Harapan di Balik Kerja Sama Dunia Pendidikan dan Olahraga

Processed with VSCOcam with c1 preset

Dunia pendidikan di Indonesia banyak terlibat dalam kegiatan olahraga profesional, baik secara formal maupun informal.

Secara formal, sejumlah perguruan tinggi terjun ke dalam dunia olahraga profesional, mulai dari menjadi sponsor hingga mengelola tim profesional. Secara informal, dalam beberapa tahun terakhir, mulai bermunculan komunitas-komunitas suporter berbasis lembaga pendidikan. Lalu, apa manfaat yang bisa diperoleh dari kedua pihak tersebut?

Bentuk kerja sama formal

Tahun 2017, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta menjadi sponsor dari PSIM Yogyakarta. Rektor UAD, Kasiyarno, menuturkan bahwa PSIM dapat menjadi “laboratorium” bagi civitas akademika UAD untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, semisal psikologi pemain, ilmu kesehatan, dan sebagainya.

UAD menawarkan juga kesempatan kuliah bagi pemain muda Laskar Mataram. Sebaliknya, manajemen PSIM siap memberikan klinik kepelatihan bagi tim sepakbola milik UAD.

Beberapa tahun sebelumnya, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga mengelola tim Satya Wacana yang terjun di kancah bola basket profesional Indonesia. Tidak jarang, hal-hal teknis yang berkaitan dengan tim Satya Wacana (misal hasil pertandingan, transfer pemain), juga diunggah ke situsweb resmi UKSW.

Kerja sama tidak hanya sebatas dengan klub, tetapi juga dengan federasi olahraga. Pada tahun 2012 misalkan, PSSI bekerjasama dengan Universitas Gunadarma Jakarta dalam pengembangan situsweb resmi PSSI.

Pihak Universitas Gunadarma akan menangani konten berita di website PSSI. Sementara dari PSSI menyiapkan beasiswa gratis kepada semua pemain timnas sepakbola Indonesia yang ingin melanjutkan kuliah di Gunadarma.

Bentuk kerja sama juga diwujudkan lembaga pendidikan dengan menjadi sponsor utama kompetisi. Misalkan yang dilakukan Bina Sarana Informatika (BSI) yang menjadi sponsor utama voli Proliga.

Peningkatan kualitas kompetisi membuat BSI yakin untuk mensponsori Proliga selama beberapa musim. Dalam kerja sama itu, BSI memberikan pendidikan secara gratis bagi atlet-atlet nasional yang ingin kuliah di BSI.

Hubungan saling menguntungkan

Lantas, manfaat apa yang akan diperoleh kedua belah pihak dari kerja sama tersebut? Pertama, saya akan membahas dari segi perguruan tinggi.

Seperti dikutip dari kelembagaan.ristekdikti.go.id, salah satu tujuan dari perguruan tinggi adalah terwujudnya pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi merupakan pusat pembelajaran mahasiswa dan masyarakat.

BACA JUGA:  Wilfried Zaha yang Berjuang Sendirian

Dengan kata lain, ilmu yang dipelajari, penelitian-penelitian yang dihasilkan, oleh perguruan tinggi tidak hanya menjadi monopoli dari pihak internal kampus saja, dan (yang lebih ironis lagi) hanya sebatas tersimpan di perpustakaan kampus saja.

Perguruan tinggi juga punya kewajiban untuk mendidik masyarakat dari ilmu yang dipelajari, dari penelitian yang dihasilkan. Kerja sama dengan dunia olahraga merupakan salah satu bentuk pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh perguruan tinggi.

Pihak perguruan tinggi dapat memperoleh isu, fenomena, kejadian, masalah, dan hal-hal lain dari dunia olahraga untuk kemudian diteliti. Sementara itu, pihak dunia olahraga memperoleh rekomendasi akademik dari hasil penelitian tersebut.

Sebagai contoh, sebuah klub olahraga membutuhkan bantuan untuk mengelola media  (seperti situsweb resmi dan akun media sosial). Oleh sebab itu, pihak perguruan tinggi bisa “menugaskan” Fakultas Ilmu Komunikasi untuk menangani hal tersebut.

Penanganan dalam hal ini tentunya berbasis dengan riset. Pihak dari Fakultas Ilmu Komunikasi, terlebih dahulu, akan menganalisis keunggulan klub, kekurangan, dan lain-lain. Dari analisis situasi dapat diperoleh rekomendasi ilmiah yang bisa dijalankan oleh klub.

Contoh serupa misalkan ketika sebuah lembaga olahraga tengah menghadapi persoalan hukum (kontrak pemain, kontrak kerja sama, dll.) maka ini menjadi tugas civitas akademika dari disiplin Ilmu Hukum. Disiplin Ilmu Ekonomi Manajemen dapat membantu menyusun, atau setidaknya meninjau business plan dari klub olahraga.

Dari aspek teknis lapangan, misalkan dari disiplin Ilmu Gizi dapat memberikan rekomendasi makanan untuk para pemain/atlet menjelang pertandingan. Dari displin Ilmu Kedokteran dapat membantu pemulihan cedera. Dari disiplin Ilmu Teknologi Informasi dapat membantu membuatkan perangkat untuk menganalisis pertandingan.

Lembaga olahraga ibarat “laboratorium” bagi perguruan tinggi. Imbal baliknya, perguruan tinggi tersebut dapat menggunakan data-data yang diperoleh sebagai publikasi ilmiah (seperti jurnal) atau karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi, atau model).

Keuntungan lebih dapat diperoleh dari lembaga perguruan tinggi, yakni dalam hal promosi. Kerja sama dengan lembaga olahraga dapat menjadi portofolio bagi perguruan tinggi tersebut.

Harapannya, dengan semakin dikenal luas, maka calon mahasiswa yang mendaftar akan semakin banyak. Tetapi harapan itu tak semudah seperti hukum sebab-akibat, karena itu juga akan bergantung dengan citra dari lembaga olahraga yang menjadi mitra kerjasama.

BACA JUGA:  Luis Enrique Coba Menepis Keraguan

Manfaat apa yang dapat diperoleh lembaga olahraga? Apakah hanya rekomendasi penyelesaian masalah? Ada manfaat lain misalkan, apabila dalam kerja sama itu juga memungkinkan adanya beasiswa bagi atlet/pemain, maka itu bisa dimanfaatkan.

Dengan adanya pendidikan, sang pemain pun dapat lebih tenang untuk mempersiapkan masa depan ketika pensiun. Siapa tahu, ketika pension, klub akan menunjuknya untuk mengisi jajaran manajemen. Selain itu, lewat pendidikan pula, diharapkan bisa lebih mengontrol emosi di lapangan.

“Kerja sama” tak resmi

Jika di bagian sebelumnya membahas kerjasama formal, maka di bagian ini membahas kerja sama tak resmi. Meski tak resmi, tetapi bentuk “kerja sama” ini juga tak kalah pentingnya.

“Kerja sama” di sini menggunakan tanda kutip, karena memang tidak ada ikatan formal antara dua entitas. “Kerja sama” itu hadir secara begitu saja.

“Kerja sama” ini mewujud dalam hadirnya komunitas suporter yang dibangun oleh (umumnya) mahasiswa/i yang mengidolakan klub tertentu.

Biasanya, nama komunitas ini menggunakan kata-kata kampus seperti Pasoepati Campus (pendukung Persis Solo), Campus Boys 1976 (pendukung PSS Sleman), Bonek Campus (pendukung Persebaya Surabaya), dan lain-lain. Selain hadir di tribun memberi dukungan, komunitas ini juga eksis di dunia maya.

Jika kerja sama formal tadi bisa untuk memperkuat di tataran pengelola olahraga, maka “kerja sama” tak resmi ini bisa untuk mengedukasi tingkat akar rumput.  Sebagai mahasiswa yang identik sebagai “agen perubahan”, maka mereka juga punya kewajiban untuk “mengubah” perilaku negatif yang masih ditunjukkan oleh sebagain suporter.

Apa yang bisa dilakukan? Misalkan dengan “mendinginkan” dunia media sosial ketika terjadi konflik antarsuporter dengan memberikan pesan-pesan yang sifatnya damai, tidak turut memprovokasi.

Ketika tidak ada konflik, lakukan barang sekali dua kali “kultwit” tentang hal-hal yang sifatnya perlu ditanamkan seperti bijak menggunakan media sosial, cara menanggapi akun-akun provokatif, dan cara yang elegan ketika memprotes pemberitaan media, dan hal-hal yang sesuai dengan bidang masing-masing.

Komentar
Pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia. Dapat dihubungi di email: nara.prastya@gmail.com.