Kegagalan Sepak Bola Kita, Apakah karena Kutukan atau Salah Urus?

Timnas Indonesia melangkah ke final AFF, ini adalah final keenam Indonesia di ajang tersebut.

Selamat tahun baru 2022. Biasanya, pada awal tahun, kita bikin resolusi. Bukan kebiasaan baru. Sejak zaman Babilonia kuno sekitar 4.000 tahun silam, tradisi itu sudah dimulai.

Memang, sistem kalender mereka belum sama dengan era kekinian. Tapi, semangat untuk memperbaiki diri, merapalkan harapan yang ingin diwujudkan, dan berupaya menggapainya, sudah lama ada.

Tentu saja, harapannya agar kita tidak terus terjebak dalam siklus kesalahan yang sama. Problemnya, terkadang kita –maksudnya saya– sering mengulang-ulang resolusi yang sama setiap awal tahun tanpa progres.

Bicara soal siklus, sebagai pencinta sepak bola Indonesia, sepertinya kita masih berputar-putar di lingkaran itu selama tiga dekade terakhir. Terutama saat timnas Indonesia menghadapi Piala AFF atau SEA Games.

Tak perlu muluk-muluk bicara level Asia atau dunia, di Asia Tenggara saja kita masih kepayahan. Kali terakhir bisa berprestasi di level Asia Tenggara terjadi pada SEA Games 1991. Emas dari sepak bola.

Ya, ketika itu, timnas Indonesia ditangani pelatih asal Rusia Anatoli Polosin dengan pendekatan ala Eropa Timur, yakni disiplin, ketahanan fisik, dan mental yang tangguh. Tampak ada benang merah dengan era Shin Tae-yong.

Balik lagi ke siklus. Dalam 30 tahun terakhir, ketika akan menghadapi SEA Games atau Piala AFF, biasanya suporter punya siklus seperti ini, tidak banyak berharap, lalu tumbuh harapan, harapan memuncak, dan ujungnya kecewa lagi.

Sejak prestasi terakhir pada 1991 tersebut, empat kali menjadi finalis SEA Games dan hanya berujung perak. Dan, lima kali mencapai partai puncak Piala AFF dan berujung runner-up. Apakah ini kutukan atau salah urus?

Kalau kutukan, apa salah kita kepada dewa sepak bola? Kalau salah urus, kenapa tujuh ketua umum PSSI plus tiga plt ketua umum kok tidak ada perubahan? Atau jangan-jangan terkutuk karena salah urus?

BACA JUGA:  Gerhana Matahari Sepak Bola Indonesia

Sejak prestasi terakhir pada 1991, terhitung Shin Tae-yong adalah pelatih ke-24. Pelatih terus berganti, tapi prestasi jalan di tempat. Baru saja sang pelatih berproses, tapi begitu tanpa gelar langsung pecat.

Segalanya serba instan. Saya teringat kata-kata mantan kapten timnas Indonesia Bambang Pamungkas di kanal YouTube Vindes. Dalam obrolan dengan Vincent dan Desta, dia mengungkap kegundahan itu.

“Anda bisa bayangkan, saya di tim nasional (Indonesia) itu 13 tahun dan selama itu sudah ada 11 pelatih. Jadi, rata-rata itu setahun dua bulan atau tiga bulan itu ganti. Seharusnya tidak begitu,” kata Bepe, sapaannya.

Maka, apapun hasil dalam second leg final Piala AFF 2020 malam nanti, ada baiknya Shin Tae-yong tetap jadi pelatihnya. Syukurlah, sudah ada penegasan dari ketua umum PSSI Iwan Bule terkait masa depan sang pelatih.

Juga, meski bukan urusannya, Menpora Zainudin Amali sudah memberikan penegasan serupa. Setidaknya dua pemangku jabatan penting yang terkait dengan sepak bola dan olahraga di Indonesia punya pikiran sejalan dengan publik.

Kembali ke bahasan, apakah ini kutukan atau salah urus. Atau bisa jadi terkutuk karena salah urus. Kita para pendukung setia timnas Indonesia sejatinya telah menyadari, timnas Indonesia itu muara

Mantan pelatih timnas Indonesia Rahmad Darmawan pernah menyatakan di laman resmi klub saat masih melatih Madura United. Dia mengibaratkan, sebagai hulu dan hilir sepak bola Indonesia. ”Muara kompetisi adalah timnas,” ujarnya.

Sederhana saja, dari hulu atau sumber mata air, semuanya masih jernih. Tapi, kenapa sampai hilir airnya bisa sangat keruh dan kotor? Sebab, karena sepanjang aliran sungai ada banyak polusi dan sampah.

Bisa jadi, ada banyak bakat muda saat belia, tapi karena sistem pembinaan yang tidak berjalan baik dan kompetisi yang amburadul mengakibatkan bakat-bakat itu gagal mencapai potensi terbaiknya.

BACA JUGA:  Persebaya, Bonek, dan Perjuangan yang Belum Usai

Ketika bakat-bakat belia itu bermain di kompetisi usia dini, mereka masih bisa bersaing. Bahkan, mampu berprestasi di usia remaja. Namun, ketika berada pada usia emas pemain sepak bola, kok bukan emas yang tampak, ternyata loyang.

Dengan logika hulu dan hilir tadi, kita bisa ketahui bersama, ini bukan kutukan. Ada yang keliru dalam tata kelola sepak bola, ada yang tidak tepat dalam pembinaan, dan ada yang kacau dalam kompetisi di negeri ini.

Selain pembinaan usia dini, kompetisi sepak bola kita menjadi salah satu yang paling disoroti. Bukan hanya Liga 3 yang nyaris setiap pekan kita mendengar kekerasan terjadi di lapangan dan luar lapangan.

Bahkan, pemain meninggal di lapangan karena lambannya penanganan atau wasit yang kurang cermat dalam pengambilan keputusan masih ada. Belum lagi soal pengaturan skor dan pertandingan yang belum juga ketemu solusinya.

Terlalu banyak masalah yang sampai saya kelelahan menulisnya dan para pembaca bosan membacanya, tetap belum terurai lengkap. Sialnya itu terus berulang dan berulang lagi. Sepak bola kita ibarat berada dalam lingkaran setan.

Saya jadi ingat kata-kata dari mantan wasit nasional Purwanto dalam beberapakali obrolan kami. Sederhana saja menurutnya, sesuai rule. Iya, sesuai aturan saja. Itu sudah cukup mengurangi kerusakan dalam sepak bola kita.

Benar, tidak ada regulasi yang sempurna. Ada saja celahnya. Tapi apabila dipatuhi akan lebih baik hasilnya. Yang jadi problem peliknya, sudah regulasinya itu banyak celah, seringkali tidak dipatuhi dan malah dibengkokkan.

Kalau tidak ada perubahan fundamental, maka prestasi kita mentok segini saja. Siklusnya akan berulang, semoga tidak perlu menunggu Jan Ethes jadi Presiden RI dan Rafathar memimpin PSSI. (*)

Komentar
Suporter fanatik PS Kupang dan AC Milan. Penulis buku Pesta, Bola, dan Cerveja. Dapat disapa via akun Twitter @ilhamzada