Maurizio Sarri geram bukan main. Kertas di tangannya ia hempaskan ke atas rumput. Di muka bench Chelsea, amukannya tertahan sorotan kamera dan asisten di sampingnya. Otoritasnya sebagai pelatih seolah terkucilkan gara-gara kiper di bawah mistar tim asuhannya, Kepa Arrizabalaga, enggan keluar lapangan. Ya, Kepa memilih tetap beraksi di lapangan kendati dua kali menderita kram setelah melakukan beberapa penyelamatan beruntun.
Peristiwa itu sendiri terjadi di final Piala Liga musim 2018/2019 yang lalu versus Manchester City (25/2/2019). Pro dan kontra pun mengemuka. Ada yang menganggap bahwa Kepa sudah bertindak egois dan melupakan kepentingan tim. Ada pula yang berpendapat jika hal itu ia lakukan sebagai bentuk kesungguhannya dalam bermain. Apapun itu, Chelsea pada akhirnya tumbang dari City di babak adu penalti.
Berstatus sebagai kiper termahal dunia sejak dibeli oleh The Blues dari Athletic Bilbao seharga 71,6 juta paun jelang bergulirnya musim 2018/2019, Kepa membuktikan kualitasnya pada musim perdana menghuni Stadion Stamford Bridge.
Didaulat sebagai suksesor Thibaut Courtois yang hijrah ke Real Madrid, seperti dilansir dari Transfermarkt, Kepa mencatatkan 23 kali nirbobol dari 51 laga yang ia lakoni bersama Chelsea di semua kompetisi. Alhasil, banyak pihak yang kemudian terlalu dini menarik kesimpulan bahwa Kepa bakal menjadi kiper masa depan kubu London Barat.
Terlebih, panggung Liga Europa musim lalu kian melambungkan namanya. Partai semifinal leg kedua melawan Eintracht Frankfurt (9/5/2019) jadi ajang Kepa unjuk gigi.
Tidak ingin mengulangi kegagalannya di final Piala Liga, Kepa benar-benar melindungi gawang Chelsea di babak adu penalti. Tendangan Martin Hinteregger dan Goncalo Pacienca dimentahkan tangan pemuda asli Ondarroa ini.
Chelsea pun berhak lolos ke final guna berjumpa tim senegara, Arsenal, dan akhirnya jadi pihak yang berhasil memeluk trofi usai menang dengan skor telak 4-1. Pantas kalau Kepa menepuk dada.
Akan tetapi, kegemilangan sang penjaga gawang di musim lalu nyatanya bak one season wonder belaka. Hal tersebut perlahan menguap di bibir gawang yang ia jaga dalam sepi. Hingga pekan ke-24 Liga Primer Inggris, jala The Blues sudah bergetar sebanyak 32 kali. Kepa hanya sanggup menjaga keperawanan gawangnya di lima partai sejauh ini.
Memang, Kepa tak patut disalahkan sepenuhnya karena cara bertahan dan penampilan para bek Chelsea di bawah komando pelatih baru, Frank Lampard, pun jauh dari cemerlang. Namun sebagai penyelamat paling akhir, Kepa harus sadar akan posisinya.
Respons dan refleksnya kudu ditingkatkan. Antisipasi dan kepiawaian dalam membaca alur permainan juga mesti diasah lagi oleh Kepa. Tak sampai di situ, koordinasinya dengan barisan belakang Chelsea, siapapun yang dimainkan Lampard, juga wajib diperkuat. Merekalah yang jadi tembok utama dalam membendung serangan lawan.
Alhasil, di laga kontra Leicester City pekan kemarin, Willy Caballero yang didapuk Lampard guna mengisi pos penjaga gawang di starting eleven. Nada sumbang perihal masa depan Kepa di Chelsea pun kian menyeruak. Media Inggris yang gemar menyebarkan gosip mengangkat nama Nick Pope (Burnley) sebagai pengganti anyar Kepa di musim depan.
Efek Putus Cinta?
Apalagi muncul pula berita lain menyangkut kisah kasihnya yang kandas bersama sang pacar, Andera Perez. Lagi-lagi, yang namanya media, langsung menyimpulkan bahwa putus cinta jadi musabab pudarnya kegemilangan kiper tim nasional Spanyol tersebut. Saking kalutnya Kepa gara-gara patah hati, orang tuanya sampai harus terbang dari Ondarroa menuju London demi menghibur duka lara sang anak.
Kata orang, cinta itu rumit dan misterius. Mungkin itulah yang memengaruhi Kepa saat ini. Pada dasarnya, cinta adalah emosi jiwa yang berpengaruh pada kondisi psikologis seseorang. Di satu waktu menjadi penyemangat, di lain masa menjelma sengsara.
Dalam kajian ilmu saraf dan neurofisiologis klinis, menjalani satu hubungan cinta akan membuat seseorang memiliki vitalitas hidup yang tinggi, lebih rileks, dan tenang menjalani kehidupan. Sebaliknya, bila kisah kasih itu kandas di tengah jalan, malah berpotensi menurunkan ritme kebahagiaan dan daya kehidupan.
Namun patah hati tak melulu berakhir tragedi. Karier Kepa di Stadion Stamford Bridge bisa mmeburuk, kepercayaan Lampard dapat menipis, jika ia tak segera membenahi performa. Di titik ini, orang yang paling tahu cara untuk bangkit adalah Kepa sendiri.
Menyia-nyiakan waktu untuk bermuram durja sama saja membuka jalan penuh kerikil bagi mimpinya jadi kiper tersohor di masa depan. Tentu saja peran keluarga, sahabat terdekat, dan rekan setim, bisa jadi faktor penting mengembalikan psikologi Kepa hingga kembali membaik.
Kepa tak ubahnya tokoh Zainuddin dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck gubahan Buya Hamka. Ditinggal kawin gadis yang sangat ia cintai, Hayati, bikin Zainuddin hilang arah. Beruntung, ada keluarga dan sahabat yang membantunya bangkit.
Pertanyaannya, bisakah Kepa meniru Zainuddin guna bangkit dari keterpurukan? Atau malah dirinya semakin layu dan tak mampu mengembalikan kehebatannya di bawah mistar gawang? Sisa musim 2019/2020 akan menjawab pertanyaan tersebut.