatus juara dunia. Karena hampir sepanjang laga, Inggris tidak benar-benar tampil dengan formasi itu.

Tidak ada tempat untuk Wayne Rooney

Salah satu dilema dari keberhasilan Inggris menghantam Jerman adalah sebuah fakta sahih bahwa Inggris tidak membutuhkan sang kapten utama, Wayne Rooney. Pada tahun 2016, Rooney memang tampil membaik dan perlahan menemukan ritmenya lagi bersama Manchester United sebelum mendapat cedera sejak Februari. Namun harus diakui, timnas Inggris yang cepat dan taktis ini tidak membutuhkan Wayne Rooney.

Di posisi depan, Inggris lebih punya pemain dengan kecepatan jauh lebih bagus dan performa di liga yang jauh lebih konsisten dari Rooney. Kane akan menjadi penyerang utama, kalaupun ia berhalangan, masih ada penyerang eksplosif Leicester City, Jamie Vardy.

Dan kalaupun benar Inggris ingin fleksibel dalam hal taktikal, Hodgson bisa memilih memainkan Welbeck, Vardy atau Daniel Sturridge di sisi sayap dalam skema 4-2-3-1. Tidak ada celah untuk memasukkan Rooney dalam proyeksi taktik Inggris untuk masa depan, setidaknya, untuk Piala Eropa nanti.

Mundur ke lini tengah pun, memaksakan Rooney di posisi nomor 10 sama artinya menghambat potensi cerah Dele Alli atau Ross Barkley yang sedang menikmati peak performance mereka musim ini. Para pemain muda ini jelas butuh bimbingan di atas lapangan. Mental mereka tidak berisi mental juara ala United yang terpatri kuat di dalam diri Rooney.

Tapi membalikkan skor dan merebut kemenangan di Berlin atas juara dunia Jerman adalah sedikit bukti, perlahan namun pasti, mental pemain Inggris akan terangkat dan bisa berkembang lebih baik ketika ditunjang dengan taktik bermain yang mumpuni.

***

Kesimpulannya adalah, timnas Inggris di era ini memiliki banyak modal yang bisa memberi efek kejut yang maksimal di Piala Eropa nanti. Para pemain ini hanya perlu mempertahankan level permainan mereka di liga dan fokus menjaga kondisi jelang pagelaran Piala Eropa.

Di level Eropa, ada beberapa tim dengan kapabilitas taktik dan komposisi skuat yang sangat baik seperti Jerman, Italia dan Spanyol. Tapi, dengan kemampuan taktikal yang baik dan diekseskusi dengan tepat, kecepatan anak-anak muda Britania ini bisa memberi dongeng yang sangat amat baik bagi rakyat Inggris di Piala Eropa tahun ini.

Tantangannya hanya satu, bermain konsisten. Sebagai penggemar sebuah klub di Liga Inggris, wajar rasanya saya berharap banyak ke timnas yang dicap overrated ini.

Karena biasanya, di sebuah turnamen akbar yang biasanya saya menjagokan Inggris, mereka acapkali tampil melempem dan bermain seperti sampah. Kemenangan mengejutkan di Berlin dan kesuksesan Hodgson mengungguli taktik sang juara dunia adalah pertanda bagus.

Komentar

This website uses cookies.